Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azwar Hasan mengenang sepenggal hari yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Sore itu di Lampulo, Banda Aceh, seorang tukang becak mendatanginya sambil menyerahkan setumpuk uang kertas yang kusut dan lembap oleh keringat. ”Bang Azwar, ini Rp 600 ribu, tabungan saya. Tolong berikan kepada korban tsunami yang membutuhkan bantuan,” kata Syarwan, si abang becak.
Kontan Azwar Hasan tertegun. Hati lelaki 37 tahun ini seperti kena setrum. Orang kecil seperti Syarwan—yang keluarga dan hartanya hilang ditelan gelombang tsunami—sanggup memberikan seluruh tabungannya demi menolong sesama. ”Saya jadi merasa tersindir hebat. Kenapa, dengan kapasitas yang lebih besar, saya tak bisa berbuat seperti dia?” kata Azwar, yang ketika itu konsultan bergaji ribuan dolar di lembaga donor milik Amerika Serikat, USAID.
Tiga bulan sebelum sore itu, Azwar membelikan sebuah becak bermotor untuk Syarwan. Harga becak itu Rp 12 juta. ”Hasil patungan. Ada kawan yang menyumbang Rp 500 ribu, ada yang bantu Rp 100 ribu, ada juga teman dari Eropa yang membantu 100 euro.” Sama sekali tak ada ikatan dalam becak bantuan ini. Syarwan tak perlu membayar angsuran apa pun. Tapi, tanpa diduga, Syarwan memberikan uang yang dia kumpulkan susah payah. ”Padahal dia sendiri masih amat membutuhkan uang untuk kembali bangkit setelah tsunami,” kata Azwar, kelahiran Banda Aceh.
Kejadian pada Maret 2005 itulah yang membuka mata Azwar, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. ”Syarwan adalah bukti bahwa dana bergulir bisa dijalankan di Aceh,” katanya. Azwar segera meneguhkan hati. Dia memutuskan keluar dari USAID dan pindah domisili dari Jakarta ke Banda Aceh. ”Banyak teman yang bilang saya sudah gila. Tapi, kalau mau ngurusin kredit mikro dengan sistem dana bergulir, ya, harus serius.”
Forum Bangun Aceh (FBA) didirikan Azwar pada Februari 2005 untuk menyalurkan bantuan di masa tanggap darurat, juga menjajaki penyaluran kredit mikro. Dana dikumpulkan dari teman dan dermawan. Kredit yang disalurkan di tahap awal ini antara Rp 200 ribu dan Rp 1 juta. ”Ada yang bikin usaha tambal ban, ada yang berjualan nasi lemak, ada juga yang buka kedai kopi,” kata Fakhrurazi, Manajer Program Kredit Mikro FBA.
Awalnya, Forum tak punya pengetahuan tentang sistem penyaluran dana bergulir. ”Semuanya serba darurat. Berangkat dari niat baik saja,” kata Fakhrurazi. Akibatnya, sampai akhir 2005, kredit yang macet cukup tinggi, yakni 55 persen dari total kredit yang Rp 100 juta. Toh, keadaan ini tak membuat langkah jadi surut. ”Kalau dipandang dari sudut positif, masih ada 45 persen dana yang kembali. Luar biasa untuk sebuah awalan,” kata Azwar. Lagi pula, dia melanjutkan, pada tahun pertama setelah tsunami, banyak lembaga membagikan dana hibah gratis. Walhasil, ”Ada saja nasabah kami yang tak mau membayar angsuran. Kalau yang lain gratis, kenapa yang ini harus membayar?”
Memasuki tahun kedua, 2006, lembaga donor mengalir menawarkan bantuan kepada Forum. Namun Azwar hanya mau merangkul donatur personal, lembaga kecil, atau perusahaan yang menyalurkan dana CSR (corporate social responsibility). ”Saya menghindari lembaga donor besar yang cenderung menjadikan bantuan sebagai industri. Dana yang benar-benar nyampe ke bawah cuma sedikit,” katanya. Azwar yakin dana dari lembaga kecil lebih efisien.
Perlahan, sistem mulai tertata. Prosedur permohonan kredit diterapkan. Formulir proposal bisnis sederhana dibuat agar si pemohon bisa melakukan assessment soal pendapatan, pengeluaran, dan kesanggupan membayar. Tak ada bunga kredit di sini. Hanya ada uang jasa 0,5 persen untuk pinjaman di bawah Rp 5 juta, 1 persen untuk pinjaman di bawah Rp 10 juta, dan 1,5 persen untuk kredit di atas Rp 10 juta. Jangka pengembalian bervariasi, antara satu dan dua tahun. Februari lalu, Forum telah menggunakan peranti lunak microfinance produk Permodalan Nasional Madani agar sistem lebih rapi dan akuntabel.
Salah satu terobosan yang dilakukan Forum adalah merekrut motivator lokal. Jurus inilah yang rupanya luput dijalankan banyak lembaga kredit mikro yang menjamur di Aceh pascatsunami. Akibatnya, tak sedikit lembaga kredit mikro yang menguap ketika donor menghentikan bantuan.
Bagi Forum, motivator lokal inilah ujung tombak penyaluran kredit. Ada tiga kriteria untuk bisa dipilih sebagai motivator, yakni nasabah yang terbukti berhasil, punya pengaruh, dan termasuk tokoh masyarakat. Amiruddin, 36 tahun, misalnya, direkrut sebagai motivator lokal di Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar. Pada 2005, Amiruddin meminjam dana Rp 5 juta dari Forum untuk modal muge, berdagang ikan keliling. ”Utang saya lunas dalam setahun, sesuai perjanjian,” katanya. ”Saya pun Kepala Dusun Ulee Gle, Meunasah Mesjid, Krueng Raya. Jadi orang desa mau mendengar apa kata saya.”
Peran motivator lokal ini—mereka digaji dari sebagian uang jasa—cukup penting. Merekalah yang merekrut calon nasabah di daerah masing-masing. Mereka jugalah yang memeriksa kelaikan proposal bisnis yang diajukan calon nasabah. ”Kalau sudah banyak yang buka warung kelontong, kami sarankan orang itu buka usaha lain,” kata Amiruddin. Motivator lokal juga wajib rutin menyambangi para nasabah Forum. ”Kalau ada kesulitan, kami bicarakan. Seperti keluarga saja,” kata lelaki yang saat ini mengawasi 35 nasabah di kawasan Krueng Raya itu.
Kamaruzaman, 40-an tahun, adalah salah satu nasabah dalam kelompok Amiruddin. ”Bang Amir ini yang membantu saya mendapat kredit Rp 10 juta,” katanya. Uang itu digunakan untuk modal membuat bengkel mobil yang berdampingan dengan toko kelontong. ”Bengkel ini sudah dari dulu ada, tapi habis waktu tsunami,” kata Kamaruzaman. Bengkel itu kini kembali mewarnai hidup keluarga Kamaruzaman. ”Lumayan, penghasilan bersih bisa Rp 3-4 juta per bulan,” katanya. ”Utang saya pun sudah lunas tiga bulan lalu.”
Seperti Kamaruzaman, Abdul Wahid nasabah dalam kelompok Amiruddin. Lelaki 60-an tahun ini menjalankan usaha penggilingan biji kopi di Desa Ruyung, Krueng Raya. ”Ini bisnis keluarga sejak 1970-an. Tapi habis semua kena tsunami,” kata Abdul. Pada pertengahan 2005, Abdul diminta Amiruddin mengajukan permohonan kredit kepada Forum. ”Dapat Rp 15 juta. Buat beli biji kopi dan mesin giling,” kata bapak tujuh anak ini.
Dengan mesin giling berkapasitas 250 kilogram biji kopi, usaha Abdul Wahid berkembang pesat. Bubuk kopi yang dikemas dalam merek Abi Wahid ini—harganya Rp 45 ribu per kilogram—dipasok ke kedai yang tumbuh menjamur di Aceh pascatsunami. Para pendatang, termasuk pekerja lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri, juga rajin membeli kopi Abi Wahid untuk buah tangan. Saban pekan bubuk kopi yang dijual rata-rata 400 kilogram. Penghasilan kotor Abdul mencapai Rp 72 juta per bulan. ”Alhamdulillah, bisa menghidupi delapan karyawan,” kata Abdul, yang berencana meningkatkan kualitas kemasan kopinya dengan menggunakan bungkus aluminum foil. ”Biar kesegaran kopi tahan lama dan bisa masuk supermarket,” katanya.
Tak hanya kopi Abi Wahid yang bersinar. Forum Bangun Aceh pun kian bertumbuh. Proporsi kredit macet berangsur menurun, yakni 40 persen pada 2006 dan 30 persen pada 2007. Tahun lalu, kredit macet turun lagi hingga tinggal 10 persen. Dana yang dikelola telah membengkak hingga Rp 4 miliar, yang menjangkau 989 nasabah di tujuh kabupaten di Aceh. Puluhan motivator lokal turut serta dalam pertumbuhan ini. Forum pun tak lagi butuh suntikan dana dari lembaga donor. ”Kami sudah percaya diri,” kata Azwar.
Mardiyah Chamim, Maimun Saleh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo