Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RINI sabar menunggu antrean pengambilan barang di gerai Antam Logam Mulia, di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis pekan lalu. Emas batangan pesanannya, 20 gram, sedang disiapkan petugas. Kebetulan, pengunjung toko jual-beli logam mulia itu belum banyak. Hingga pukul sebelas siang, daftar antrean baru mencapai nomor dua puluh.
Menurut Vice President Unit Bisnis Pemurnian dan Pengolahan Logam Mulia PT Antam Tbk. Tuti Kustiningsih, jumlah pengunjung belakangan menurun. Konsumen sempat membeludak ketika harga emas turun April lalu. Permintaan menggila pas harga jeblok pada Oktober tahun lalu—di level US$ 750 per ons. Waktu itu, demand mencapai 10 kilogram sehari, dua kali lipat penjualan harian.
Mayoritas pengunjung adalah pembeli. Cuma segelintir yang melego barangnya. Rini contohnya. Karyawan swasta ini telah delapan tahun mengoleksi emas batangan. Mula-mula atas anjuran keluarga, tapi lama-kelamaan keterusan. ”Untungnya banyak dan tidak termakan inflasi,” kata perempuan 35 tahun itu. Pada 2001, ia membeli emas hanya dengan Rp 90 ribu per gram. Kini harganya hampir empat kali lipat, Rp 320-an ribu per gram.
Harga emas belakangan terus menanjak. Kamis pekan lalu, seperti dikutip dari kantor berita Bloomberg, emas sudah mencapai US$ 934,7 per ons. Di bursa berjangka, emas untuk pengiriman Agustus naik US$ 13,9, atau 1,5 persen, ke US$ 941,3 per ons di New York Mercantile Exchange’s Comex unit. Emas batangan untuk pengiriman jangka menengah naik US$ 14,16, atau 1,5 persen, ke US$ 940,76 per ons di pasar London.
Antam memperkirakan si kuning akan terus terkerek naik. Tuti mengatakan, ada ekspektasi, perekonomian global membaik. Harga be-berapa komoditas naik, yang didorong harga minyak mentah. Kamis pekan lalu, Bloomberg mencatat harga minyak di posisi US$ 67,81. Artinya, ada indikasi akan terjadi inflasi. Bila itu terjadi, harga emas akan terdongkrak. Sebab, emas berperan sebagai pelindung inflasi. Orang akan memburu emas untuk menjaga hartanya agar tak susut.
Nilai tukar dolar Amerika juga mempengaruhi pergerakan harga emas. Bila mata uang Negeri Abang Sam menguat, pemodal berebut memegang dolar. Inilah yang membikin emas lesu karena ”ditinggalkan” investor. Sebaliknya, bila dolar loyo seperti sekarang ini, pemilik duit akan rame-rame memborong emas. Akibatnya, harga bisa melonjak berlipat-lipat.
Johansyah—juga investor emas—menikmati betul peningkatan harga si kuning. Februari lalu, ia melego 100 gram emas simpanannya Rp 360 ribu per gram. Emas warisan orang tua itu dibeli pada 1983, cuma seharga Rp 34 ribu. Johan tergolong investor yang aktif melakukan aksi jual-beli. ”Kalau harga lagi tinggi, saya jual. Begitu harga murah, beli lagi,” katanya. Maka ia selalu memantau harga.
Sebaliknya, Rini tidak tergiur melego 200 gram emas yang disimpannya di safe deposit box di sebuah bank swasta, kendati harganya melangit. Ia lebih memilih menggadaikan emas bila sewaktu-waktu perlu uang tunai. Alasannya, bunga di pegadaian lebih kecil. Emas miliknya juga tidak hilang. Ia hanya akan melepas emasnya untuk merenovasi rumah, membeli mobil, atau naik haji.
Pilihan Rini tidaklah keliru. Menurut Tuti, menyimpan emas sebaiknya memang untuk jangka panjang, bukan untuk trading jangka pendek seperti saham. Pemegang emas tidak cukup memelototi harga, tapi harus memperhatikan fluktuasi kurs. Harga tinggi bukan berarti keuntungan telah dikantongi. Sebab, bila nilai tukar jeblok, bisa-bisa investor malah nombok.
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Indra (PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo