Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABURIZAL Bakrie mengusap wajah dengan saputangan putih. Mukanya memerah dan baru sesaat kemudian kembali seperti semula. ”Kasus PT Kaltim Prima Coal sudah selesai. Ia sudah inkracht, berkeputusan hukum tetap. Tidak bisa diapa-apain,” katanya menjawab pertanyaan Tempo pada sebuah acara Selasa pekan lalu di Langsat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bos Grup Bakrie itu mengembalikan saputangan tadi ke kantong kanan celana jins birunya.
Adalah putusan Mahkamah Agung pada 24 Mei lalu yang membuat Aburizal yakin dengan ucapannya. Tanpa dissenting opinion, Hakim Agung Paulus E. Lotulung, Imam Soebechi, dan Supandi bulat sepakat menolak peninjauan kembali yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak atas putusan pengadilan pajak tahun lalu yang telah memenangkan gugatan Kaltim Prima Coal.
Perkara yang diputus pengadilan tertinggi ini bermula dari selembar surat Kaltim Prima Coal. Surat bertanggal 31 Maret 2008 ini dilayangkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Gambir, Jakarta. Dalam surat itu, Kaltim Prima Coal menjelaskan telah menyetor Rp 149 miliar untuk pembayaran pajak 2007. Kaltim Prima mengklaim ada kelebihan bayar Rp 30 miliar dan menuntut kelebihan ini direstitusi atau dikembalikan.
Kantor pajak tidak begitu saja membayar klaim restitusi. Mesti dilakukan pemeriksaan terlebih dulu. Surat perintah pemeriksaan dilansir pada 9 Mei 2008. Hampir setahun kemudian, pada 6 Maret 2009, Kaltim Prima Coal menerima surat bukti permulaan dari Direktorat Jenderal Pajak yang bertanggal 4 Maret 2009. Inti surat, petugas pajak menemukan bukti permulaan adanya kejanggalan. Pemeriksaan pun meningkat ke tahap penyelidikan.
Surat bukti permulaan itulah yang dipermasalahkan Kaltim Prima Coal. Mereka melayangkan gugatan ke pengadilan pajak. Perusahaan batu bara terbesar di Indonesia itu menilai surat cacat hukum. Soalnya, saat diteken, kantor pajak belum membuat laporan pemeriksaan pajak sumier atau tanda berakhirnya pemeriksaan awal yang dimulai pada Mei 2008. Kantor pajak baru menerbitkan laporan sumier pada 5 Maret 2009.
Padahal, menurut Kaltim Prima, sesuai dengan aturan laporan sumier, hasil pemeriksaan awal harus diterbitkan terlebih dulu sebelum aparat pajak meningkatkan pemeriksaan. Pengadilan pajak sepakat dengan pendapat ini. Pada sidang 8 Desember 2009, majelis hakim pengadilan pajak yang diketuai Djazoeli Sadhani membatalkan surat perintah bukti permulaan terhadap Kaltim Prima Coal.
Dua pekan lalu, Mahkamah Agung menguatkan putusan tersebut. ”Ada salah prosedur. Seharusnya surat perintah bukti permulaan itu diterbitkan setelah keluar laporan sumier,” kata Supandi ketika dihubungi akhir pekan lalu.
Selasa malam itu Aburizal melanjutkan kalimatnya dengan percaya diri. Kemenangan itu, menurut dia, tak lebih karena Kaltim Prima Coal adalah perusahaan yang bersih. ”Kalau semua bersih, percayalah keadilan akan membela,” katanya.
Beres? Eiitss… tunggu dulu. Tak semua pihak happy dengan keputusan Mahkamah Agung. Sudah hampir dua pekan ini Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo risau memikirkan ihwal ini. Tjiptardjo menolak berkomentar panjang. ”Masih kami pelajari,” katanya.
Sumber Tempo mengungkapkan kesibukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak meningkat setelah kemenangan Kaltim Prima. Berkali-kali Tjiptardjo mengumpulkan anak buahnya, dari biro hukum hingga Direktorat Intelijen dan Penyidikan. Semua diminta mengkaji kekalahan ini dari berbagai sisi.
Skor sementara ini dua kosong untuk Kaltim Prima. Kekalahan yang menyakitkan bagi Direktorat Jenderal Pajak. Para penyidik pajak telah bekerja keras mengumpulkan bukti. Surat perintah bukti permulaan diterbitkan karena telah ditemukan indikasi kuat adanya tindak pidana Kaltim Prima Coal. Jumlah pajak dibayar, terlebih jika dikurangi tuntutan restitusi Rp 30 miliar, dianggap tidak wajar. Terlalu sedikit jika dibanding omzet penjualan Kaltim Prima Coal pada 2007, apalagi harga batu bara ketika itu melonjak tajam.
Sepanjang 2007, sesuai dengan data Indonesian Coal Index, harga batu bara terus menanjak. Dari US$ 47 per ton pada awal tahun, harga batu bara melonjak hampir dua kali lipat, yakni US$ 84 per ton, pada akhir 2007.
Seorang penyidik berkisah, Darmin Nasution—Direktur Jenderal Pajak saat itu—sebenarnya pernah meminta Kaltim Prima memperbaiki SPT yang tak wajar tersebut. Hampir setahun permintaan ini tak digubris. Pemeriksaan awal pun ditingkatkan. Hanya butuh waktu 26 hari, kantor pajak memutuskan meningkatkan status pemeriksaan bukti permulaan ke tahap penyidikan.
Hasilnya, penyidik menemukan aneka rupa kejanggalan. Penjualan Prima, Pinang, dan Melawan—tiga produk batu bara Kaltim Prima Coal—pada 2007 mencapai lebih dari 38 juta ton. Kaltim Prima diduga mengutak-atik angka penjualan sehingga nilai yang dilaporkan lebih rendah daripada kalkulasi tim pajak. ”Selisih nilai penjualan hampir Rp 4 triliun,” kata seorang penyidik.
Usut punya usut, selisih itu disebabkan Kaltim Prima lebih dulu menjual produksi batu baranya ke Indocoal Resource Limited. Ini perusahaan di Kepulauan Cayman, Karibia. Sebagai catatan, 70 persen saham Indocoal dikuasai PT Bumi Resources yang juga milik Grup Bakrie.
Nah, di antara kotak-kotak Grup Bakrie inilah rekayasa diduga terjadi. Batu bara Kaltim Prima diduga dilego separuh harga kepada Indocoal. Lalu Indocoal menjualnya kepada pembeli lain dengan harga pasar. Akibatnya, omzet penjualan yang tercatat pada Kaltim Prima lebih rendah. Susutnya penjualan ini berdampak kurangnya pendapatan perusahaan. Kewajiban pajak pun mengecil. Selisih kewajiban pajak ini tidak main-main, Rp 1,5 triliun.
Dugaan kerugian negara sebesar itulah yang membuat Direktorat Jenderal Pajak berhitung serius menyikapi putusan Mahkamah Agung. Mereka tak mau kasus ini lenyap hanya karena kesalahan administratif. Akhir pekan lalu Tjiptardjo angkat bicara. Putusan Mahkamah Agung, menurut dia, hanya menyangkut administrasi surat-menyurat. ”Bukan substansi perkara pidana,” kata Tjiptardjo. ”Jadi penyidikan masih bisa berjalan.”
Sikap Direktorat Jenderal Pajak disambut gembira Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga swadaya masyarakat antikorupsi ini sejak awal mengamati berbagai kejanggalan pada bisnis tambang Grup Bakrie. Khusus pada Kaltim Prima Coal, menurut Firdaus Ilyas, aktivis ICW, angka penjualan yang dilaporkan perseroan selalu berbeda dari satu dokumen ke dokumen lainnya.
Laporan keuangan perseroan 2007, misalnya, menyebut hasil penjualan bersih Kaltim Prima Coal mencapai US$ 1,28 miliar. Bandingkan dengan dokumen penawaran surat utang Enercoal Resources Pte., Ltd.—emiten di Singapura—yang penerbitannya dijamin oleh PT Bumi Resources Tbk., pada November tahun lalu. Dalam dokumen ini, penjualan bersih Kaltim Prima Coal pada 2007 adalah US$ 1,59 miliar.
Selisih data penjualan memang amat signifikan. Nilai selisih US$ 306,8 juta ini setara dengan Rp 2,8 triliun jika dihitung dengan kurs tengah saat itu yang Rp 9.136,4 per dolar Amerika Serikat. ”Itu baru angka penjualan, belum data lainnya,” kata Firdaus. ”Jadi kami mendukung seratus persen upaya Direktorat Jenderal Pajak meneruskan kasus pajak Kaltim Prima Coal.”
Aji Wijaya, pengacara Kaltim Prima Coal, menampik semua tudingan tersebut. Menurut dia, kliennya adalah kontraktor batu bara yang selalu menyampaikan laporan penjualan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. ”Tak mungkin klien saya memanipulasi data penjualan,” katanya.
Hingga pekan lalu, Aji Wijaya belum bisa memastikan apakah kliennya telah menerima salinan putusan Mahkamah Agung. ”Klien kami akan mengikuti prosedur,” katanya. ”Sampai hari ini masih menunggu Direktorat Jenderal Pajak mematuhi putusan pengadilan pajak.”
Kemenangan Kaltim Prima pun sejatinya belum 100 persen. Meski menolak peninjauan kembali kantor pajak, Mahkamah Agung tidak menutup mata terhadap adanya dugaan pidana yang sedang ditangani penyidik pajak. Yang menjadi subyek sidang Mahkamah, menurut Hakim Agung Supandi, adalah surat perintah bukti permulaan. ”Bukan materi pidana Kaltim Prima Coal,” kata Supandi.
Jika masih bertekad meneruskan perkara dugaan manipulasi pajak, menurut Hakim Agung Supandi, Direktorat Jenderal Pajak harus memperbaiki surat yang bermasalah. ”Silakan saja,” katanya.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo