Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT di kantor Menteri Koordinator Perekonomian Jumat dua pekan lalu itu berlangsung tak sampai satu jam. Padahal rapat tersebut membahas persoalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sarulla, yang sudah terkatung-katung 13 tahun. Rapat yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa itu seharusnya dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Direktur Utama PLN, Direktur Utama Medco Energi Internasional, dan Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy.
Tapi Menteri Energi dan Direktur Utama PLN tak muncul. Masing-masing diwakili anggota staf ahli Menteri Energi, Kardaya Warnika, serta Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsudin. Rapat yang dimulai tepat pukul 8 pagi itu merupakan respons Hatta atas keputusan PLN yang hendak mengambil alih proyek pembangkit Sarulla dari Konsorsium Sarulla Operation Limited.
Rapat direksi PLN pada Selasa, 31 Mei, memutuskan membangun sendiri pembangkit yang berlokasi di Tapanuli Utara ini. Alasannya, kemajuan proyek ini sangat lamban. Kabar ini kemudian disebar Direktur Utama PLN Dahlan Iskan pada Rabu, 1 Juni lalu, kepada media. Proyek fisiknya akan kami mulai akhir tahun ini, ujar Dahlan.
Akibat molornya pembangunan, kata dia, PLN dirugikan. Rencananya, pembangkit berkapasitas 330 megawatt ini beroperasi penuh pada 2014. Itu artinya, pembangunan pembangkit seharusnya sudah dimulai tahun ini. Selain untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara, kata dia, ada duit PLN US$ 60 juta yang kadung tertanam di proyek itu. Makin molor, kami makin rugi.
Dia mengklaim negosiasi PLN dengan Konsorsium Sarulla, terutama soal harga jual listrik, sudah selesai. Keduanya menyepakati harga jual listrik US$ 6,79 sen per kilowatt jam. Persoalan, kata Dahlan, justru terjadi antara konsorsium dan pihak terkait lain. Padahal pembangunan Sarulla tak perlu spekulasi karena lokasi dan volume uapnya sudah jelas, tuturnya.
Potensi listrik dari Sarulla terdeteksi sejak 1993. Pertamina bersama pengembang Unocal North Sumatera Geothermal Ltd, anak usaha Unocal Corp (kini Chevron Corp), sempat mengeksplorasi hingga 1998 dan berhasil menemukan cadangan panas bumi yang mampu menghasilkan tenaga listrik 330 megawatt selama 30 tahun. Cadangan itu terkandung dalam 13 sumur di Sibualbuali Timur, Silangkitang, dan Namora Langit.
Namun krisis keuangan yang menerpa Indonesia pada 1997 mengakibatkan Unocal, yang bermarkas di El Segundo, California, Amerika Serikat, gagal melanjutkan proyek. Sebagai pemegang kontrak kerja sama operasi bersama Pertamina dan PLN, Unocal tak mampu menjaring pinjaman bank untuk membiayai proyek senilai US$ 600 juta.
Proyek Sarulla akhirnya berpindah tangan ke PLN. Tapi itu tidak gratis. PLN harus membelinya dari Unocal seharga US$ 60 juta pada 2003. Dan untuk melanjutkan proyek, setahun kemudian PLN menggelar tender Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sarulla pada 2005.
Hasilnya, PT Geo Dipa Energi, anak perusahaan PT Pertamina (Persero), terpilih sebagai pemenang tender. Adapun Konsorsium Sarulla Operation Limited, yang terdiri atas Medco Geothermal Indonesia, Kyushu Electric, Itochu Corporation, dan Ormat International Inc, berada di peringkat kedua sebagai preferred bidder atau penawar yang diutamakan.
Ternyata Geo Dipa mundur dari proyek tersebut. Kabarnya, Pertamina tak merestui keterlibatan Geo Dipa dalam proyek Sarulla. Itu sebabnya proyek tersebut jatuh ke tangan Medco dan kawan-kawan pada 2006, sebagai penawar yang diutamakan.
Namun rupanya, di tangan Medco pun, pembangunan Sarulla tak mulus. Aral pertama adalah soal harga jual listrik kepada PLN. Saking alotnya kesepakatan, proyek ini dimasukkan daftar proyek listrik swasta (independent power producer) terkendala. Butuh lima tahun sebelum Konsorsium Sarulla dan PLN menyepakati harga US$ 6,79 sen per kilowatt jam pada 20 Maret 2011.
Setelah persoalan tarif tuntas, tiba-tiba rapat direksi PLN pada 31 Mei malah memutuskan mengambil alih proyek karena Konsorsium Sarulla tak kunjung merealisasi proyek tersebut.
Menurut sumber Tempo, keputusan PLN itu berkaitan dengan aral kedua yang dihadapi proyek ini, yakni penjaminan yang diminta calon kreditor, yaitu Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Asian Development Bank atas Pertamina Geothermal Energy. JBIC mempertanyakan peringkat kredit Pertamina Geothermal sebagai pemilik wilayah kuasa penambangan karena dinilai masih baru (berdiri Desember 2006). Intinya, dia minta jaminan jika terjadi apa-apa dengan Pertamina Geothermal Energy, tuturnya.
Awalnya, kata dia, JBIC meminta jaminan pemerintah, tapi ditolak karena Pertamina Geothermal bukan bagian dari pemerintah. JBIC lantas meminta jaminan kepada Pertamina. Lagi-lagi ditolak. Pertamina pun tak mau menjamin anak perusahaannya, kata sumber ini.
Karena penolakan itu, masih menurut sumber ini, PLN akhirnya turun tangan memberikan jaminan kepada JBIC. Berbarengan dengan itu, PLN mengikat aset-aset Pertamina Geothermal. Dengan begitu, jika terjadi apa-apa, misalkan Pertamina Geothermal tidak memenuhi kontrak, JBIC akan mengklaim kepada PLN. Selanjutnya PLN akan mengeksekusi aset-aset Pertamina Geothermal.
Pertamina Geothermal diyakini tak akan macam-macam kepada PLN karena ada banyak kontrak di antara dua perusahaan ini. Baik PLN, Pertamina Geothermal, maupun JBIC melihat hal ini sebagai solusi bisnis. Tiga-empat bulan lalu sudah disepakati, ujarnya.
Setelah soal jaminan beres, muncul persoalan lain. Pejabat perusahaan negara ini mengatakan negosiasi joint operating contract antara Pertamina Geothermal dan Konsorsium Sarulla tak selesai-selesai. Ganjalannya lagi-lagi tuntutan JBIC. Ada tiga, ujar dia.
JBIC, tuturnya, meminta pembangkit yang dibangun dinyatakan sebagai aset Konsorsium Sarulla selama masa pinjaman. Kemudian JBIC juga meminta pembayaran listrik dari PLN langsung ke JBIC, tidak mampir dulu ke Pertamina. Terakhir, JBIC minta kontrak 30 tahun tidak menghitung masa mati suri 1998-2003. JBIC meminta kontrak berakhir pada 2046.
Nah, menurut pejabat ini, dari sisi bisnis, tuntutan JBIC wajar. Di mana-mana kreditor pasti minta jaminan aset dan pembayaran, ujarnya. Tapi Pertamina Geothermal tidak bisa memenuhi permintaan JBIC.
Sebagai perusahaan yang dititipi aset negara, yaitu wilayah Blok Sarulla, menurut sumber Tempo yang lain, permintaan JBIC tidak bisa business to business. Sebab, soal aset, pembayaran, atau masa kontrak sudah diatur Peraturan Menteri Pertambangan Energi Nomor 10 Tahun 1981. Permintaan JBIC bertentangan dengan aturan menteri. Hal itu sudah di luar kewenangan Pertamina Geothermal, katanya.
Pertamina Geothermal juga mempertanyakan tuntutan JBIC itu. Dari semua kreditor yang pernah terlibat, ujar sumber di perusahaan ini, baru JBIC yang menuntut seperti itu.
Pertamina Geothermal, kata sumber ini, lalu melempar persoalan ini ke Kementerian Energi. Sialnya, Kementerian Energi tak kunjung mengambil sikap. Dari info hasil penelusuran Tempo, alasan Kementerian Energi, soal aset atau pembayaran merupakan kewenangan Kementerian Keuangan.
Kepada Tempo, juru bicara Pertamina Geothermal, Adiatma Sardjito, hanya berujar singkat, Kami masih menyelesaikan perundingan dengan konsorsium. Ada usulan kontrak diamendemen. Tunggu saja. Rapat teknis ini, kata dia, berlangsung di Medan.
Hingga Jumat pekan lalu, belum ada kejelasan soal rencana PLN mengambil alih proyek tersebut. Rapat di kantor Menko Perekonomian juga tidak membicarakan bagaimana jika proyek itu diambil alih PLN. Rapat itu hanya membahas bagaimana aral yang mengganjal itu segera diselesaikan.
Chief Operating Officer Medco E&P Indonesia Budi Basuki mengatakan perusahaannya tetap akan meneruskan proyek pembangkit Sarulla. Dia mengakui rencana pinjaman US$ 1 miliar dari JBIC dan Asian Development Bank terkendala syarat-syarat yang belum putus. Tapi soal mekanisme pembayaran sudah ada titik temu. Tinggal menunggu aspek legal. Sebentar lagi selesai, katanya kepada Retno Sulistyowati dari Tempo. Saat ini tender drilling sedang berjalan.
Kardaya juga membenarkan tiga hal yang dituntut JBIC sudah ditemukan jalan keluarnya. Soal mekanisme pembayaran, misalnya, Pertamina sudah tidak mempersoalkan permintaan JBIC. Jadi PLN bisa menyerahkan langsung kepada konsorsium, katanya. Perpanjangan kontrak, menurut dia, juga sudah tidak ada masalah.
Yang masih bermasalah ialah pembangkit yang diminta JBIC sebagai aset konsorsium selama masa pinjaman. Soal aset kami butuh legal opinion dari Kejaksaan Agung, kata Kardaya.
Kardaya menilai permintaan JBIC tak berlebihan. Tapi apa yang diminta itu harus benar secara hukum. Kementerian Energi sifatnya teknis, jadi perlu payung hukum, ujarnya.
Satu unit pembangkit panas bumi Sarulla ditargetkan rampung pada 2013, dua unit lainnya pada 2014. Pembangkit ini sangat ditunggu untuk mengamankan pasokan listrik di Sumatera Utara. Saat ini Sumatera Utara mengalami defisit listrik 180 megawatt. Konsumsi ketika beban puncak mencapai 1.200 megawatt.
Seorang pejabat yang mengikuti rapat di kantor Menko Perekonomian dua pekan lalu, mengatakan pernyataan Dahlan Iskan seperti membangunkan orang tidur. Semua jadi sadar bahwa kebutuhan listrik di Sumatera ini sudah mendesak, katanya.
Anne L. Handayani, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo