Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Krisis Ekonomi</B></font><BR />Jatuh ke Titik Nol

Pernah menjadi negara kaya di Afrika, inflasi di Zimbabwe meroket. Pecahan Z$ 100 miliar tidak cukup untuk membeli tiga butir telur.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RITUAL itu dilakoni Grace Sibanda saban hari berangkat kerja. Di pagi buta, tanpa membangunkan tiga anaknya yang tidur berdempet-dempetan di ranjang yang sama dengan dirinya, perempuan 36 tahun itu meninggalkan rumah, bergabung dengan warga yang berkerumun di jalan-jalan Dzivaresekwa. Dari permukiman di sebelah selatan Harare, ibu kota Zimbabwe, itu, sekumpulan penduduk tadi jalan kaki tiga jam menuju pusat kota tempat mereka bekerja.

Inilah kaum pejalan kaki yang biasa dijumpai di negara itu. Julukan mereka "klub pejalan kaki", dan Sibanda salah satu anggotanya. "Kami beruntung memiliki pekerjaan, tapi harus jalan kaki karena ongkos bus satu hari lebih mahal ketimbang pendapatan seminggu," kata Sibanda, yang bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko.

Sibanda pergi ke tempat kerja bersama-sama karena situasi negeri itu lagi gawat. Penyerangan kerap terjadi di tengah jalan, apalagi kalau nekat jalan sendirian. "Yang diincar bukan uang, melainkan bekal makanan," katanya seperti dikutip The Guardian, pekan lalu. Sibanda kebetulan selalu membawa tas plastik. Isinya buah dan sayuran untuk mengganjal perut di waktu siang.

Lidahnya sudah lama tidak mencicipi roti karena harga penganan itu tak terjangkau lagi. Sepotong roti di Zimbabwe dibanderol Z$ 100 miliar atau sekitar Rp 48.670. Sedangkan gaji Sibanda hanya Z$ 150 miliar. Pendapatan sebulan penduduk negeri itu antara Z$ 15 miliar dan Z$ 300 miliar-belum dipotong pajak. Bagi yang tidak punya keahlian, gajinya hanya Z$ 10 miliar per bulan.

Perekonomian Zimbabwe memang meluncur ke titik nol. Tingkat penganggurannya 80 persen. Jumlah warga yang tergabung dalam "klub pejalan kaki" menyusut karena minimnya pekerjaan. Inflasi dalam enam bulan terakhir, menurut kalkulasi pemerintah, meroket 2,2 juta persen. Namun kalangan swasta menilai inflasi menembus 12,5 juta persen dan diperkirakan melejit 100 juta persen dalam tiga bulan ke depan. Padahal, Februari lalu, inflasi Zimbabwe "masih" 165 ribu persen.

Rekor inflasi tertinggi memang masih dipegang Hungaria setelah Perang Dunia II, sekitar 41,9 kuadriliun persen per tahun atau 19 ribu persen per bulan. Namun situasi Zimbabwe sudah membuat rak-rak di supermarket kosong melompong. Bahan pokok langka. Tidak ada roti. Tidak ada beras. Kalaupun ada, harganya membuat penduduk menjerit.

Tendai Mutseyekwa, jurnalis The Vancouver Sun, mengisahkan lawatannya dari Harare menuju Beit Bridge. "Sepanjang perjalanan 600 kilometer, saya tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan atau diminum," katanya. Sekalinya ada, sebotol Coca-Cola Light dijual Z$ 58 miliar. Satu kilogram daging nilainya Z$ 370 miliar.

Kenaikan harga itu membuat banyak penduduk Zimbabwe hidup menderita. "Tapi tidak ada yang percaya dengan apa yang telah menimpa negeri kami," kata Sibanda. "Mereka menertawai harga-harga yang mencapai miliaran dolar Zimbabwe, padahal bagi kami itu bukan hal lucu."

Krisis ekonomi dan politik pasca-pemilihan presiden Maret dan Juni lalu merangsek ke seluruh aspek kehidupan. Warga menghabiskan hari-harinya untuk mendapatkan pasokan listrik dan air. Mereka berjam-jam antre demi sepotong roti. Ongkos menginap di sebuah hotel lokal bisa mencapai Z$ 5 triliun per malam, di atas total gaji yang dibayar perusahaan kelas menengah. Pabrik manufaktur yang tersisa hanya berproduksi 30 persen dari kapasitas.

Sekolah dan rumah sakit berubah fungsi karena banyak guru dan perawat hijrah ke Afrika Selatan demi memperoleh gaji yang lebih layak. Sedangkan nilai mata uang yang dikeluarkan Zimbabwe Reserve Bank beberapa bulan lalu terdevaluasi dalam tempo singkat. Nilainya bahkan tidak cukup untuk membeli segulung kertas toilet.

Sulitnya memperoleh mata uang dalam bentuk tunai dan susutnya nilai mata uang tersebut mendorong bank sentral negeri itu mengeluarkan uang kertas pecahan baru: Z$ 100 miliar. Pecahan baru itu beredar sejak Senin pekan lalu. Padahal, Januari lalu, bank sentral sudah mengedarkan pecahan Z$ 10 juta, dan Z$ 50 juta pada April. Bulan berikutnya beredar pecahan Z$ 100 juta dan 200 juta, yang disusul pecahan Z$ 25 miliar dan 50 miliar.

Bank sentral juga menetapkan pengambilan tunai per hari maksimum Z$ 100 miliar, baik untuk individu maupun perusahaan. Tapi, ya itu tadi, nilai pecahan baru itu "hanya" sama dengan sepotong roti. Bahkan tidak cukup untuk membeli tiga butir telur.

Langkah bank sentral menerbitkan pecahan baru itu belakangan juga memercikkan reaksi. Pemerintah Jerman meminta Giesecke & Devrient, perusahaan yang menyuplai kertas uang buat Zimbabwe, menghentikan pasokan. Jura JSP, perusahaan Austria-Hungaria, juga akan menyetop penyediaan peranti lunak yang dipakai untuk mendesain dan mencetak mata uang Zimbabwe bila Uni Eropa meminta.

lll

JEBLOKNYA ekonomi di negeri itu, menurut lawan politik Presiden Robert Mugabe, dipicu oleh mismanajemen dan korupsi rezim Mugabe. Negara itu selama 1998-2002 juga terlibat perang dengan Republik Kongo, hingga menguras biaya ratusan juta dolar Amerika.

Situasi kian parah setelah Mugabe, yang mengangkat diri sendiri menjadi presiden sejak 1988, menerapkan program reformasi lahan yang ngawur. Pada tahun 2000, diktator itu mengambil alih secara paksa lahan pertanian petani kulit putih untuk didistribusikan ke petani kulit hitam. Kebijakan ini menyebabkan 4.000 petani kulit putih kehilangan lahan.

Sejak itu, ekonomi Zimbabwe terjun bebas. Ekspor pertanian, khususnya tembakau, turun drastis. Ini terjadi karena lahan tembakau, yang pada 1999-2000 luasnya 180 ribu hektare, menciut menjadi sepertiganya pada 2007-2008. Lahan kacang kedelai untuk kurun waktu yang sama amblas 100 ribu hektare dari luas semula sekitar 220 ribu hektare, dan pertanian jagung anjlok dari 850 ribu hektare tinggal 500 ribu hektare.

Mugabe menuduh isolasi finansial yang masif yang dilakukan Amerika, Inggris, dan Uni Eropa melalui Zimbabwe Democracy and Economic Recovery Act (ZDERA) tujuh tahun lalu menjadi biang kerok tingginya inflasi negara itu. Menurut Mugabe, melalui ZDERA, Amerika melakukan berbagai upaya ke Dana Moneter Internasional dan lembaga keuangan lain untuk membatalkan kucuran utang buat Zimbabwe. Sanksi ini diberikan karena Zimbabwe terlibat perang dengan Kongo.

Ia bahkan menuding Inggris berada di balik inflasi yang mengguncang negeri itu. Pria 84 tahun ini juga menyerang kaum oposisi sebagai boneka Inggris dan Amerika. "Kami tahu apa yang mereka inginkan. Bila rezim berganti, sumber daya negara kami akan berada di bawah kontrol mereka," kata Mugabe dalam suatu peluncuran program subsidi makanan di televisi dua pekan lalu.

lll

SITUASI ekonomi itu sungguh kontras dibanding saat Zimbabwe merdeka pada 1980. Masa itu, Z$ 1 pernah setara dengan US$ 1,47. Negeri yang diapit Sungai Limpopo dan Zambesi itu juga pernah tercatat sebagai salah satu negara terkaya di Afrika dengan kandungan mineral yang melimpah.

Tapi pemandangan sehari-hari di Harare belakangan ini tidak menyisakan kejayaan itu. Yang ada, praktek jual-beli kebutuhan pokok di pasar gelap meningkat. Detergen yang diperjualbelikan di pasar gelap melonjak 70 juta persen. Sedangkan penjualan minyak goreng dan gula melejit 60 juta persen dan 36 juta persen. Di pasar gelap, nilai tukar Z$ 90 miliar sama dengan US$ 1. Bandingkan dengan nilai tukar resmi bank, Z$ 20 miliar setara dengan US$ 1.

Akibat langkanya kebutuhan pokok itu, Gideon Gono, gubernur bank sen-tral Zimbabwe, mengatakan akan mensubsidi makanan di toko tertentu dan lewat pemberian kupon. "Lewat program ini, setiap keluarga cukup merogoh Z$ 100 miliar untuk mendapatkan satu keranjang berisi minyak goreng, sabun, dan terigu," kata Mugabe. Namun banyak kalangan mempertanyakan bagaimana bank sentral bisa membiayai subsidi mengingat seluruh servis publik kolaps karena minimnya bujet pemerintah.

Kepercayaan bisnis di negeri itu juga ambruk. Survei yang dilakukan Confederation of Zimbabwe Industries pada 2007-tapi baru dilansir pekan lalu-menyebutkan hanya dua persen responden yang optimistis akan indeks kepercayaan bisnis. Sebagai negara yang pernah mencicipi masa jaya, Zimbabwe tinggal menunggu waktu untuk jatuh.

Yandhrie Arvian (The Guardian, AFP, AP, CNN)

Indikator2008*1990
Populasi12,3 juta10,4 juta
Ekspetasi hidup40,87 (L) 38,55 (P)59 (L) 63(P)
Kematian per 1000 populasi21,79
Pertumbuhan populasi0,568 %3,3 %
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto-6,1 %4,2 %
Pengangguran80 %20 %
Inflasi12,5 juta %18 %

L: Laki-laki, P: Perempuan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus