Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prita Mulyasari mengambil cuti tiga hari sejak Senin pekan lalu dari pekerjaannya sebagai anggota staf bagian call center kantor pusat Bank Sinarmas Jakarta. Cuti itu bukan hendak dipakainya berlibur atau menghabiskan waktu dengan tiga buah hatinya. Perempuan 34 tahun itu ingin berkonsentrasi menghadapi perkara pencemaran nama baik yang kembali membelitnya.
Tiga hari sebelumnya sejumlah media melansir inti putusan kasasi Mahkamah Agung perihal perkaranya. Amar putusan yang diketuk pada 30 Juni lalu itu menyebut Prita dinyatakan bersalah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni International Alam Sutera, Tangerang, Banten.
Majelis kasasi yang dipimpin Zaharuddin Utama dengan anggota Salman Luthan dan Imam Harjadi menghukum Prita enam bulan penjara dengan hukuman percobaan satu tahun. Putusan itu tidak bulat karena Salman Luthan berbeda pendapat (dissenting opinion). "Saya syok mengetahui putusan itu," kata Prita, Kamis pekan lalu, kepada Tempo.
Tuduhan pencemaran ditimpakan kepada dirinya setelah ia menulis surat elektronik bertajuk "Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang", yang dikirimnya ke sejumlah temannya. Isinya, pengalamannya dirawat di rumah sakit milik konglomerat Kaharudin Ongko tersebut. Hengky Gosal dan Grace Hilza, dua dokter rumah sakit Omni, pihak yang mempidanakan Prita. Keduanya dokter yang menangani perawatan Prita. Omni Internasional mengklaim, gara-gara e-mail Prita, jumlah pasien mereka menurun.
Di Pengadilan Negeri Tangerang, Prita, yang sebelumnya dituntut hukuman enam bulan penjara, dibebaskan dari segala dakwaan. Jerat yang dipakai jaksa adalah Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Prita adalah korban pertama undang-undang yang kini dituntut sejumlah kalangan untuk diperbaiki itu (lihat "Revisi Pasal Multitafsir"). Menurut hakim di pengadilan negeri, e-mail Prita tidak bermuatan pencemaran, melainkan kritik.
Selain menghadapi kasus pidana, pada saat sama Prita digugat perdata Hengky dan Grace, yang mewakili Rumah Sakit Omni. Di tingkat pengadilan negeri dan banding, gugatan itu dikabulkan dan Prita dihukum membayar ganti rugi Rp 204 juta. Putusan itu memicu lahirnya gerakan "Koin Peduli Prita", yang berhasil menghimpun dana Rp 800 juta. Pada awal Oktober 2010, giliran gugatan Omni yang ditolak di tingkat kasasi. Majelis hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa menyatakan perbuatan Prita mengirim e-mail tak melawan hukum. Perkara perdata ini selesai lantaran pihak Omni tak mengajukan upaya hukum lain.
Ini berbeda dengan kasusnya di jalur pidana. Sebulan setelah putusan, jaksa mengajukan kasasi. Pengacara Prita, Slamet Yuwono, mempersoalkan upaya ini karena menabrak Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu menyebutkan putusan bebas tidak bisa dikasasi. Tapi, menurut jaksa perkara ini, Riyadi, putusan Prita tidak bebas murni sehingga bisa dikasasi. Ia merujuk yurisprudensi Mahkamah Agung tahun 1983.
Dalam memori kasasinya, jaksa memuat sejumlah kelemahan putusan karena hakim dianggap mengabaikan sejumlah fakta persidangan. Di antaranya, jaksa menilai isi e-mail Prita untuk 20 temannya tidak dipertimbangkan hakim. Demikian juga saksi korban dan ahli bahasa yang diajukan jaksa, kesaksiannya tidak dipertimbangkan hakim. Jaksa juga menilai pertimbangan hakim bahwa perbuatan Prita merupakan sebuah kritik tidak didukung alat bukti.
Nah, menurut sumber Tempo, hakim majelis kasasi rupanya sependapat dengan bolong-bolong putusan pengadilan seperti ditunjukkan jaksa. Majelis menilai perbuatan Prita mengirim e-mail itu masuk kualifikasi pencemaran nama baik. Pertimbangannya, kata sumber itu, sama persis dengan sejumlah kelemahan putusan yang disebutkan jaksa dalam memori kasasi. Misalnya, alasan jaksa perihal diabaikannya ahli bahasa dan tidak utuhnya hakim melihat seluruh e-mail Prita. Bedanya, kata dia, hukuman yang dituntut jaksa selama enam bulan kemudian diperingan majelis hakim kasasi menjadi enam bulan dengan masa percobaan setahun. "Ini karena Prita punya tanggung jawab terhadap tiga anaknya," kata sumber itu.
Kendati divonis bersalah, menurut anggota majelis kasasi, Salman Luthan, dengan hukuman semacam itu, Prita tak perlu masuk bui. Jika selama masa percobaan Prita tidak melakukan tindak pidana serupa, kata Salman, ia akan bebas. Namun, jika sebaliknya, Prita akan menjalani hukuman enam bulan penjara.
Kepada Tempo, Salman mengaku memang memiliki pendapat berbeda dengan dua koleganya itu. Menurut dia, yang dilakukan Prita adalah dampak dari pelayanan rumah sakit. "Sehingga dengan demikian tidak bisa dianggap pencemaran nama baik," katanya. Namun Salman menolak berkomentar lebih jauh tentang putusan tersebut. "Saya bisa kena kode etik," katanya.
Setelah mengetahui putusan itu, Jumat itu juga Prita langsung menemui kuasa hukumnya dari Kantor Pengacara Otto Cornelis Kaligis. Prita mengatakan akan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Ia pun memanfaatkan waktu cutinya untuk menggalang dukungan dan meminta perlindungan hukum ke berbagai kalangan. "Saya tidak mau dicap sebagai terpidana," katanya.
Selasa pekan lalu ia mendatangi Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Selain meminta dukungan pengajuan permohonan PK, Prita, yang datang didampingi lima pengacaranya, meminta perlindungan hukum. Ia mendesak DPR meminta kejaksaan tidak buru-buru mengeksekusi putusan itu. Di depan wakil rakyat, sembari terisak ia menyatakan terpukul oleh putusan kasasi itu. Tangisnya pecah saat ia menceritakan pengalamannya tatkala dirinya ditahan beberapa waktu silam.
Anggota Komisi Hukum yang hadir kompak mendukung Prita. Setelah menerima salinan putusan, Komisi berjanji akan memanggil Mahkamah Agung dan Kejaksaan untuk meminta penjelasan soal putusan itu. Komisi juga akan meminta Kejaksaan tidak buru-buru mengeksekusi prita. "Hakim telah melawan rasa keadilan masyarakat," kata anggota Komisi Hukum DPR, Ahmad Yani.
Dari DPR, hari itu juga, Prita memenuhi undangan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin di kantornya. Menurut Prita, ia tak menyangka sambutan di kantor pusat Muhammadiyah demikian meriah. Saat itu sejumlah organisasi sayap Muhammadiyah juga menyatakan mendukung perjuangannya. Kepada Prita, Din menyatakan mendukung upaya hukum yang diajukan Prita. "Kami ingin mengetuk hati nurani penegak hukum agar bersikap adil," kata Din.
Ahli pidana dari Universitas Brawijaya, Adami Chazawi, mengatakan banyak alasan Prita untuk mengajukan permohonan PK. Selain putusan pidana yang bertentangan dengan putusan perdata, kata Adami, kekhilafan hakim bisa jadi alasan. Pasal 263 ayat 2 butir b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kata Adami, menyebut putusan perkara yang terkait tidak boleh bertentangan. Putusan perkara perdata dan pidana Prita, ujar dia, seharusnya sama karena tuduhannya serupa.
Soal kekhilafan hakim, kata Adami, bisa dilihat dari penerapan pasal yang dituduhkan. Pasal 27 ayat 3, kata dia, bukan untuk Prita. Selain tidak memenuhi unsur tidak punya hak dalam pasal itu, media e-mail yang dipakai Prita dianggap tidak dikonsumsi khalayak umum. Kementerian Komunikasi dan Informatika, instansi pemerintah yang mengawasi pelaksanaan UU ITE, menyatakan Prita tidak bisa dijerat dengan pasal 27 itu. "Perbuatan Prita itu dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen," kata juru bicara kementerian itu, Gatot S. Dewa Broto.
Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa menyatakan putusan kasasi terhadap Prita tak ada yang salah. Perbedaan putusan perdata dan pidana, kata Harifin, merupakan bentuk independensi hakim karena dalam dua perkara itu majelisnya berbeda. Harifin mempersilakan Prita menggunakan haknya mengajukan permohonan PK jika tidak puas terhadap putusan kasasi.
Kejaksaan Negeri Tangerang sebagai penuntut umum perkara ini memastikan akan melakukan eksekusi jika sudah menerima salinan putusan. Menurut Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tangerang, Semeru, eksekusinya dalam bentuk pengawasan karena vonisnya berupa hukuman percobaan. "Kalau tidak melakukan pidana serupa selama dihukum percobaan, ia akan bebas," kata Semeru.
Kamis pekan lalu, setelah masa cutinya selesai, Prita kembali ke rutinitasnya sebagai karyawati bank. Menurut dia, begitu salinan kasasi perkaranya itu diterima, ia akan kembali melakukan perlawanan untuk menuntut keadilan atas dirinya.
Anton Aprianto, Ayu Cipta, dan Joniansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo