Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tarik-Ulur di <font color=#6666CC>Ladang Donggi</font>

Pembangunan kilang gas alam cair Donggi Senoro molor. Pemerintah dan BP Migas belum menyetujui proyek milik konsorsium Pertamina, Medco, dan Mitsubishi ini. Kesepakatan penjualan gas ke Jepang telah berakhir 31 Maret 2009. Pemimpin kedua negara pun turun tangan.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat puluh lima menit Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbincang dengan Perdana Menteri Jepang Taro Aso, menjelang pertemuan negara-negara G-20, Rabu siang pekan lalu. Dalam pertemuan bilateral yang berlangsung di ruang pertemuan Grosvenor House, Hotel JW Marriott, London, Inggris itu, Aso meminta kepastian pasokan gas alam cair dari Indonesia.

Inti pembicaraan Taro Aso tak lain adalah proyek gas alam cair Donggi Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kilang LNG berkapasitas 2 juta ton itu akan dibangun dan dioperasikan oleh PT Donggi Senoro LNG. Perusahaan patungan antara Mitsubishi Corporation (51 persen), PT Pertamina Persero (29 persen), dan PT Medco LNG Indonesia (20 persen) ini akan menyuplai gas ke Chubu Electric Power dan Kansai Electric Power—dua raksasa pembangkit listrik di Jepang.

Namun proyek tersebut tersandung persetujuan yang tak kunjung dikeluarkan pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro tetap meminta konsorsium membereskan enam persyaratan yang diminta pemerintah. ”Siapa pun harus mengikuti atau memenuhi aturan negara ini,” kata Purnomo kepada Sorta Tobing dari Tempo, Kamis pekan lalu.

Pertamina—yang ditunjuk sebagai penjual gas alam cair Donggi Senoro—pun buru-buru melayangkan surat kepada para pembeli pekan lalu. Perusahaan minyak dan gas pelat merah ini meminta buyer memperpanjang batas waktu kesepakatan. Perjanjian dalam bentuk head of agreement alias HOA yang telah diteken akhir Februari 2009 tersebut sudah kedaluwarsa pada 31 Maret lalu.

Menurut Vice President Pertamina LNG Hari Karyuliarto, hingga akhir pekan lalu belum ada jawaban resmi dari Chubu dan Kansai. Berdasarkan pembicaraan informal, kata Hari kepada Tempo, ada sinyal bahwa pembeli bersedia mengulur tenggat selama tiga pekan. Rencananya, sesuai dengan HOA, dari Donggi Senoro akan dikapalkan 2 juta metrik ton liquefied natural gas saban tahun. Masing-masing pembeli mendapatkan jatah 1 juta metrik ton. Pengapalan pertama akan dilakukan pada 2012, selama 15 tahun.

Pertamina sudah menghitung. Bila proyek ini beroperasi penuh, negara akan mendapat US$ 9,1 miliar selama masa penjualan 15 tahun atau sekitar US$ 600 juta (Rp 6,9 triliun) per tahun, setara dengan enam kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sulawesi Tengah tahun ini, Rp 1,057 triliun. Proyek ini diperkirakan menyerap 4.000 tenaga kerja pada saat puncak kegiatan konstruksi, dan lebih dari 200 tenaga kerja ketika beroperasi.

Maka President Director PT Medco E&P Indonesia Lukman Mahfoedz berharap para buyer bisa memahami kondisi yang ada. Sebab, situasi saat ini kurang menguntungkan lantaran krisis global telah membuat banyak perusahaan berusaha mengurangi komitmen. ”Kami berusaha sedapat mungkin tidak kehilangan kontrak ini, karena sulit sekali mendapatkannya,” kata Lukman.

Pasar gas dunia memang sedang loyo. Permintaan turun. Pembeli gas Bontang, misalnya, meminta penjadwalan ulang pengiriman kargo, disesuaikan dengan realisasi kebutuhan. Sedangkan pasokan membanjir. Malah Qatar dan Rusia, yang baru saja merampungkan pengembangan kilang, siap memasok pasar dunia dengan puluhan juta ton setiap tahun (lihat tabel).

l l l

Proyek LNG Donggi Senoro akan memanfaatkan gas bumi dari lapangan gas di Blok Senoro dan Blok Matindok, Sulawesi Tengah. Blok Senoro adalah wilayah kerja Pertamina yang dikelola bersama Medco E&P Tomori Sulawesi, melalui joint operating body alias JOB, dengan kepemilikan masing-masing 50 persen. Cadangan gas terbukti di Senoro, per Januari tahun lalu, 1,757 triliun kaki kubik.

Blok Matindok juga wilayah kerja Pertamina, yang dikelola sendiri. Di dalamnya, selain lapangan gas Matindok, ada lapangan gas Minahaki, Maleoraja, dan Donggi. Per Oktober tahun lalu, cadangan gas terbuktinya 0,666 triliun kaki kubik. Total cadangan terbukti dari dua lapangan tersebut hanya 2,423 triliun kaki kubik.

Lapangan ini tergolong kurus. Sebagai pembanding, kilang Tangguh di Papua didukung cadangan 14,4 triliun kaki kubik, kilang Arun di Nanggroe Aceh Darussalam 13 triliun kaki kubik, dan kilang Bontang di Kalimantan Timur di-back up cadangan lebih dari 23 triliun kaki kubik.

Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan cadangan gas yang mini bukan persoalan. ”Yang penting harga jual LNG-nya bisa bagus,” katanya. Maka, ia menambahkan, kilang yang dibangun berkapasitas 2 juta ton. Sebab, jika desain kapasitas kurang dari itu, tidak akan ekonomis.

Nah, persoalan harga inilah yang membikin pemerintah dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi belum juga menandatangani sales appointed agreement dan authorization for expenditure. Dua perjanjian itu antara lain mengatur soal penunjuk­an penjual gas bagian pemerintah.

Dalam sistem kontrak bagi hasil, gas yang diproduksi sebagian milik kontraktor dan sebagian lagi milik pemerintah. Maka pemerintah terlibat menyetujui atau menolak formula harga yang diusulkan. Alasan lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral adalah pemegang kuasa pertambangan, sesuai dengan Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001.

Harga Donggi Senoro yang mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC), di bawah US$ 70 per barel, dinilai terlalu murah. Kepala BP Migas Raden Priyono, dalam rapat dengan Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat, Februari lalu, meng­usulkan harga menggunakan dua slope (faktor pengali) mengacu pada JCC.

Untuk harga minyak di bawah US$ 45 per barel, kata Priyono, digunakan slope 6,7 persen. Jika harga minyak di atas US$ 45 per barel, dipakai slope 12 persen. Menurut dia, slope yang relatif tinggi merupakan kompensasi tidak ­adanya floor price (batas bawah). Sehingga, bila harga minyak meningkat, harga gas juga naik tanpa ceiling (batas atas).

Menurut Kurtubi, harga gas ke Jepang yang mengacu pada JCC tidak boleh dibatasi. Justru yang mesti dipersoalkan adalah ketika harga minyak mentah dipatok pada batas atas dan batas bawah tertentu. ”Kayak gas tangguh itu.”

Sumber Tempo mengatakan, pada saat harga crude US$ 45 per barel, harga gas memang cuma US$ 3,3 per mmbtu. Tapi harga akan naik menjadi US$ 6,2 ketika minyak mentah berada di posisi US$ 70 per barel, dan akan meningkat lagi menjadi US$ 12 lebih bila minyak mencapai US$ 120 per barel.

Bandingkan, kata sumber itu, dengan harga gas Tangguh ke Fujian, yang batas atasnya dipatok US$ 38 per barel. Sehingga, pada saat harga koktail Jepang US$ 45 per barel, harga gasnya US$ 3,3 per mmbtu. Bila JCC naik ke level US$ 70 per barel, harga gas tetap nongkrong di US$ 3,3 per mmbtu.

Menurut Lukman, ini menyangkut prediksi harga minyak pada 2013-2027. Pertamina dan Medco berpendapat harga gas pada tahun tersebut lebih dari US$ 70 per barel. Maka batas atas tidak diperlukan untuk memaksimalkan penerimaan. Konsekuensinya, batas bawah juga harus dihilangkan. Sehingga, pada saat minyak US$ 50 seperti sekarang, harga US$ 3,8 per mmbtu terkesan murah. ”Mestinya kita melihatnya nanti, ketika kilang ini ber­operasi pada 2012, bukan harga saat ini.”

Memprediksi harga minyak, Lukman menambahkan, memang sulit. Maka ia menggunakan konsultan, seperti CERA dan Ferashaki. Persoalannya, kata sumber tadi, BP Migas meminta batas atas dihilangkan, sementara batas bawah tetap dipasang. ”Penjual maunya ada batas bawah tanpa batas atas, tapi pembeli sebaliknya.”

Juru bicara Pertamina, Anang Rizkani Noor, mempertanyakan ”penolakan” harga oleh BP Migas. Sebab, pada saat HOA—yang juga memuat formula harga—dibikin hingga diteken, itu sudah sepengetahuan dan atas persetujuan BP Migas.

Lima persyaratan lain—selain har­ga—yang dituntut pemerintah dan BP Migas adalah revisi rencana pengembangan, persetujuan pemegang saham Pertamina, kepastian memasok gas dalam negeri, klarifikasi tuduhan persaingan tidak sehat, dan pemilihan proyek hilir.

Lukman mengatakan revisi rencana pengembangan sudah diajukan. Sedangkan izin pemegang saham, Anang memastikan, sudah ada. Sebab, proyek LNG Donggi Senoro masuk Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sekaligus Rencana Jangka Panjang Pertamina. Proyek ini, kata Anang, sudah dibahas dalam rapat umum pemegang saham dan disetujui.

Soal kewajiban memasok gas untuk­ domestik, menurut Anang, akan dipenuhi. Kendati, kata dia, Blok Senoro yang diteken pada 1997—sebelum Undang-Undang Migas ada—mestinya tak tersentuh beleid domestic market obligation alias DMO. Toh, Pertamina men­jamin melalui surat kepada Menteri Ener­gi dan Sumber Daya Mineral dan BP­ Migas akan memenuhi persyaratan itu.

Pertamina, kata Anang, akan mening­katkan cadangan terbukti. Bila tak sukses, pasokan diambil dari lapangan Pertamina lain, semisal dari Sumatera atau Jawa. Persoalannya, industri yang akan menerima pasokan—PT Panca Amara Utama—belum siap. Diperkirakan, kebutuhan gas ­pabrik pupuk itu 70-80 mmscfd. Pertamina juga menyi­sihkan cadangan 32 miliar kaki kubik untuk pembangkit listrik Banggai.

BP Migas pun meminta perselisihan Donggi Senoro LNG dengan PT LNG Energi Utama dirampungkan. Akhir Januari 2009, PT LNG Energi Utama melaporkan pemenang tender proyek LNG Donggi Senoro—Mitsubishi Co­operation—ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha atas tuduhan persaing­an tidak sehat. Ini adalah laporan kedua. Pada Agustus 2008, mereka mengadu ke komisi ini. Tapi lembaga pengawas itu menghentikan pemeriksaan pada 7 Januari 2009 karena laporan tersebut dianggap tidak jelas atau tidak lengkap.

LNG Energi Utama menduga Mitsubishi menggunakan informasi miliknya yang diperoleh dari hasil due diligence. Penetapan biaya pun diduga tanpa melalui kegiatan praproyek sebagaimana dilakukan LNG Energi Utama, tapi hanya penyesuaian atas faktor yang telah diidentifikasi. Tuduhan lain re­ducing price, karena penawaran investasi Mitsubishi, yang saat tender US$ 600-800 juta, naik menjadi lebih dari US$ 1 miliar setelah menang tender.

Juru bicara Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Ahmad Junaidi, mengatakan tim Komisi sedang mengklarifikasi laporan kedua. Jadi masih dinilai apakah laporan bisa dilanjutkan atau tidak. Prinsipnya, dokumen-dokumen yang dimasukkan tak jauh berbeda dengan laporan pertama.

Keputusan Pertamina dan Medco memilih proyek model hilir pun diperta­nyakan pemerintah dan BP Migas. Menurut Anang, pola hilir justru lebih baik karena net present value-nya lebih bagus. Dengan pola ini, penerimaan negara bisa masuk pada tahun pertama penjualan gas, tanpa harus menunggu cost recovery lunas. Biaya pembangunan kilang juga tidak membebani pemerintah karena ditanggung investor. Dan yang utama, kata Anang, tidak memerlukan jaminan pemerintah seperti pada proyek LNG lain.

Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Iqbal Muhtarom

Kilang Bontang, Kalimantan Timur (1)
Beroperasi: 1977, 1982, 1993, 1997, 1999
Operator: PT Badak NGL
Pemegang saham: PT Pertamina (Persero) 55 persen, Vico Indonesia 20 persen, Japan Indonesia LNG Co. 15 persen, Total E&P 10 persen
Penghasil gas: Pertamina, Total, Vico, Unocal (sekarang Chevron Indonesia)
Pasar: Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co., Nippon Steel Corp., Osaka Gas Co. Ltd.

Kilang Tangguh, Papua (2)
Beroperasi: 2008
Operator: BP Tangguh
Pemegang saham: BP Indonesia 37,16 persen, MI Berau B.V. 16,3 persen, CNOOC 13,9 persen, Nippon Oil Exploration (Berau) Ltd. 12,23 persen, KG Berau/KG Wiriagar 10 persen, LNG Japan Corporation 7,35 persen, Talisman 3,06 persen
Penghasil gas: BP Indonesia
Pasar: Fujian Cina, K-Power Co. Ltd. dan Posco Korea, Sempra Energy Mexico

Kilang Arun, Nanggroe Aceh Darussalam (3)
Beroperasi: 1978, 1983, 1986
Operator: PT Arun NGL
Pemegang saham: PT Pertamina (Persero) 55 persen, Mobil Oil Indonesia Inc. 30 persen, Japan Indonesian LNG Co. 15 persen
Penghasil gas: ExxonMobil
Pasar: Tohoku Electric Power Co. Inc., Tokyo Electric Power Co. Inc

Raja LNG Dunia

Iran
Rencana ekspansi: 69,7 juta ton per tahun

Qatar
Kapasitas terpasang: 30,7 juta ton per tahun
Dalam konstruksi: 46,8 juta ton per tahun

Nigeria
Kapasitas terpasang: 22,2 juta ton per tahun
Rencana ekspansi: 40,4 juta ton per tahun

Australia
Kapasitas terpasang: 20,1 juta ton per tahun
Dalam konstruksi: 4,3 juta ton per tahun
Rencana ekspansi: 73,2 juta ton per tahun

Indonesia
Kapasitas terpasang: 28,6 juta ton per tahun (termasuk kilang LNG Tangguh)
Dalam konstruksi: 2 juta ton per tahun

Rusia
Dalam konstruksi: 9,6 juta ton per tahun
Rencana ekspansi: 7,5 juta ton/tahun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus