Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lalu Jadi Macan Ompong

Komisi Pemberantasan Korupsi bakal tak lagi leluasa menyadap perkara korupsi. Kewenangan penuntutan Komisi juga dicabut. Pemberantasan korupsi terancam.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HILANG sudah kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani perkara perkara korupsi. Forum lobi Panitia Kerja (Panja)­ Rancang­an Undang Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pemerintah, yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Jaksa Agung, Senin lalu, menyepakati dicabutnya kewenangan penuntutan dari tangan KPK.

”Pasal 1 angka 4 RUU Pengadilan Tipikor sudah pasti, penuntutan hanya dilakukan kejaksaan,” tutur salah satu peserta forum kepada Tempo. Kesepakatan ini, menurut dia, berarti kewenangan KPK hanya sebagai penyidik. Adapun penuntutan sepenuhnya ”hak” Kejaksaan Agung. ”Sesuai dengan keinginan kejaksaan dan pemerintah,” ujar sumber itu.

Kesepakatan itu tidak ditelurkan dengan suara bulat. Setidaknya ada tiga fraksi yang bertahan agar KPK tetap punya kewenangan penuntutan. Mereka adalah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Bintang Reformasi, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. ”Mereka melobi untuk menjaga kekuatan KPK,” katanya.

Forum lobi yang berlangsung selama tiga jam sejak pukul 14.00 ini pun berlangsung riuh. ”Cukup panas, suasana rapat terasa dipaksakan,” ucap peserta lainnya.

Di awal rapat, kata dia, Ketua Panitia Kerja Arbab Paproeka sudah mengklaim seluruh fraksi setuju kewenangan penuntutan KPK dicabut, penyadapan harus seizin pengadilan dulu, dan komposisi hakim ad hoc karier Pengadilan Tipikor ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. ”Karena semua fraksi diklaim sudah setuju, pemerintah pun langsung setuju,” paparnya.

Walhasil, silang pendapat di antara anggota Panitia Kerja yang tidak setuju dan setuju, termasuk adu argumen dengan pemerintah, tidak ada artinya. ”Sekarang KPK bak macam ompong,” kata peserta ini. Begitu RUU Pengadilan Tipikor ini disahkan Presiden, menurut dia, mulai saat itu pula KPK tidak bisa lagi melakukan penuntutan.

Seusai forum lobi, baik Arbab, Jaksa Agung Hendarman Supandji, maupun Menteri Hukum dan HAM Andi Ma­ttalata tak ada yang bersedia memberikan paparan. ”Belum diputuskan,” kata Arbab. Dia hanya menjelaskan bahwa forum membahas tiga hal tersebut di atas.

l l l

RANCANGAN Undang Undang Pengadilan Tipikor dibuat sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pengadilan Tipikor harus didasarkan atas undang undang tersendiri tidak diatur oleh Undang Undang KPK. Mahkamah meminta Dewan Perwakilan Rakyat menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor sebelum 19 Desember 2009. Adapun masa kerja DPR Periode 2004 2009 ini berakhir 30 September mendatang. Artinya, Panitia Kerja dan Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor hanya punya waktu sedikitnya tujuh hari kerja lagi.

Pembahasan RUU ini telah menelurkan 219 butir daftar isian masalah. Menurut Nursyahbani Katjasungkana dari Fraksi PKB, soal pencabutan kewenangan penuntutan dan penyadapan KPK tidak masuk daftar yang disepakati Panitia Kerja bersama pemerintah. ”Makanya saya mempertanyakan itu,” tuturnya.

Kepada Tempo, Arbab membenarkan dua soal itu memang tidak masuk daftar masalah. Tapi telah disepakati di awal bersama pemerintah, daftar itu bersifat fleksibel. ”Kalau di tengah jalan ada yang perlu diselaraskan, ya kami buka pembahasan,” ucapnya.

Dia juga tidak membantah jika dikatakan kedua usul itu datang dari panitia yang dipimpinnya. Menurut dia, usul itu tidak bermaksud mengebiri KPK. Panitia hanya ingin menata kembali peraturan perundang undangan yang ada agar tidak berten­tangan satu sama lain. ”Menurut UU Kejaksaan kan penuntut umum itu cuma satu, kejaksaan,” kata Arbab, yang berprofesi sebagai pengacara sebelum masuk parlemen. Apabila KPK melakukan penuntutan juga, menurut dia, berten­tangan dengan amanah putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang ada­nya dualis­me sistem peradilan.

Sumber Tempo mengungkapkan awalnya pemerintah tidak setuju dengan usul Panitia Kerja itu. Tapi sikap itu berubah setelah Menteri Andi sendiri yang ikut rapat. Jaksa Agung pun, menurut sumber ini, berkeinginan hak penuntutan hanya pada kejaksaan.

Usul Panitia Kerja mendapat dukungan dari Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan harus berdiri tegak. Dan itu, menurut dia, tidak berarti pemberantasan korupsi menjadi lemah. ”Justru akan lebih kuat,” ucap Hendarman.

Adapun menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, RUU Pengadilan Tipikor itu intinya memberi kemudahan juga kepada polisi dan kejaksaan. ”Bukan cuma KPK,” katanya tanpa memerinci kemudahan yang dimaksud.

”Kesepakatan” forum lobi yang mengebiri kewenangan KPK itu langsung mendapat reaksi dari sejumlah elemen masyarakat. Dewan Penasihat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Da­nang Tri Sasongko menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 53 Undang Undang KPK hanya mempermasalahkan soal pengadilan. ”Sama sekali tidak menyentuh KPK,” katanya saat menyampaikan petisi Masyarakat Peduli Pengadilan Tipikor yang menolak di­setujuinya RUU Pengadilan Tipikor kepada Ketua DPR Agung Laksono, Senin lalu.

Penggagas Masyarakat Peduli Pengadilan Tipikor, Todung Mulya Lubis, menilai pembahasan RUU Pengadilan Tipikor itu telah meninggalkan semangat reformasi pemberantasan korupsi. ”Panja lupa semangat kita saat membentuk KPK,” tutur pengacara kawakan yang juga Ketua Dewan Eksekutif Transparency International Indonesia ini.

Dia menegaskan, dulu KPK dibentuk karena ketidakpercayaan publik pada institusi polisi dan jaksa. Kondisi itu belum berubah hingga kini. Nah, mengembalikan kewenangan penuntutan sepenuhnya kepada kejaksaan, menurut dia, bisa dilakukan kalau kondisi sudah normal. ”Sekarang kan belum,” tutur Todung.

Pendapat Todung didukung Saur Siagian. Sebagai pengacara, Saur mengaku masih merasakan adanya mafia peradilan dalam lembaga polisi ataupun jaksa. ”Jual beli kasus masih terjadi,” ucapnya.

Menurut Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, ada tiga pihak yang berhasrat menggunting kewenangan KPK melalui RUU Pengadilan Tipikor ini. ”Pertama adalah anggota Dewan yang berlatar belakang pengacara,” katanya. Mereka ini, menurut dia, ingin mengamankan lingkungan profesi mereka dengan membuat KPK dan Pengadilan Tipikor tidak terlalu kuat. ”Kedua, kejaksaan,” ujar Emerson. ”Ketiga, anggota parlemen atau pribadi pribadi yang sakit hati dan terancam oleh KPK.”

Emerson yakin RUU Pengadilan Tipikor akan disetujui dengan sejumlah penyimpangan. Komposisi hakim Pengadilan Tipikor yang akan ditentukan Ketua Pengadilan Negeri, misalnya, hanya akan membuat perkara bisa diatur. ”Akan ada pesanan hakim yang dianggap bisa membebaskan terdakwa,” ujarnya. Dia menegaskan komposisi tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier adalah komposisi hakim yang sudah ideal.

Emerson memastikan bersama elemen masyarakat yang mendukung pemberantasan korupsi akan siap melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi sejumlah penyimpangan itu. ”Kalau diam saja, upaya pemberantasan korupsi mandek,” dia menegaskan.

Anne L. Handayani, Anton Aprianto, Iqbal Muhtarom, Eko Ari Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus