Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>KRISIS GLOBAL</font><br />Lokomotif Dunia Bernama Cina

Setahun setelah krisis finansial, perekonomian dunia mulai membaik. Bergantung pada peningkatan tingkat konsumsi di Cina.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WORLD Economic Forum di Davos, Swiss, akhir Januari lalu. Perdana Menteri Cina Wen Jiabao mencanangkan ambisinya: pertumbuhan ekonomi Cina akan mencapai 8 persen pada akhir tahun ini. Mendadak para pemimpin dunia dan pakar ekonomi terkejut. Mereka skeptis pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu ini akan terbang setinggi langit, lantaran pertumbuhan ekonomi global diperkirakan masih akan minus 0,5-1,5 persen.

Kini, delapan bulan kemudian, World Economic Forum menggelar pertemuan lanjutan Summer Davos dengan tajuk ”Relaunching Growth” di Dalian, Liaoning, Cina, pada 10-12 September lalu. Forum ini dihadiri 1.500 pemimpin negara maju dan berkembang, pebisnis, dan pakar ekonomi. Berbalik 180 derajat dibanding di Davos, para peserta justru meminta Cina lebih berperan dalam perekonomian dunia dan dalam meredam krisis global.

Para pengkritik Jiabao terkesima pada perekonomian negeri itu. Pertumbuhan ekonomi Cina pada kuartal kedua mencapai 7,9 persen, naik dibanding kuartal pertama sebesar 6,1 persen. Produk domestik bruto 8 persen hanya sejengkal lagi tercapai pada akhir 2009. Inilah pertumbuhan ekonomi tertinggi di saat banyak negara maju masih berkutat pada pertumbuhan ekonomi yang negatif. Itu sebabnya Cina harus lebih banyak berperan dalam perekonomian baru pascakrisis.

Selama beberapa dekade, Amerika Serikat selalu menjadi lokomotif perekonomian global. Konsumen di negeri Abang Sam (AS) menjadi andalan produsen dari berbagai negara di dunia, termasuk dari Cina. Tapi krisis menghumbalangkan perekonomian negeri itu. Kini Amerika Serikat sulit menjadi gerbong penarik perekonomian dunia, setidaknya untuk tahun ini dan tahun depan.

Sampai kini perekonomian negeri adidaya itu masih belum menentu. Memang, tanda-tanda perekonomian Amerika bangkit dari krisis sudah mulai terlihat. Produk domestik bruto, meski belum positif, persentase penurunannya pada kuartal kedua tahun ini mulai mengecil, cuma 1 persen. Padahal kuartal sebelumnya terkoreksi hingga 6,4 persen. Tapi tingkat pengangguran masih tinggi, 9,7 persen pada Agustus lalu. Tahun depan pertumbuhan ekonominya ditaksir hanya 2,4 persen.

Jerman dan Prancis sudah lebih baik. Pada kuartal kedua lalu, kedua negara ini melaporkan pertumbuhan ekonomi 0,3 persen. Kuartal sebelumnya pertumbuhan ekonomi Prancis minus 1,3 persen dan Jerman bahkan lebih buruk, turun 3,5 persen. Mengandalkan negara di kawasan Uni Eropa mendorong ekonomi global rasanya juga mustahil.

Tak mengherankan jika Menteri Perdagangan Inggris Peter Mandelson mendesak Cina menunjukkan kepemimpinannya menyelesaikan resesi global. Kesengsaraan ekonomi dunia, katanya, akan sulit terpecahkan, kecuali Cina berperan lebih besar. Cina juga bisa membantu mendorong aktifnya kembali Putaran Doha untuk memperluas liberalisasi perdagangan di bawah Organisasi Perdagangan Dunia, kata Mandelson pekan lalu di Beijing, Cina.

Pendiri dan Kepala Eksekutif World Economic Forum, Klaus Schwab, sependapat dengan Mandelson. Menurut Schwab, negara Barat—Eropa dan Amerika Serikat—mempunyai problem beban utang dan menghadapi ancaman tekanan inflasi. Tapi Cina, kata dia, ”Memiliki situasi nyaman karena pertumbuhan dan cadangan devisa negeri ini cukup kuat untuk menangani masalah yang ada.” Cina, katanya, akan mencapai target pertumbuhannya dan lebih baik dibanding negara lain, bahkan tercepat keluar dari krisis.

l l l

Sejak krisis finansial mendera Amerika Serikat pada September 2008 dan memicu resesi global, Cina sebenarnya juga menderita. Ekspor Cina ke Amerika dan Eropa terpukul hebat. Produk domestik bruto Cina melorot menjadi 9 persen, terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Tapi, di tengah tekanan resesi global, Cina bisa bertahan lebih baik ketimbang negara lain. Solidnya ekonomi negeri ini tak lepas dari paket stimulus pemerintah Cina sejak November lalu. Jumlahnya sekitar 4 triliun yuan atau US$ 585 miliar (sekitar Rp 5.850 triliun atau 80 kali paket stimulus pemerintah Indonesia). Sebagian besar dana itu digelontorkan buat investasi pemerintah.

Tiga perempat dari belanja pemerintah dicurahkan untuk infrastruktur. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan rel kereta dan jalan mencapai dua kali lipat selama setahun terakhir. Proyek-proyek baru itu membuka lapangan kerja bagi buruh migran yang terkena pemutusan kerja akibat loyonya ekspor. Cina juga menggelontorkan kredit melalui perbankan. Lalu bank menyalurkannya ke berbagai sektor industri, seperti pabrik besi baja. Upaya itu berbuah manis. Hasilnya, pertumbuhan kuartal kedua sebesar 7,9 persen, dan boleh jadi 8 persen di akhir tahun.

Menurut Wang Xiaoguang, direktur divisi makroekonomi dari Institute of Economic Research, National Development and Reform Commission, target pertumbuhan ekonomi 8 persen pasti bisa tercapai. Tapi, pertanyaannya, mampukah Cina mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dua atau tiga tahun mendatang, pada saat program stimulus dan restrukturisasi ekonomi berakhir. ”Seharusnya pertumbuhan saat itu mampu kembali ke level sebelum krisis terjadi,” ujarnya. Selama 2003-2007, ekonomi sang Naga mampu tumbuh di atas 10 persen.

Demi mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan, menurut Gao Huiqing, profesor dari Pusat Informasi Negara, National Development and Reform Commission, pemerintah Cina harus berusaha keras mendorong pengeluaran untuk kesejahteraan sosial dan jaminan kesehatan. Tujuannya agar masyarakat dan sektor swasta bisa membelanjakan uangnya lebih banyak.

Jumlah penduduk Cina terbesar di dunia. Namun tingkat pengeluaran konsumsinya relatif rendah, sekitar 36 persen, setengah dari Amerika Serikat dan dua pertiga dari Eropa dan Jepang. Bahkan proporsi sumbangan pengeluaran konsumsi Cina terhadap produk domestik brutonya paling rendah di dunia. Walaupun pertumbuhan ekonominya sangat kuat, kontribusi pengeluaran konsumsi penduduk Cina dan sektor swastanya telah menurun hampir 15 persen sejak 1990.

Pemerintah Cina telah mendorong agar pengeluaran konsumsi masyarakat meningkat sebagai upaya untuk menyeimbangkan sumber pertumbuhan ekonomi dari investasi atau belanja pemerintah. Masalahnya, menggeser perilaku ini tidak mudah. Rumah tangga di Cina rata-rata menabung 25 persen dari pendapatan, sekitar enam kali tingkat tabungan di Amerika Serikat dan tiga kali tingkat tabungan di Jepang. Tingkat tabungan di Cina bahkan 15 persen lebih tinggi dari rata-rata tertimbang produk domestik bruto di Asia. Masyarakat Cina memang terbiasa berhemat dan enggan menghabiskan uang lebih banyak untuk konsumsi. Penyebabnya, negara komunis ini tidak memberikan secara memadai perawatan kesehatan dan pensiun.

Para pakar percaya, bila upaya menggenjot pengeluaran konsumsi masyarakat terhadap produk domestik bruto berhasil, dampaknya tidak hanya penting untuk Cina, tetapi juga kelanjutan pemulihan ekonomi dunia. Tingginya tabungan saat pelemahan ekonomi memang bisa menolong. Tapi, ujar Gao, ”Saat perekonomian kembali normal, besarnya tingkat tabungan akan menimbulkan masalah.”

Wen Jiabao sepakat dengan pendapat ini. Dalam jangka panjang, kata dia, sebuah negara harus bisa meningkatkan proporsi konsumsi domestik terhadap produk domestik bruto. Caranya, meningkatkan kesejahteraan penduduk di desa dan perkotaan, mendorong ekspektasi konsumen dan keinginan masyarakat untuk memperbesar pengeluaran. Langkah itu akan diselaraskan dengan peningkatan belanja pemerintah.

Dia memberikan isyarat akan menggenjot pengeluaran yang belum pernah terjadi agar pemulihan ekonomi Cina berjalan dengan baik. ”Pemulihan ekonomi Cina belum stabil,” ujarnya tatkala menyampaikan pidatonya di Summer Davos itu. Masalahnya, dia menambahkan, ”Kami tidak bisa mengubah arah kebijakan jika kondisinya tidak memadai.” Jadi, dunia memang masih harus menunggu gebrakan baru dari negeri ini.

Padjar Iswara (China Daily, Xinhua, Time, Newsweek, Bloomberg)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus