Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi ratusan sopir anggota Serikat Buruh Transportasi Indonesia memanaskan suasana Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu dua pekan lalu. Mereka memarkir dua puluhan truk besar secara melintang, menutup pintu masuk Terminal Peti Kemas Koja, salah satu terminal di pelabuhan tersebut. Protes buruh itu membuat aktivitas bongkar-muat di dalam pelabuhan lumpuh.
Menjelang dinihari barulah kondisi berangsur-angsur normal setelah para sopir berhenti berunjuk rasa. "Ini hanya protes kecil. Kalau tak digubris, kami akan bikin Jakarta lumpuh," ujar Hamani, seorang sopir truk peserta unjuk rasa.
Hamani menuturkan para sopir berdemo karena gemas melihat kondisi pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok. Pungutan liar alias pungli terus terjadi. Sementara itu, waktu bongkar-muat barang dan peti kemas makan waktu berjam-jam, padahal fasilitas buat sopir sangat minim.
Para sopir sudah sering mengajukan keberatan, tapi jarang digubris. Walhasil, kata Hamani, menunggu dalam waktu lama jadi menu rutin pengemudi truk barang di Tanjung Priok. "Istilah kami ke pelabuhan itu seperti ke neraka," ujarnya.
Kegusaran para sopir itu sangat manusiawi. "Mereka sudah capek," kata Ketua Gabungan Forwarder, Logistik dan Ekspedisi Jakarta Budi Wiyono. Menurut dia, proses pengeluaran barang impor dari Tanjung Priok rata-rata 5-7 hari, lebih lama dibanding Port Klang, Malaysia.
Di pelabuhan negeri jiran itu, pengeluaran barang impor—asal barang sama dengan yang dikirim ke Priok—hanya 2-3 hari. Lamanya waktu bongkar-muat di Tanjung Priok sangat merugikan sopir dan pengusaha.
Survei Bank Dunia menunjukkan, waktu pengiriman barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok memang terus memburuk. Pada 2010, waktu yang dibutuhkan 4,9 hari. Namun tahun lalu naik menjadi 6 hari. Jangan kaget, peringkat logistik Indonesia versi lembaga donor itu melorot dari peringkat ke-47 pada 2007 menjadi nomor 75 pada 2010.
Bank Dunia juga membuat perbandingan dengan Dry Port di Cikarang, Bekasi. Hasilnya, biaya dan waktu proses bongkar-muat di Tanjung Priok nyaris dua kali lipat dibanding Pelabuhan Cikarang. Waktu mengeluarkan barang impor melalui jalur merah, misalnya, di Tanjung Priok butuh tujuh hari. Sebaliknya di Cikarang hanya tiga hari.
Walhasil, para pengusaha semakin melirik Cikarang. "Anggota kami di sekitar Bekasi, Karawang, sampai Cikampek akan diarahkan ke Cikarang agar lebih efisien," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy.
Sebagai pelabuhan tersibuk di Indonesia, Tanjung Priok merupakan jangkar penting logistik nasional. Data PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II menunjukkan, pelabuhan ini menangani lebih dari 30 persen komoditas nonmigas Indonesia dan 50 persen arus barang keluar-masuk Indonesia.
Traffic arus peti kemas internasional dan domestik pelabuhan ini rata-rata bertumbuh 26 persen per tahun. Arus peti kemas di Tanjung Priok pada 2009 tercatat 3,7 juta twenty feet equivalent unit (TEUs) dan pada 2010 mencapai 4,7 juta TEUs. Pada November tahun lalu, arus peti kemas sudah mentok, mencapai kapasitas maksimum sebesar 5 juta TEUs.
Pelindo II, sebagai pengelola, tidak tinggal diam. Mereka berbenah dan melakukan langkah efisiensi. General Manager PT Pelindo II cabang Tanjung Priok, Cipto Pramono, menjelaskan, perseroan sudah menambah alat bongkar-muat, menerapkan sistem layanan online, sampai perluasan kapasitas lahan pelabuhan. "Tapi belum berhasil juga," ujar Cipto.
Mentoknya kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok membuat pemerintah mencari solusi baru. Salah satunya memperluas dan membangun terminal di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. "Sudah diputuskan, Pelindo yang membangun," kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Terminal baru ini ditargetkan rampung pada 2014.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo