Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPASTIAN bongkar-pasang direksi PT Pertamina bisa jadi tinggal menunggu waktu. Setelah melewati proses tarik-ulur di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, nama-nama baru yang akan mengisi direksi perusahaan pertambangan pelat merah itu memasuki ronde akhir. ”Hasilnya sudah diserahkan dan dikonsultasikan ke Presiden dua hari lalu,” kata Said Didu, Sekretaris Menteri Negara BUMN, Jumat pekan lalu.
Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil bahkan memberikan sinyal, pergantian roda manajemen itu akan diputuskan dalam waktu satu-dua pekan ini oleh Tim Penilai Akhir yang dipimpin Presiden. Ucapan Sofyan itu membangkitkan kembali gonjang-ganjing yang pernah bertiup pada pertengahan bulan lalu.
Kasak-kusuk yang meletik saat itu, Direktur Hulu Pertamina Sukusen Soemarinda dan Direktur Sumber Daya Manusia Pertamina Soemarsono bakal tergusur. Pergantian itu, kata sumber Tempo, diusulkan sendiri oleh Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno kepada Sofyan Djalil.
Alasan yang mengemuka saat itu adalah tidak terpenuhinya target produksi minyak Pertamina. Urusan yang satu itu memang lekat dengan bagian hulu. Tahun lalu, produksi minyak mentah Pertamina hanya 97 persen dari target 117.535 barel per hari. Namun, di mata orang dalam perusahaan, usul itu lebih karena faktor ketidakcocokan Ari dengan dua koleganya. ”Terjadi rivalitas di antara mereka,” kata sumber tersebut.
Ari, misalnya, dikenal dekat dengan Mohammad Reza, importir minyak di Singapura, yang selama ini menjadi salah satu pemasok utama bahan bakar minyak buat Pertamina. Sedangkan Sukusen tidak masuk kelompok tersebut. Adapun Soemarsono, kata sumber tadi, kerap enggan menjalankan apa yang diperintahkan Ari. ”Soemarsono cenderung safety player, sedangkan Sukusen punya ambisi menjadi ’Pertamina 1’,” katanya.
Ari menangkis sinyalemen itu. ”Saya tidak ada urusan dengan pergantian direksi. Itu urusan pemegang saham,” ujarnya. Perkara persaingan antar-anggota direksi yang diributkan kalangan internal juga dibantahnya. Direksi, kata dia, tetap kompak. Soemarsono sendiri memilih irit bicara. ”Saya hanya menjalankan amanah,” katanya.
Namun, menurut sumber Tempo di pemerintah, ketidakcocokan itu tak terelakkan karena masing-masing anggota direksi mewakili kepentingan politik yang beragam. ”Mereka datang dari kamar yang berbeda-beda,” kata sumber tersebut. Cantelan politik inilah, kata sumber di pemerintah itu, yang membuat jajaran direksi sulit kompak dan bekerja sendiri-sendiri.
Naiknya Ari menjadi direktur utama menggantikan Widya Purnama pada Maret 2006 memang tak lepas dari lobi-lobi tadi. Nama Ari konon diajukan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena ia orang kepercayaan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro.
Purnomo, ketika dulu dimintai konfirmasi soal ini oleh Tempo, membantah kabar itu. Begitu pula Ari. ”Kalau memang saya dekat dengan Pak Purnomo, kenapa saya cuma jadi staf ahli sewaktu zamannya (Direktur Utama Pertamina) Pak Baihaki Hakim?” katanya. Jabatan staf ahli itu, kata dia, tak beda dengan ”diparkir”.
Soal Reza, menurut Ari, juga tak perlu diributkan. ”Itu hanya salah satu link bisnis,” katanya. ”Dan Reza bukan satu-satunya trader minyak yang saya kenal.”
Tim Penilai Akhir ketika itu memang sepakat memilih Ari. Sumber Tempo yang paham seluk-beluk pemilihan itu mengatakan Ari tadinya hanya akan diangkat untuk 18 bulan. Bekas Direktur Utama Petral itu dipilih dengan target memuluskan langkah ExxonMobil menjadi operator ladang minyak dan gas di Blok Cepu, serta membayar klaim Karaha Bodas atas pembatalan kontrak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Garut.
Widya Purnama, Direktur Utama Pertamina ketika itu, memang mbalelo untuk dua urusan itu. Di tangan Ari, kerja sama pengelolaan Blok Cepu bersama ExxonMobil langsung diteken hanya satu pekan setelah ia diangkat. Begitu pula urusan pembayaran klaim kepada Karaha Bodas Company sebesar US$ 318 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun. Beban tersebut akan menjadi kewajiban Pertamina kepada pemerintah.
Ditemui di Gedung Pertamina pekan lalu, Ari menepis kabar itu. ”Komitmen saya saat diangkat adalah melakukan perubahan dan transformasi,” ujarnya. Itu semua, kata dia, demi memajukan Pertamina.
Bantahan juga datang dari lingkungan Istana Negara. Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, yang menjadi anggota tim kampanye nasional Yudhoyono-Jusuf Kalla saat Pemilihan Umum 2004, menepis soal itu. ”Juga tidak pernah ada soal fund-raising itu,” katanya. ”Semua ada mekanismenya.” Apalagi Presiden Yudhoyono, ucap dia, tidak pernah sembarangan menunjuk orang untuk menjadi direktur utama BUMN.
Apa pun dalihnya, setelah lebih dari 18 bulan Ari menjabat, akhirnya banyak juga suara di sekeliling Presiden Yudhoyono meminta dia dicopot. Namun upaya mendongkel Ari seperti membentur tembok. Yang mencuat malah upaya mengganti Soemarsono dan Sukusen. Saat rapat umum pemegang saham digelar akhir Januari lalu, rencana perubahan susunan direksi itu malah melempem.
Belakangan, kasak-kusuk pergantian kembali ramai setelah Roes Aryawijaya, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi BUMN, mengatakan tujuh dari delapan anggota direksi Pertamina akan diganti.
Alexander Rusli, anggota staf khusus Menteri Negara BUMN, mengatakan pergantian itu terkait dengan target-target baru yang diberikan kepada Pertamina. ”Tidak hanya soal peningkatan produksi, tapi juga regenerasi manajemen,” katanya.
Itu sebabnya Kementerian BUMN kemudian menggelar uji kepatutan. Masalahnya, persoalan yang mendera Pertamina lebih rumit ketimbang badan usaha milik pemerintah lain. Maklum, sudah menjadi rahasia umum, kursi panas direksi Pertamina selalu menjadi ”sapi perah” berbagai kepentingan. Persoalan yang menahun di urat darah inilah, kata salah satu pejabat Pertamina, yang membuat kinerja perusahaan anjlok.
Merujuk pada memorandum yang dilayangkan komisaris untuk direksi akhir November lalu, laba perusahaan hingga akhir triwulan ketiga memang mencapai Rp 26,2 triliun atau 98 persen dari sasaran rencana kerja dan anggaran perusahaan 2007. Namun itu lebih karena kenaikan harga minyak dunia.
Persoalannya, utang Pertamina kepada pemerintah sudah menembus Rp 11,39 triliun. Realisasi belanja investasi perseroan juga hanya 22 persen. Di sisi lain, impor minyak mentah sudah melewati angka yang ditetapkan pada rencana kerja dan anggaran perusahaan. Bahkan impor HOMC lebih dari 800 persen dari rencana kerja. Memo itu juga menunjukkan banyaknya persoalan duit yang dipertanyakan komisaris.
Tak aneh bila salah satu hasil rapat umum pemegang saham meminta komisaris menelisik seluk-beluk impor minyak yang selama ini dilakukan Pertamina. ”Karena banyak yang tak jelas,” kata Umar Said, Komisaris Pertamina. Persoalan impor minyak itu, kata orang dalam Pertamina lainnya, sudah seperti lingkaran drakula.
Namun persoalan impor minyak itu belum tentu bakal mementalkan Ari dari kursinya. ”Pertarungan di Tim Penilai Akhir bakal alot,” kata sumber Tempo lainnya. Beberapa nama, seperti Luluk Sumiarso (Direktur Jenderal Migas ESDM) dan Iin Arifin Takhyan (Wakil Direktur Utama Pertamina), memang diusulkan dan disebut-sebut sebagai calon direktur utama. Tapi itu semua tergantung pembahasan Tim Penilai Akhir.
Apalagi pernyataan pemerintah kerap berubah. Sofyan kini mengatakan tujuan pergantian tidak untuk mengganti seluruh direksi. ”Yang penting bagaimana organisasi ini bisa lebih baik dan efektif bekerja,” ujarnya.
Bila sudah begitu, kalangan internal yang berharap adanya perubahan total di tubuh Pertamina bisa gigit jari. ”Direksi yang sekarang memang perlu diganti,” kata seorang pejabat di Pertamina. ”Tapi, kalau hampir tiap tahun diganti, juga tidak sehat.”
Seringnya pergantian direksi itu, kata dia, bukti bahwa intervensi dari luar perusahaan masih kuat. Padahal, di perusahaan kelas dunia, orang-orang yang akan menempati posisi puncak sudah dipupuk dan akan terlihat dari 5-10 tahun sebelumnya. ”Itulah fit and proper test sesungguhnya.” Tapi, katanya, di Pertamina semuanya muncul serba mendadak.
Yandhrie Arvian, Wahyudin Fahmi, Ninin Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo