Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>PERBANKAN</font><br />Musim Panen Obligasi Tiba

Dana pihak ketiga perbankan menyusut. Sebagian diparkir di surat utang negara. Imbal hasil lebih menggiurkan.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DANA Pensiun Telkom tak kebagian banyak dalam lelang surat utang negara yang digelar pemerintah pada 1 September lalu. Dari total uang segar yang disedot pemerintah Rp 2 triliun, Telkom hanya kecipratan Rp 300-an miliar. Padahal perusahaan pengelola duit pensiun karyawan itu mengajukan penawaran hingga Rp 600-an miliar. ”Yang diambil cuma sedikit,” kata Direktur Investasi Dana Pensiun Telkom Wahyudi Salasa.

Obligasi negara belakangan memang menjadi primadona. Pemegang modal rame-rame menaruh pundinya di instrumen investasi yang tergolong paling aman ini. Lembaga Penjamin Simpanan pun telah mengendus adanya pergeseran arus modal tersebut. Pada Juni lalu, total dana pihak ketiga perbankan tercatat masih Rp 1.834,7 triliun. Eh, di akhir Juli, dananya tinggal Rp 1.820,08 triliun atau susut Rp 14,6 triliun dalam sebulan.

Sejak Januari sampai September ini, pemerintah telah menerbitkan surat utang senilai Rp 144,5 triliun. Pada Agustus lalu, pemerintah meraup Rp 8,54 triliun dari penjualan Obligasi Retail Indonesia. Awal September, dana masyarakat sebesar Rp 2 triliun kembali disedot melalui surat utang negara. Selasa pekan lalu, pemerintah kembali menerbitkan empat surat utang. Sampai Desember nanti, total jenderal masih ada Rp 14 triliun yang bakal disedot pemerintah.

Inilah yang membuat para bankir ketar-ketir. Sering kali penerbitan surat utang itu diikuti penurunan jumlah dana pihak ketiga perbankan nasional. Bunga yang ditawarkan surat utang itu rata-rata memang lebih tinggi dibanding suku bunga deposito di counter kantor-kantor bank. Surat utang yang dijual pekan ini, misalnya, mematok bunga 10,5-11 persen. Kupon untuk Obligasi Retail juga masih di atas 9 persen. Pada saat yang sama, rata-rata bunga deposito hanya di kisaran 6 persen.

Wakil Direktur Utama Bank Danamon Jos Luhukay mengatakan para pemilik uang memang selalu mencari bunga bagus, hadiah atau undian yang greng, dan risiko yang minim. Sederet instrumen investasi yang lebih oke ketimbang deposito, seperti obligasi pemerintah atau obligasi korporasi dengan rating bagus, menjadi pesaing yang terus diperhitungkan perbankan.

Perbankan kian terancam setelah pada 20 Agustus lalu 14 bank sepakat menurunkan suku bunga. Intinya, selama tiga bulan ke depan, bank hanya bisa memberikan bunga deposito maksimal 1,5 persen di atas suku bunga acuan BI Rate. Selanjutnya, bunga deposito cuma boleh 0,5 persen di atas BI Rate. Artinya, dengan BI Rate 6,5 persen seperti saat ini, bunga deposito maksimal 8 persen sampai November, dan pada Desember menjadi 7 persen.

Alhasil, perburuan obligasi negara tak terelakkan. Di pasar sekunder, kata Head of Debt Research Danareksa Sekuritas Budi Susanto, hal itu mulai tampak. Permintaan surat utang negara yang meningkat menyebabkan harga obligasi pemerintah menguat secara bertahap. Sebaliknya, imbal hasil alias yield pelan-pelan menciut. Indeks yield surat utang negara menunjukkan tren penurunan dari 10,132 pada 19 Agustus ke 9,982 pada 31 Agustus.

Pemangkasan bunga deposito, kata Budi, memang bukan satu-satunya penyebab terjadinya perburuan surat utang pemerintah. Ada faktor lain, seperti dana asing yang mulai masuk lagi ke pasar domestik—salah satunya ke pasar obligasi. Target pendanaan anggaran negara yang kurang Rp 14 triliun saja membuat yield terkoreksi perlahan. Pasar pun sangat pede karena pendanaan bujet pemerintah lancar.

Saat ini, porsi obligasi negara paling besar di antara instrumen investasi lain yang diperdagangkan di lantai bursa. Malah Danareksa Sekuritas mencatat investor rame-rame beralih ke instrumen ini sejak awal tahun, ketika bursa saham jeblok.

Permintaan obligasi negara memang menunjukkan tren peningkatan. Saat ini, surat berharga negara rupiah yang dijual melalui lelang dan book building sekitar Rp 80 triliun. Rata-rata bid to cover ratio—perbandingan antara penawaran yang masuk dan jumlah yang dimenangkan—sebesar 2,5. Artinya, potensi demand surat utang negara saat ini Rp 200 triliun, dan diperkirakan akan mencapai Rp 250 triliun pada akhir tahun. ”Naik 10-15 persen per tahun.”

Per 2 September, perusahaan-perusahaan asuransi menguasai 11,79 persen (Rp 66,59 triliun) dari total tradable outstanding surat berharga negara, naik dibanding posisi Januari, 10,65 persen (Rp 56,95 triliun). Sedangkan dana pensiun memiliki 6,36 persen (Rp 35,93 triliun), meningkat 6,25 persen dibanding pada awal tahun ini (Rp 33,41 triliun).

lll

SALAH satu deposan terbesar Tanah Air, Jamsostek, bersiap memindahkan Rp 3 triliun depositonya ke obligasi. Alasannya, kata Direktur Investasi PT Jamsostek Elvyn G. Masasya, pada semester kedua ini banyak penawaran surat utang. Tapi ia menampik penggeseran dana itu dikaitkan dengan kesepakatan 14 bank menurunkan bunga.

Elvyn mengatakan deposito bisa untuk investasi, menjaga likuiditas, atau sebagai transit fund. Yang gawat, kata dia, bila penempatan dana di deposito untuk investasi. Tapi, setelah dicek, sebagian deposito Jamsostek yang jatuh tempo tiga bulan ke depan memang peruntukannya buat obligasi. Setumpuk deposito lain—yang jatuh temponya lebih lama—dipastikan tidak terpengaruh. ”Jadi untuk tahun ini pengaruhnya tidak signifikan.”

Per Juni lalu, Jamsostek mengelola dana Rp 71 triliun. Penempatannya: deposito 31 persen, obligasi 48 persen, dan saham 16 persen. Sisanya reksadana dan investasi langsung ke berbagai proyek. Memasuki semester kedua, perseroan akan menggeser satu persen jatah deposito dan saham ke instrumen surat utang. ”Mau suku bunga berubah atau tidak, ini sudah pipeline kami.”

Deposan kakap lain, PT Taspen, memilih ”diam”. Perseroan tidak akan menarik deposito. Alasannya, kata Sekretaris Korporat Faisal Rahman, jumlah deposito Taspen tidak sebesar akumulasi dana yang dihimpun. Manajemen juga menghormati keputusan pemerintah melalui kesepakatan 14 bank. ”Taspen bagian dari sistem kenegaraan,” katanya.

Berdasarkan laporan keuangan 2008, perusahaan asuransi pensiun pelat merah ini mengelola dana investasi Rp 34,8 triliun. Mayoritas ditanamkan di obligasi, Rp 23,8 triliun. Alokasi untuk deposito berjangka cukup besar juga, yakni Rp 10,28 triliun. Sisanya ”disebar” ke saham, reksadana, investasi langsung, dan properti investasi.

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto tak membantah adanya pergeseran dana, kendati jumlahnya masih relatif kecil dibanding total dana pihak ketiga perbankan. Pergeseran terjadi terutama saat pemerintah menerbitkan produk retail seperti ORI atau sukuk retail. Tapi pelarian banyak dilakukan oleh deposan kecil yang nilai belanjanya Rp 500-an juta per order.

Deposan institusi besar seperti asuransi dan dana pensiun, menurut Rahmat, mungkin saja hijrah menjadi investor obligasi pemerintah agar cocok dengan keperluan pendanaannya. Mereka ini investor yang mengantongi likuiditas besar, yang mestinya menempatkan dana di instrumen jangka panjang. Karena kewajiban mereka sebagian besar berjangka panjang, aset juga harus sinergis untuk menekan gap.

Rahmat optimistis pergeseran dana tidak akan mempengaruhi likuiditas perbankan. Sebab, nilai yang diserap cuma satu persen dari total dana pihak ketiga per tahun. Pemerintah pernah meminta bank sentral melakukan stressed test soal ini. Kesimpulannya, tidak ada pengaruh jika perpindahan dana hanya satu persen. ”Jadi tidak ada alasan bagi bank untuk komplain bahwa surat berharga negara menyedot likuiditas perbankan.”

Menurut Budi Susanto, pergeseran modal ke obligasi negara tidak akan membuat perbankan waswas sepanjang belanja pemerintah lancar jaya. Sebab, dana bisa berputar lagi di dalam sistem finansial. Sebaliknya, bila belanja telat, duit cuma ngendon di brankas Bank Indonesia. Ini yang mestinya dijaga pemerintah. Jangan sampai perbankan sibuk menempatkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia. Pemerintah pun cuma menahan duitnya di Bank Indonesia.

Retno Sulistyowati, Bunga Manggiasih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus