Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mantan presiden Soeharto wafat pada Januari lalu, politikus berebutan mengatakan agar kita memaafkan dia. Sempat riuh di media massa, isu ini lekas surut dalam keadaan serba tak jelas.
Tak pernah diperinci apa yang mesti dimaafkan. Semasa hidupnya, yang bersangkutan pun tak pernah mengaku telah melakukan kesalahan yang memerlukan maaf seluruh bangsa. Bahkan panggilan pengadilan yang hendak mengusut kasus pidana yang menimpanya tak pernah diindahkan. Padahal, ia perlu mengklarifikasi apakah benar kecurigaan publik bahwa sepanjang 32 tahun masa kekuasaannya ia telah merugikan negara dalam jumlah kolosal. Itu sudah cukup menegaskan bahwa dirinya sendiri tak membutuhkan ”maaf dari Sabang sampai Merauke”. Reaksi pro-kontra pun sempat jadi polemik di media massa, yang tak tampak sungguh-sungguh, dangkal dan mengambang.
Pertanyaan dalam tulisan ini adalah apakah, dalam bahasanya, bangsa ini tak punya maaf yang sewajarnya, sepantasnya, yang bermartabat.
Dalam sinetron Bajaj Bajuri di televisi ada satu tokoh yang selalu membuka omongannya, dalam konteks apa pun, baik bertanya, menjawab, maupun menyatakan segala hal, dengan kata ”maaf” yang cenderung berlebihan. Gaya bicara tokoh ini dibuat begitu rupa sebagai salah satu aspek humor dalam sinetron ini. Yang terlihat kemudian, memang, bukanlah kesopan-santunan meski mungkin maksud si tokoh untuk itu, melainkan inferioritas, sikap tidak percaya diri, kegugupan, kegagapan, atau ”penyakit” latah.
Ada suatu kejadian di jalanan Jakarta. Seorang pengendara sepeda motor yang melawan arus lalu lintas menerjang seorang pejalan kaki di tepi jalan. Bukan mengakui kesalahan atau menunjukkan penyesalan, si penabrak malah bersikap arogan dengan mengucapkan kata ”sori” sembari bergaya menantang kepada korbannya.
Begitu juga ketika bertelepon. Lazimnya komunikasi diawali si penelepon dengan, ”Bisa bicara dengan….” Yang mewabah pada sebagian kalangan dewasa ini adalah perilaku intimidatif yang mengabaikan etika dan kesopanan. Begitu telepon diangkat, si penerima telepon segera disodok ucapan: ”Ini siapa nih?” Orang yang melakukan panggilan mengabaikan kondisi bahwa si penerima telepon, ketika mengangkat gagang telepon, sama sekali tak punya bayangan siapa yang melakukan panggilan atau dengan siapa ia akan bicara. Pada kasus macam beginilah semestinya maaf dicuatkan pada harkat maknanya, menebus kecongkakan atawa kebodohan.
Kita sering secara tak sadar memperlakukan bahasa seperti agama, yakni lebih sebagai teori dan slogan belaka, entah mungkin lupa bahwa ada martabat dalam bahasa. Apalagi kalau menyangkut keharusan berendah hati dan menjaga kehormatan orang lain. Kita berhenti pada soal memakai bahasa yang baik dan benar, pelafalan kata secara tepat, teknik memakai imbuhan, dan kaidah tata bahasa baku.
Secara umum kita cenderung abai bahwa bahasa bukan semata persoalan kaidah fonetis, morfologis, sintaktis, tapi juga diperkaya aspek sosial lengkap dengan tata nilai. Dalam masa yang panjang bahasa merekam tata nilai kehidupan generasi demi generasi sebagai medium perilaku sosial. Sekaligus bahasa merupakan unsur organis dalam struktur budaya komunitas penuturnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2002, mendefinisikan maaf begini: ”1 pembebasan seseorang dr hukuman (tuntutan, denda, dsb) krn suatu kesalahan; ampun: minta —; 2 ungkapan permintaan ampun atau penyesalan: —, saya datang terlambat; 3 ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu: —, bolehkah saya bertanya.” Bisakah kita terapkan lema itu pada kasus almarhum Soeharto? Polemik telah reda, namun pada hakikatnya perkara ini bagaikan tali-temali yang belum tersimpul rapi. Soal yang tidak selesai.
Di sebuah blog, seseorang mempertanyakan dengan tak sabar, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa”. Tampaknya ia gusar sebab jawaban yang diterimanya kerap terasa manipulatif. Secara formal, ia sendiri tentu paham maksud ungkapan itu ialah bahwa bahasa membentuk dan mencerminkan sikap mental dan perilaku sosial, intelektual, dan spiritual komunitas penuturnya. Di situ tampak potensi dan nilai kemanusiaan sebuah bangsa.
Bahasa bukan cuma lisan, tapi juga gestur dan cara berpikir, yang keseluruhannya membentuk sikap hidup. Kompetensi berbahasa yang universal dan kompleks membedakan manusia dengan hewan yang serba naluriah. Di antaranya menyangkut ungkapan maaf yang dewasa ini cenderung kehilangan daya magisnya pada hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo