Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat Pohang Steel and Iron Corporation alias Posco sebagai salah satu investor terbesar di Indonesia tahun ini. Raksasa baja asal Korea Selatan itu berkomitmen membangun pabrik baja terpadu senilai US$ 6 miliar (sekitar Rp 54 triliun) bersama PT Krakatau Steel Tbk, melalui perusahaan patungan PT Krakatau POSCO.
Proses konstruksi telah dimulai pada Oktober tahun lalu. Sebanyak 45 ribu tiang pancang—dari rencana 70 ribu—telah berdiri. Persoalan lahan antara PT Krakatau Steel dan Pemerintah Kota Cilegon pun mulai menemukan titik terang. Kedua pihak sepakat melakukan tukar guling.
Tapi badai menerpa perusahaan induk di Korea. Lembaga pemeringkat global Moody’s dan Standard & Poor menurunkan prospek peringkat utang POSCO. Krisis ekonomi global pun membuat harga baja turun.
Rabu tiga pekan lalu, Presiden Direktur Krakatau POSCO Kim Dong Ho menerima Retno Sulistyowati, Gita Lal, dan Yophiandi dari Tempo. Kendati ada rintangan, dia menyatakan komitmennya tetap berinvestasi di Indonesia.
Mengapa POSCO tertarik berinvestasi US$ 6 miliar di Indonesia?
Awalnya pada 2008 Indonesia meminta pemerintah Korea berinvestasi di industri baja karena permintaan baja Indonesia sangat tinggi. Hanya ada satu pabrik baja terpadu di Indonesia—Krakatau Steel—yang kapasitasnya cuma 2,5 juta ton per tahun. Itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Maka industri ini perlu dikembangkan. Beberapa perusahaan baja global diundang berinvestasi. Tapi pemerintah Indonesia meminta kami berpartisipasi dan bergabung di sini.
Bagaimana kemajuan proyek pembangunan pabrik di Cilegon?
Lancar. Jika datang ke Cilegon, Anda dapat memeriksa sendiri. Hampir 80 persen persiapan lahan telah rampung. Pekerjaan menumpuk sejak 1 Juli lalu. Sekitar 52 persen telah dilakukan, diharapkan akan selesai akhir tahun ini. Beberapa pekerjaan fondasi sedang dilakukan.
Harga baja terus turun akibat krisis global. Apakah akan berdampak terhadap komitmen investasi?
Harga baja setahun terakhir memang kurang baik. Tapi di Indonesia baja tetap komoditas yang sangat diperlukan. Selama ini Indonesia mengimpor hampir 70 persen kebutuhan baja. Tentu Krakatau Steel pemasok terbesar. Tapi harganya mahal karena tidak memiliki sistem blast furnace (tanur tinggi). Mereka menggunakan baja cair dari energi listrik. Ini menyebabkan biaya produksi tinggi, kadang-kadang sampai 150 persen lebih. Padahal persaingan semakin ketat sejak perjanjian perdagangan bebas dengan Cina berjalan efektif. Baja asal Cina sangat murah, tanpa pajak. Inilah yang membuat baja Indonesia tidak kompetitif. Indonesia memiliki sumber daya mineral—bijih besi—begitu banyak, tapi tidak digunakan secara efektif.
Bagaimana dengan persoalan pembebasan lahan?
Pemerintah Kota Cilegon berencana mengembangkan pelabuhan baru di sini (di area sekitar pabrik). Akhirnya diselesaikan dengan kompensasi atas biaya konstruksi pelabuhan, dan kompensasi atas 45 hektare lahan. Soal besaran kompensasi atas biaya konstruksi, kami tengah menunggu hasil audit.
Berapa kapasitas pabrik yang akan dibangun?
Kami akan memproduksi 6 juta ton per tahun. Tahap awal 3 juta ton, separuh di antaranya adalah baja lembaran. Kami akan memasok 1 juta ton baja lembaran—yang selama ini diimpor—ke Krakatau Steel. Pelat baja berkualitas tinggi dan murah ini penting untuk mengembangkan infrastruktur seperti galangan kapal atau jembatan, juga pelat mobil. Pada 2014 kami akan mulai produksi komersial untuk tahap pertama. Tahap kedua akan menjadikan kapasitas penuh 6 juta ton, kira-kira rampung pada 2015. Setelah pembangunan selesai, diperkirakan konsumsi domestik telah meningkat menjadi 50 kilogram. Jadi pada 2014-2020, industri baja Indonesia akan berkembang sangat cepat.
Moody’s dan Standard & Poor menurunkan peringkat utang POSCO, berarti biaya pinjaman akan naik. Apakah ini akan mempengaruhi ekspansi?
Tidak, ini hanya masalah pengelolaan kas. Selama dua atau tiga tahun terakhir, kami memang belum pernah berinvestasi sebesar ini. Bagi POSCO, Indonesia prioritas nomor satu. Apalagi proyek telah mulai, dan kita sudah berkontrak. Kalau tertunda, akan ada sanksi, dan itu berarti biaya. Jadi, untuk Indonesia, tidak ada alasan menunda. Perusahaan mungkin hanya akan menunda proyek yang belum mulai atau yang berada pada tahap studi, seperti di India dan Brasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo