Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HITAM tidaklah muram. Made Budhiana justru menyajikan keceriaan yang tersebar dengan membubuhkan sapuan warna-warni merah, putih, biru, dan kuning di atas kanvas kelam seukuran 125 x 110 sentimeter itu. Warna-warna itu membentuk obyek-obyek tertentu, meski tak begitu kentara, seperti ilusi kepulan asap dan rumah.
”Karya seni mestinya dinikmati dengan rasa, bukan lewat logika dan pancaindra,” kata Budhiana tentang lukisan Gerak Energi Malam yang kini dipajang bersama sejumlah karya lain dalam pameran tunggalnya di Maha Art Gallery, Sanur, Bali, sejak akhir Mei hingga 26 Juni. Bersamaan dengan itu perupa senior Bali ini juga meluncurkan buku biografinya yang ditulis I Wayan Suardika, Melintas Cakrawala, judul yang sama dengan pamerannya kali ini.
Rasa dan intuisi adalah jantung berkesenian perupa kelahiran Denpasar, 27 Maret 1959, itu sejak memilih gaya abstrak sebagai jalur kreatifnya, khususnya setelah tiga tahun ditempa sebagai mahasiswa junior di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta pada awal 1980-an. Meski menguasai teknik realis berbasis anatomi dan komposisi, dia memilih jalan lain. Baginya, abstrak jauh lebih mempesona karena luasnya kemungkinan untuk menafsirkan kehidupan melalui garis dan warna.
Budhiana juga yakin, hidup sebagai perjalanan yang penuh misteri tak cukup dibakukan dalam aturan-aturan yang mapan. Keindahan ada dalam pergulatan dan pengalaman menjalaninya, sering dalam episode yang dianggap pahit, sengsara, dan penuh tragedi. Menjalani hidup bukan sekadar olah fisik, melainkan juga melibatkan rasa dan jiwa serta persepsi dan intuisi, sehingga keindahan sebenarnya berserakan dalam kehidupan kita. ”Segalanya bergantung pada kita sendiri dalam memposisikan dan menghayati,” ujarnya.
Pandangan itu ia peroleh setelah menempuh perjalanan panjang. Di awal kariernya, dia berkompromi dengan wacana besar tentang keunggulan budaya Bali, yang diyakini banyak perupa Pulau Dewata. Wacana ini menghasilkan reproduksi simbol-simbol Bali berupa kegenitan para penari yang liris dan menawan dalam karya-karya Nyoman Gunarsa, respons simbolik pada perkembangan zaman yang mengungkap ”kengerian” karya Nyoman Erawan, hingga titik-titik ritmis pada karya Made Wianta.
Pada masa itu Budhiana bergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia, perkumpulan perupa Bali yang tinggal di Yogyakarta. Di sini dia memungut tradisi rerajahan yang sering digunakan balian (dukun) untuk memberikan sugesti dalam pengobatan dan ritual. Rerajahan itu biasanya dibuat dalam ukuran kecil atau di bagian tubuh seperti telapak tangan dengan warna-warna kelam. Huruf-huruf dan simbol-simbol yang unik dan mistis itu mempesonanya.
Budhiana mengolah rerajahan itu dalam ukuran besar dan lebih ekspresif. Kesan dekoratif dan ritmis ia ubah menjadi garis dan sapuan tanpa bentuk. Upaya membebaskan diri dari warisan simbolik Bali sangatlah kentara dalam karyanya. Tapi dia mempertahankan suasana magis dan kehadiran dunia lain, yang diyakininya sebagai bagian dari ajaran Rwa Bhinneda—pandangan masyarakat Hindu tentang dua sisi yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Gaya ini muncul, misalnya, dalam karya Tiga Rajah (1985), yang berhasil meraih penghargaan Pratisara Affandi Adhikarya untuk kategori lukisan nonrealis.
Dia pulang ke Bali pada 1987 dan merombak rumahnya menjadi studio terbuka. Rumah keluarga di Jalan Veteran, Denpasar, itu jadi tempat persinggahan para pelukis, penyair, pemusik, dan dramawan. Dari pembicaraan lepas di sana, sering proyek kesenian diluncurkan, dari pameran lukisan hingga pembuatan karya lintas media. Tahun-tahun itu pula ia berkesempatan menjelajahi sejumlah negara seperti Australia, Swiss, Skotlandia, dan Singapura.
Tapi perjalanannya itu mengantarkannya pada suatu titik bahwa gaya abstraknya makin tak mencukupi. Ia merasa harus membebaskan diri dari ikatan apa pun dan melayang tinggi dalam perasaan bebas tanpa batas, termasuk bebas dari rasa cemas akan ditinggalkan para pembeli lukisannya. Gaya lukisannya makin meninggalkan idiom Bali. Ia berusaha menemukan irama warna dalam variasi yang ditentukan oleh perasaan hati saat kuas menyapu atau menggores kanvas.
Sikapnya diteguhkan dengan pembuatan sejumlah karya instalasi, seperti ketika dia terlibat dalam perkemahan seniman ”Gigir Manuk” pada 2001 di Kubu Tambahan, Buleleng. Tapi yang fenomenal justru kebiasaannya sehari-hari untuk melukis sketsa dan karikatur di mana pun dan kapan pun dengan medium yang sangat beragam. Ia memanfaatkan bungkus rokok hingga kartu nama dan melukis saat berada di pesawat, menunggu pengabenan, atau sedang mengobrol dengan teman-temannya.
Koleksi sketsanya kini nyaris ribuan, yang disimpannya rapi layaknya mengumpulkan kartu nama. Seluruh aktivitasnya kini berpusat di rumah budaya yang didirikannya dan diberi nama Snerayuza, yang berarti udara segar—cocok dengan lingkungan rumah yang terletak di pinggir kota dan di tengah rimbunnya pepohonan.
Alasan kebebasan pula yang mendorongnya untuk mengundurkan diri dari Sanggar Dewata Indonesia pada 2002. Dia merasa Sanggar telah menjadi ruang yang terlalu sempit, apalagi dengan kuatnya patronase yang berpusat pada beberapa pelukis senior. ”Seperti terus dibayang-bayangi, meskipun gaya lukisan anak-anak muda sudah jauh berbeda,” ujar Budhiana.
Pada sebagian perupa, patronase dianggap telah membunuh elan kreatif pelukis muda karena godaan untuk lebih cepat mendapat uang dan terkenal. Pelukis senior dan pendiri Sanggar, Nyoman Gunarsa, membantah tuduhan itu. ”Kalau sekadar membantu yang muda dan belum mampu tentu hal yang wajar,” kilahnya.
Budhiana juga memilih berada di luar garis tatkala dunia seni rupa Bali disibukkan oleh Bali Biennale pada 2005. Dia bahkan membuat kaus bertulisan ”Benalu Seni Rupa Bali”. Alasannya, kegiatan itu dirancang tergesa-gesa dengan membuat pengelompokan perupa yang lumayan rumit, sehingga banyak perupa tak berkualitas bisa masuk sekadar untuk memenuhi kategori. ”Itu sama saja dengan memanipulasi proses kematangan karya,” ujarnya.
Kurator dan penggagas Bali Biennale, Putu Wirata, menganggap sikap Budhiana itu sebagai energi untuk berbuat lebih baik, tapi menolak anggapan bahwa belum saatnya kegiatan itu dilakukan. ”Kalau tidak digelar, kita tidak akan tahu,” katanya.
Menurut Wayan Suardika, sikap Budhiana menunjukkan bahwa dia merasa lebih sebagai bagian dari warga dunia. Itu tak lepas dari masa kecilnya yang dibesarkan dalam suasana yang plural. Banjar Belaluan yang ditinggalinya adalah tempat persilangan budaya berbagai etnis seperti Cina, Jawa, Arab, dan Eropa.
Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan adat juga karena kewajiban belaka. ”Dia tak memiliki kebanggaan yang absolut terhadap Bali, bahkan cenderung kritis,” kata Suardika. Budhiana mengakui dalam kegiatan adat itu ia lebih merasa sebagai penonton yang mengamati dan mengagumi budayanya. Bali hanyalah cakrawala yang dia lintasi meskipun selalu tertaut kembali.
Adapun Putu Wirata menilai Budhiana sebagai sosok yang konsisten dalam upaya melukis dengan kebebasan individual yang sepenuh-penuhnya dengan melepaskan diri dari ikon, idiom, ataupun tren. ”Saat ini, misalnya, dia tidak tertarik dengan realisme figuratif yang sedang meledak,” katanya. Pameran di Maha Art juga menunjukkan karya-karyanya makin matang karena sudah tak tampak lagi ledakan emosional yang berlebihan.
Rofiqi Hasan, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo