Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANTIAN panjang Samudra Sukardi tak sia-sia. Setelah menunggu lebih dari enam bulan, awal November lalu, Kementerian Perhubungan menerbitkan izin usaha penerbangan Pacific Royale. Selangkah lagi maskapai baru ini siap mengangkasa di bisnis layanan penuh (full service). "Semoga awal Februari tahun depan kami sudah melakukan penerbangan perdana," kata Samudra, Direktur Utama Pacific Royale, kepada Tempo di Jakarta.
Kini pekerjaan rumah maskapai milik pengusaha lokal Goenarni Goenawan dan pebisnis India Tarun Trikha itu tinggal satu: mendapatkan lisensi operator penerbangan global (aircraft operator certificate) dari otoritas penerbangan Amerika Serikat. "Kami memberi tenggat setahun," kata juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan.
Samudra mengatakan sudah mengurus izin operator penerbangan itu. Menurut dia, Pacific Royale tak akan main-main dalam bisnis penerbangan yang padat modal dan berisiko tinggi ini. Bekas Direktur Utama Riau Airlines itu menyatakan maskapainya mencadangkan dana US$ 42 juta (sekitar Rp 380 miliar) untuk biaya operasional selama setahun ke depan.
Uang itu, kata dia, di luar anggaran untuk membeli dan menyewa pesawat. Pacific Royale akan mendatangkan sepuluh pesawat secara bertahap untuk menerbangi lebih dari 70 rute. Jumlah ini syarat minimal mengoperasikan perusahaan penerbangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Dari sepuluh pesawat, kata Samudra, Pacific Royale membeli lima unit Fokker 50 buatan 1997, yang harganya masing-masing sekitar US$ 3 juta (sekitar Rp 27 miliar). Sisanya, empat unit Airbus A-320 dan satu unit Airbus A-330, disewa dengan harga US$ 300-700 ribu per bulan. Sebagai tapak awal, Pacific Royale mengandalkan dua unit Fokker dan dua Airbus A-320.
Samudra sadar Pacific Royale bakal bertarung dengan PT Garuda Indonesia Tbk, pemimpin pasar dalam industri penerbangan nasional. Untuk menyiasatinya, ujar dia, Pacific Royale akan melirik pasar yang belum dijamah Garuda. Maskapai baru ini menawarkan rute jaringan (network route) dengan satu tarif untuk terbang dari satu bandara ke bandara lain.
Penumpang dari Bandar Udara Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Aceh, yang menuju Jakarta, misalnya, akan diterbangkan dulu ke Bandar Udara Polonia di Medan, sebelum sampai di Soekarno-Hatta. Dalam konsep rute jaringan, menurut kakak bekas Menteri BUMN Laksamana Sukardi itu, Fokker berperan sebagai pesawat pengumpan dari bandara kecil yang tak memiliki penerbangan langsung ke kota besar.
Sejak enam dekade lalu, Garuda Indonesia merupakan satu-satunya maskapai yang menggeluti bisnis layanan penuh. Secara sederhana layanan penuh itu mirip pelayanan di hotel berbintang. Penumpang bisa mendapat berbagai servis, dari hiburan sampai memilih makanan atau minuman. Adapun layanan maskapai murah meriah (low cost carrier) tak memberi pelayanan itu. Mereka hanya mengantar penumpang sampai tujuan.
Kue bisnis penerbangan layanan penuh sebenarnya relatif kecil. Namun, kata Samudra, bisnis ini tetap menggoda dan bisa menguntungkan. Apalagi pertumbuhan jumlah penumpang angkutan udara terus meningkat.
Tahun lalu saja, jumlah penumpang yang bepergian dengan pesawat mencapai 58,3 juta orang. Angka tersebut diperkirakan melompat jadi 64,5 juta orang pada 2011. Tiga tahun mendatang total penumpang ditaksir 98 juta orang.
"Kebutuhan penumpang akan layanan penuh mencapai 30 persen dari total penumpang per tahun," Direktur Umum Lion Air Edward Sirait menambahkan.
Sejak Oktober lalu, kata Edward, Lion Air pun sudah mengajukan izin mendirikan PT Space Jet. Anak usaha paling anyar dari maskapai milik Rusdi Kirana itu digadang-gadang menjadi ujung tombak Lion Air di bisnis full service. Space Jet ditargetkan beroperasi paling lambat akhir tahun depan. Lion Air membidik penumpang di kawasan industri tambang yang pertumbuhan ekonominya tinggi, seperti Balikpapan. "Kami mengincar peluang ini," ujar Edward.
Edward menuturkan, Lion Air memang belum memutuskan tipe pesawatnya. Tapi ia mengisyaratkan maskapainya minimal menyiapkan sepuluh pesawat tipe Boeing dan Airbus. Lion Air dan anak usahanya, Wings Air, kini mengoperasikan 92 pesawat, di antaranya Boeing 747-400, Boeing-737-400, Boeing 737-300, dan MD-90.
Kendati muncul pesaing baru, Garuda tak lantas keder. Maskapai pelat merah itu sudah siap mengantisipasi kompetisi yang akan semakin ketat. "Kompetisi itu wajar saja. Kami justru dipacu untuk terus memperbaiki dan mengembangkan diri," kata juru bicara Garuda, Pujobroto. "Pada akhirnya penumpang yang akan menentukan pilihannya."
Garuda, menurut Pujobroto, selama ini mempertahankan konsistensi dengan menjunjung pakem value for money. Artinya, penumpang mendapat nilai lebih dari setiap tiket yang dibayarnya. Salah satu program andalan Garuda antara lain immigration on board untuk tujuan internasional. Penumpang tak perlu menunggu dan antre di jalur Imigrasi agar paspornya divalidasi. "Semua tuntas dalam pesawat. Ini cukup menghemat waktu, terutama buat pebisnis," katanya.
Strategi memanjakan penumpang semacam itu cukup ampuh mendongkrak pertumbuhan jumlah penumpang Garuda. Sejak Januari hingga September tahun ini saja, grafik pertumbuhan penumpang Garuda lumayan tinggi, mencapai 12,4 juta orang. Rapornya meningkat 35 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu. Bahkan pertumbuhan itu jauh melebihi rerata nasional 9 persen.
Pengamat bisnis penerbangan Arista Atmajati menilai selama ini Garuda dapat bertahan di bisnis layanan penuh lantaran mampu membangun jaringan penumpang kelas menengah dan pebisnis loyal. "Golongan penumpang ini umumnya sensitif terhadap pelayanan," ujar pengajar program studi pariwisata Universitas Gadjah Mada itu.
Kebetulan juga, kata Arista, Garuda punya infrastruktur dan fasilitas memadai. Sesuai dengan aturan pemerintah, maskapai bersegmen layanan penuh tak sekadar menawarkan hiburan dan makanan di dalam pesawat. Mereka juga mesti menyediakan ruang tunggu eksekutif (lounge) dan gerai check in sendiri di bandar udara. Pemain baru layanan penuh, menurut dia, tak akan mudah memenuhi persyaratan ini.
Beratnya persyaratan ini pula yang mengerem niat Sriwijaya Air menaikkan posisi dari layanan medium menjadi layanan penuh. Tadinya Sriwijaya hakulyakin dapat terbang dengan status baru pada April tahun depan. Ambisi itu ingin digapai setelah maskapai kepunyaan Chandra Lie itu tuntas meremajakan armada pesawat Boeing B737-200 dengan B737-500.
Sriwijaya memang berencana memperkuat armadanya. Maskapai ini sebentar lagi mendatangkan masing-masing satu unit pesawat Boeing 737-300 dan Boeing 737-400. Sampai akhir tahun depan, selusin Boeing 737-500 segera menyusul sebagai bagian dari skenario peremajaan.
Namun ambisi Sriwijaya itu masih harus disimpan di dalam laci. Menurut Direktur Komersial Sriwijaya Air Toto Nuryatno, lahan untuk membangun ruang tunggu eksekutif sangat terbatas, termasuk di bandar udara besar, seperti Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta. Padahal maskapai di segmen layanan penuh idealnya harus memiliki infrastruktur itu di setiap bandar udara. "Bisnis layanan penuh bukan sekadar menyajikan makanan enak," ujarnya.
Bobby Chandra
Pertumbuhan jumlah penumpang pesawat
(dalam juta orang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo