Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JENNY sedang memeriksa sumber suara di lantai atas rumahnya ketika Marnie, kawan sekolahnya di Kota Woodsboro, Maryland, tiba-tiba menghilang. Malam itu mereka baru saja pulang menonton film horor. Bulu kuduknya sontak tegak. Di ujung telepon, lamat-lamat terdengar suara seseorang yang persis dengan suara dalam adegan film.
Tiba-tiba, pyarrr tubuh Marnieyang berdarah-darah terlempar memecah jendela rumahjatuh tepat di hadapan Jenny yang ketakutan. Sesosok bertopeng dengan pisau di tangan muncul. Kejar-mengejar pun terjadi di rumah yang gelap itu. Jenny berteriak histeris. Begitu pula penonton yang memenuhi bioskop Metropole XXI, Jakarta Pusat, Kamis malam pekan lalu.
Itulah adegan pembuka dalam film Scream 4. Sudah sepekan terakhir film bergenre thriller horor buatan Dimension Films, produsen dan distributor film asal Amerika Serikat, itu diputar di Indonesia. Adalah PT Amero Mitra Film yang mendatangkannya dua pekan lalu. Datang, langsung kami putar, kata Tri Rudi Anitio, salah satu bos Grup 21.
Dalam dua bulan terakhir, Amero juga telah mengimpor beberapa film Amerika Serikat, seperti Source Code, Limitless, Beastly, dan terakhir Insidious. Impor film mulai ia lakukan kembali sejak Mei lalu setelah sempat diblokir. Pelarangan itu dilakukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sejak 12 Maret lalu lantaran perusahaan ini tak kunjung melunasi kekurangan bayar bea masuk atas importasi film periode 2008-2010.
Pemblokiran serupa dilakukan terhadap dua importir film milik Grup 21 lainnya, yakni PT Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film. Jumlah tagihan pokoknya Rp 31 miliar. Ini belum termasuk denda sepuluh kali lipat. Jika ditotal, kewajiban ketiga importir itu mencapai Rp 310 miliar.
Piutang bea masuk itu diperoleh dari hasil audit Bea dan Cukai tahun lalu. Ketiga importir itu dinilai tidak membayar bea masuk dengan benar. Selama ini, lewat metode kalkulasi sendiri atau self assessment, bea masuk yang mereka bayar hanya dihitung berdasarkan harga fisik cetakan film. Sedangkan royalti atas pendistribusian film yang dibayar para importir kepada produsen film tidak dihitung alias tak dikenai pungutan. Ini yang ditagih aparat Bea dan Cukai.
Persoalannya, para produser film merasa keberatan atas kebijakan ini karena royalti yang mereka terima bakal terpangkas. Buntutnya, enam produser besar perfilman Amerika Serikat yang tergabung dalam Motion Picture Association of America menghentikan distribusi filmnya sejak pertengahan Februari lalu.
Keenam produser itu adalah Paramount Pictures, Walt Disney, Sony Pictures, Twentieth Century Fox, Universal Studios, dan Warner Bros. Sebagai perlawanan, ketiga importir film, yakni Amero, Camila, dan Satrya, juga mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak.
Menurut sumber Tempo di Bea dan Cukai, untuk bisa mengajukan permohonan banding itu, Amero harus merogoh kocek Rp 13 miliar. Undang-Undang Pengadilan Pajak memang mewajibkan adanya pembayaran minimal 50 persen dari utang pokok.
Walhasil, Bea dan Cukai membuka kembali keran impor Amero. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono membenarkan adanya pembayaran tersebut. Dua perusahaan lainnya belum, katanya kepada Iqbal Muhtarom dari Tempo.
Nasib Camila dan Satrya tak sebaik Amero. Majelis hakim Pengadilan Pajak menolak permohonan banding keduanya pada pertengahan bulan lalu karena tak membayar syarat minimal 50 persen dari utang pokok. Karena syarat formal tak terpenuhi, tak perlu ke materi sengketa, kata Kepala Subbagian Pelayanan Informasi Sekretariat Pengadilan Pajak, Jeffry Wagiu, pekan lalu.
Akibat penolakan itu, Camila dan Satrya belum bisa mengimpor film. Ini membuat hingga kini film Kung Fu Panda 2, produksi Paramount Pictures, dan Pirates of the Caribbean 4 buatan Walt Disney tak kunjung tayang di Indonesia. Sebab, hanya lewat kedua importir itu Grup 21 biasanya mendatangkan film dari anggota MPAA. Adapun film-film Barat yang dalam empat bulan terakhir tayang di bioskop-bioskop dalam negeri merupakan buatan studio non-MPAA atau disebut studio independen.
Sepinya pasokan film laris besutan studio-studio besar di Amerika Serikat itu, menurut Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia Djonny Syafruddin, membuat jumlah penonton bioskop drop hingga 60 persen.
Tawaran tarif murah dan paket hemat tak cukup ampuh mendongkrak jumlah penonton. Tidak ada film bagus, mana ada yang mau datang katanya. Rieke Rahadiane, karyawan swasta di Jakarta, pekan lalu bahkan rela merogoh duit Rp 2,5 juta untuk pergi ke Bangkok, Thailand, hanya demi menonton Kung Fu Panda 2, Pirates of the Caribbean 4, dan X-Men First Class.
Khawatir akan kondisi yang terjadi, Kementerian Keuangan buru-buru mengkaji ulang kebijakan tarif bea masuk film impor. Sebuah tim tarif yang diketuai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang P. Brodjonegoro ditugasi mempelajarinya. Apalagi sepucuk surat sudah dilayangkan Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat, Dino Patti Djalal.
Dalam surat tertanggal 8 Maret lalu itu, Dino menyatakan reassessment bea film impor akan berdampak jangka panjang secara sosial, ekonomi, diplomatik, dan politik. Meski menambah pemasukan pemerintah, berhentinya pasokan film Hollywood akan merugikan pemerintah dan masyarakat.
Lewat pesan pendeknya pekan lalu, Dino menilai, bukannya bakal mendongkrak perfilman nasional, tak beredarnya film Hollywood di Indonesia malah menyemarakkan film bajakan. Cara terbaik adalah memberi industri film nasional insentif langsung, katanya.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tak mau ketinggalan. Sejak awal bulan lalu, Syamsul Lussa, Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan, secara intensif mengumpulkan importir film untuk merancang usulan tarif baru. Diawali Rabu, 4 Mei lalu, sejumlah importir diundang di Gedung Film, Kuningan. Syamsul, yang memimpin pertemuan, juga mengundang tim Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Rancangannya, tarif bea masuk film impor, yang selama ini dipungut 10 persen dari US$ 0,43 per meter cetakan film, diusulkan diubah menjadi rupiah per menit. Adapun royalti atas distribusi tak lagi dihitung. Pakai menit karena, di masa mendatang, impor berbentuk digital, kata Syamsul, bukan pita.
Belakangan, konsolidasi Kementerian Kebudayaan dengan para importir menghasilkan tarif spesifik Rp 20 ribu per menit. Jika rata-rata durasi sebuah film 110 menit, bea masuk yang harus dibayar importir Rp 2,2 jutalebih tinggi dibanding tarif sebelumnya, yang hanya sekitar Rp 1,2 juta. Angka inilah yang disodorkan kepada tim tarif Kementerian Keuangan sebagai masukan.
Bambang mengaku telah mempelajari masukan dari Kementerian Kebudayaan. Namun, dia enggan menyebutkan berapa tarif yang diputuskan. Pokoknya sedikit di atas usulan yang ada. Menurut sumber di Kementerian Keuangan, tarif baru dipatok Rp 21.450 per menit. Rencananya, pengumuman resmi baru akan dikeluarkan awal pekan ini.
Meski tarif baru lebih tinggi ketimbang tarif selama ini, Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional Rudy Sanyoto curiga hal itu hanya bentuk kompromi dengan importir film. Sebab, bea masuk Rp 2,2 juta per cetakan film masih jauh lebih rendah ketimbang kalkulasi Bea dan Cukai, yang memasukkan royalti distribusi dalam komponen penghitungannya.
Seolah-olah tarif naik, padahal jauh lebih rendah daripada penghitungan awal Bea dan Cukai, katanya. Rudy memperkirakan nilai bea masuk yang sebenarnya Rp 5,5 juta per kopi film.
Menurut salah seorang sumber, tarif baru usulan Kementerian Kebudayaan itu juga berkat input dari Ikatan Perusahaan Importir Film Indonesia, yang diketuai oleh Jimmy Harianto. Jimmy tak lain adalah Direktur Satrya Perkasa. Ketika dimintai konfirmasi, Jimmy mengakui lembaganya sempat ikut membahas rencana usulan tarif baru. Tapi dia tak mau berkomentar lebih jauh.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo