Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1>Mancanegara</font><br />Menembus Batas

Industri waralaba merambah ke luar negeri. Harus kuat modal dan bermental baja.

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA kangen Chiquita Tyler akan jajanan es teler dan pecel lele terpuaskan Rabu pekan lalu. Di gerai Es Teler 77 di Swanson Street, Melbourne, Australia itu, ia serasa pulang kampung. ”Rasanya 90 persen Indonesia sekali, termasuk otentik,” katanya kepada Tempo melalui surat elektronik.

Dengan harga penganan A$ 4-8 per item, menurut ibu satu anak yang sudah menetap enam tahun di Negeri Kanguru ini, Es Teler 77 bersaing dengan makanan Asia lainnya. Menu variatifnya membuat gerai itu tak hanya diminati warga Indonesia. Warga setempat juga ramai meriung.

Wakil Presiden Direktur PT Top Food Indonesia, pemegang master franchise Es Teler 77, Anton Widjaja, menilai kinerja tiga gerainya di Australia cukup baik. Per bulan tiap outlet itu bisa meraup omzet A$ 40 ribu (sekitar Rp 326 juta), lebih tinggi daripada Singapura, yang membukukan penjualan S$ 35 ribu (Rp 247 juta). Di sana, Es Teler memiliki tiga gerai.

Es Teler 77 berencana membuka dua gerai di Jeddah, Arab Saudi, tahun ini. Target awal pasarnya masih jemaah haji dan umrah, yang per tahun mencapai 300 ribu orang. Walau lebih berisiko, ”Obsesi mengangkat merek lokal go international memaksa kami jalan terus,” kata Anton, anak Murniati Widjaja, jawara pembuat minuman khas Indonesia yang legendaris itu.

Lezatnya bisnis ekspor waralaba ini turut mendorong pemain lain. Salah satunya Taman Sari Royal Heritage Spa dari Mustika Ratu, yang sudah menjajal pasar Malaysia delapan tahun lalu. Mereka sudah membuka tujuh outlet lagi di Jepang, Kanada, Cek, dan Bulgaria. ”Target tahun ini di Timur Tengah atau Afrika,” kata direkturnya, Annie Haryo Baskoro.

Menurut dia, prospek bisnis spa tidak terganggu krisis global karena jumlah pengunjung selalu bertambah seiring dengan kesadaran hidup sehat dan kembali ke alam. Hanya, jumlah calon investor turun karena modalnya cukup besar. Untuk investasi awal dibutuhkan minimal Rp 1,5 miliar dan franchise fee per sepuluh tahun sebesar US$ 50 ribu.

Tapi omzet yang dikeruk sebetulnya fantastis. Rata-rata tiap outlet di luar negeri, menurut Annie, meraup omzet US$ 50-110 ribu (Rp 560 juta hingga Rp 1,23 miliar), dan yang tertinggi dicapai di Kanada, C$ 200 ribu (Rp 1,76 miliar) per bulan. Padahal penjualan di dalam negeri—seperti Bali dan Bintan—paling banter Rp 800 juta. Balik modalnya pun tergolong cepat, yakni dua setengah hingga empat tahun. ”Bahkan ada yang tak sampai dua setengah tahun,” katanya.

Waralaba lain yang moncer di negeri jiran adalah Auto Bridal. Perusahaan salon mobil, cuci mobil dengan busa salju (snow car wash), dan penghilang goresan tanpa merusak cat ini sudah beroperasi tujuh tahun dengan 20 outlet di sana. ”Master franchise kami dibeli karena strategi pemasarannya unik. Bahkan di Amerika pun belum ada teknologi cuci mobil dengan es krim,” kata Souw Willy, Wakil Presiden Direktur Auto Bridal Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia Anang Sukandar mengatakan prasyarat untuk melintas batas ke pasar luar negeri sebetulnya tidak mudah. Selain membutuhkan dana yang besar, mereka harus memenuhi persyaratan yang lebih ketat untuk urusan keber-sihan, pelestarian lingkungan, dan perburuhan.

Aturan perburuhan di Jepang, kata Annie, misalnya, tergolong ketat. Negara itu mewajibkan perusahaan asing yang membuka gerai di sana menggunakan separuh tenaga kerja lokal. ”Tapi, karena terapis harus berasal dari Indonesia, kami siasati dengan menempatkan para pekerja lokal di pemasaran.” Masalah lain adalah bahan baku, khususnya waralaba kuliner, yang sebisa mungkin persis dengan cita rasa Indonesia.

Khusus untuk urusan dana, Anang menilai pemerintah Indonesia sangat minim mendorong ekspansi waralaba ke luar negeri. Indonesia masih ketinggalan dibanding Singapura—yang membayari separuh biaya promosi waralaba di pameran luar negeri—atau Malaysia, yang menanggung 80 persen dana investasi awal yang harus disetor terwaralaba.

Padahal biaya yang dibutuhkan untuk membuka waralaba di luar negeri sangat besar. Mereka harus mengenalkan merek lokal bagi konsumen dan investor di luar negeri. Dan membangun brand image jelas butuh dana besar. Karena itu, agar perusahaan waralaba Indonesia bisa mengikuti jejak McDonald’s atau Starbucks, katanya, ”Mesti Indonesia Incorporated yang maju.”

R.R. Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus