Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman kondang yang biasa cengengesan dalam pentas itu tiba-tiba kehilangan kejenakaannya. Raut wajahnya serius. Dia sampai lupa menyulut kretek filter yang ia comot cepat-cepat dari bungkus di kantong celana jins sebetis yang dikenakannya. "Saya menolak permintaan yang disodorkan BRI Syariah," katanya membuka cerita saat ditemui di sebuah hotel di Jember, Jawa Timur, Rabu malam pekan lalu.
Aktor yang menolak disebut namanya itu keberatan karena merasa dipaksa menjual emas yang ia titip-gadaikan di BRI Syariah. Kerugiannya tambah bengkak, lantaran pihak bank masih menyorongkan tagihan lainnya: biaya sewa penitipan emas plus kewajiban membayar selisih harga emas yang saat ini sedang jeblok. Kalau ditotal, jumlahnya melampaui nilai uang yang ia tanam. "Saya sudah jatuh, masih mau ditimpa tangga. Saya beli Rp 510 ribu per gram. Sekarang disuruh jual di harga Rp 470 ribu."
Ingatannya kemudian kembali pada medio Agustus tahun lalu. Saat itu ia kepincut oleh kisah sukses seorang kenalannya yang menanamkan duitnya lewat produk gadai emas atau rahn di Bank Rakyat Indonesia Unit Syariah. Kebetulan ia kenal baik dengan salah seorang kepala cabang BRI Syariah di Yogyakarta. Sempat tanya ini-itu tentang seluk-beluk produk tersebut, pilihannya bulat. "Saya ikut program itu. Hitungan saya, ini investasi jangka panjang: tiga tahun," ujarnya seraya menyulut rokok, yang sebelumnya cuma ia mainkan di jemarinya.
Ia enggan menyebutkan berapa persisnya jumlah emas yang ia beli lewat program ini. "Pokoke akeh (pokoknya banyak). Bisa buat beli rumah baru."
Tawaran bank memang menggiurkan. Ketika itu harga emas dipatok Rp 510 ribu per gram. Namun sang aktor cukup merogoh kocek sebanyak 10 persen dari nilai emas yang hendak dibelinya. Sisanya dibayari bank, melalui skema pembiayaan yang disebut qardh atau pinjaman berjangka, yang harus dikembalikan pada waktu tertentu. Artinya, rasio pinjaman terhadap nilai investasi (loan-to-value/LTV) yang berlaku buatnya adalah 90 persen.
Jaminan utang adalah emas yang dibeli itu. Selanjutnya, emas dipegang pihak bank dan nasabah diwajibkan membayar ongkos penitipan. Jadi, meski katanya tanpa bunga seperti lazimnya pinjaman bank konvensional, bank syariah tetap mendapat penghasilan dari jasa penitipan itu.
Pertengahan Desember lalu, kontrak gadainya jatuh tempo. Karena berpikir investasi jangka panjang, ia berniat memperbarui akadnya. Namun tiba-tiba orang bank menelepon pada tanggal 22 bulan itu. "Katanya penting dan saya harus segera ke kantor mereka," ia bercerita.
Sesampai di sana, ia disodori macam-macam tagihan itu. "Mereka bilang, 'Nasabah lain mau, cuma Bapak yang ngeyel.' Saya bilang, 'Yo ben (biar saja).' Saya ngeyel karena ini tidak adil. Kalau begini caranya, namanya bukan syariah, tapi perjudian."
Bukan hanya sang seniman yang terserimpung urusan emas. Di Makassar, Sulawesi Selatan, seorang nasabah bernama Lenny bahkan mengadukan manajemen BRI Syariah setempat ke polisi karena merasa ditipu oleh iming-iming produk gadai emas ini. Kepada polisi, dia mengaku menyetor emas sebanyak 500 gram di bank itu pada Agustus tahun lalu.
Kala itu dia mendapat informasi bahwa emas yang disimpannya bakal dilipatgandakan menjadi 2,5 kilogram melalui produk yang disebut "berkebun emas". "Saya merasa ditipu karena sekarang disuruh bayar Rp 300 juta. Katanya untuk perpanjangan masa penitipan emas," ujar Lenny, Kamis pekan lalu.
Dia mengaku bingung lantaran tak pernah ada yang memberi tahu perihal biaya penitipan emas tersebut. Apalagi sekarang pihak bank bilang hendak melelang emas miliknya jika sewa itu tak dibayar. "Saya tidak mengerti kenapa saya harus membayar, padahal saya sudah menyimpan emas saya."
Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Makassar Komisaris Anwar mengakui adanya laporan Lenny. Namun, katanya, penyidik baru memeriksa pelapor dan menduga ada informasi keliru yang telah diterima Lenny dari pihak di luar BRI Syariah.
Hal senada dikatakan Kepala Cabang BRI Syariah Makassar Agung Raharjo. Ia membantah tuduhan Lenny. Yang betul, katanya, sertifikat gadai senilai Rp 180 juta atas emas yang disetorkan nasabah itu empat bulan lalu. "Sekarang sudah jatuh tempo. Kalau tak ditebus, tentu kami punya hak untuk melelang."
Kisruh gadai emas ini sesungguhnya sudah lama dikhawatirkan Bank Indonesia. Puncaknya terjadi pada November-Desember lalu, saat harga emas di pasar dunia benar-benar nyungsep. Akibatnya, beberapa bank, seperti Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah, menghentikan layanan mereka untuk produk tersebut.
"Sudah kami peringatkan sejak awal, itu terlalu riskan. Data statistik kami menunjukkan, harga emas fluktuatif sehingga tidak direkomendasikan sebagai alat investasi seperti itu," kata Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Mulya Effendi Siregar, Kamis pekan lalu. "Tapi masih banyak yang ngeyel."
Menurut Mulya, gadai emas yang ditawarkan sejumlah bank syariah itu sudah menyimpang jauh dari tujuan dan kesepakatan berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 19. Di situ disebutkan bahwa gadai emas diperbolehkan hanya untuk kebutuhan mendesak. "Bukan buat investasi atau gadai cepat yang dikenal dengan istilah 'berkebun emas'," ia menjelaskan. "Dalam syariah itu, investasi harus berkeringat. Tidak bisa menunggu harga emas naik dan berspekulasi."
Jasa gadai emas di bank syariah mulai muncul enam tahun lalu. Awalnya, kata Mulya, skema itu mengemban misi sosial memenuhi kebutuhan dana masyarakat dengan biaya relatif ringan. Pembiayaan qardh ditalangi dana zakat, infak, atau sedekah yang biasa dititipkan masyarakat di bank-bank syariah. Waktu itu nilai pembiayaan rahn belum besar.
Layanan ini mendadak jadi primadona sejak dua tahun lalu, ketika harga emas berkilau hebat. Banyak orang berlomba menggadaikan emas karena bisa mendapat dana lebih tinggi ketimbang harga belinya di masa lalu.
Bank-bank pun seperti ketiban rezeki. Bank Syariah Mandiri, misalnya, menjaring kenaikan baki debit pada triwulan pertama 2011, dari Rp 580 miliar menjadi Rp 1,1 triliun. Angka itu menopang perputaran uang hingga Rp 3,5 triliun. "Dalam tiga bulan, omzet naik tiga kali lipat," kata Kepala Divisi Program Gadai Emas Bank Syariah Mandiri Andri Vendredi, beberapa waktu lalu.
BRI Syariah tak jauh beda. Sampai Agustus lalu, penyaluran qardh gadai emas dibukukan Rp 1,7 triliun, naik 147 persen dari Desember 2010. "Kontribusinya mencapai 22 persen dari total pembiayaan kami," ujar Kepala Divisi Komunikasi Pemasaran BRI Syariah Hanifah Fibianti, September lalu.
Sampai saat itu, orang-orang bank begitu optimistis menyebutkan angka capaian mereka. Sebaliknya, Bank Indonesia mulai cemas melihat pertumbuhan yang terlalu laju. Sampai September 2011, pembiayaan gadai emas ini tercatat sudah Rp 6,1 triliun, melompat dahsyat dari angka pada akhir 2010 yang baru Rp 1,8 triliun.
Kecemasan itu kini terbukti. Karena itu, pekan lalu BI kembali meminta bank-bank membenahi produk gadai emas mereka. "Ada delapan bank syariah yang dapat surat pembinaan," kata Mulya. Salah satu yang jadi sorotan adalah penerapan LTV yang jauh melampaui anjuran BI, yakni di kisaran 70-80 persen.
Para pejabat Bank Mandiri Syariah yang dihubungi masih enggan menjelaskan kerugian yang mereka tanggung akibat penutupan layanan ini. "Kami masih rapat terus dengan BI," kata Sugiharto, salah seorang direktur Mandiri Syariah.
Adapun Direktur Pengembangan Bisnis BRI Syariah Ari Purwandono mengakui adanya penurunan pendapatan Rp 500 miliar sejak gadai emas dievaluasi pada 14 Desember lalu. "Tapi secara total pendapatan kami tidak turun, karena tertutup dari pembiayaan lain," ujarnya.
Y. Tomi Aryanto, Dina Berina, Martha Thertina, Mahbub Djunaidi (Jember), Tri Yari Kurniawan (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo