Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI markas besarnya di Roma, Italia, Badan Pangan Dunia (FAO) mengingatkan ancaman krisis pangan, Jumat dua pekan lalu. Dibanding tiga tahun lalu, krisis pangan kali ini diprediksi akan jauh lebih parah.
FAO menyebutkan produksi gandum, beras, jagung, dan biji-bijian kasar lainnya akan menurun sekitar 5,8 persen akibat perubahan cuaca ekstrem. ”Selisih antara pasokan dan permintaan semakin tidak seimbang,” kata Hiroyuki Konuma, perwakilan regional FAO untuk Asia dan Pasifik, kepada kantor berita Reuters.
Sampai saat ini, harga gandum sudah naik sekitar 50 persen. Harga beras Siam, pada akhir Desember lalu, telah menembus US$ 566 per ton, naik lima persen dibanding bulan sebelumnya. Harga gula, daging, dan minyak nabati naik rata-rata 25 persen. Akibat banjir besar di Australia dan Brasil, harga pangan dunia berpotensi terus melambung.
Ancaman krisis pangan ini mengkhawatirkan banyak negara. Pemerintah India resah lantaran harga bawang, tomat, dan minyak goreng membubung tinggi. Di Tunisia, tak terkendalinya harga pangan membuat pemerintahan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali terjungkal. Kini ancaman yang sama menghantui Aljazair.
Untuk mengantisipasi krisis pangan, Vietnam dan Thailand, produsen utama beras dunia, telah mengurangi kuota ekspornya ke sejumlah negara. Mereka mengamankan pasokan dalam negeri mereka.
Ancaman krisis pangan juga membuat pemerintah Indonesia ketar-ketir. Terlebih lagi, sejak pertengahan tahun sampai awal Januari ini hujan tak kunjung berhenti. Di sejumlah sentra produksi padi, hama wereng cokelat dan tikus mulai menyerang.
Akibatnya, surplus produksi padi turun dari 4,1 juta ton pada 2008-2009 menjadi 2,2 juta ton pada 2009-2010. ”Indikator kerawanan pangan sudah jelas,” kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi kepada Tempo.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo ikut-ikutan waswas. Menurut Agus, melambungnya harga pangan dunia bisa membahayakan Indonesia, terutama bila negara produsen pangan menghentikan ekspornya.
Dalam rapat koordinasi pangan, dua pekan lalu, pemerintah merancang beberapa aturan mengantisipasi dampak cuaca ekstrem. Di antaranya, kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, aturan subsidi benih, pembagian pupuk, dan area pertanaman.
Dana cadangan pangan juga disiapkan masing-masing Rp 1 triliun untuk stabilisasi harga dan Rp 5 triliun untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. ”Draf instruksi presidennya rampung bulan ini,” katanya pekan lalu.
Pemerintah pun membebaskan bea masuk impor 30 komoditas pangan, termasuk beras. Impor beras sekarang tak dikenai bea masuk sama sekali, agar beras impor yang dibeli Bulog tak terlalu mahal. ”Beras impor ini untuk stabilisasi harga,” kata Hatta.
Menurut Direktur Utama Bulog Soetarto Alimoeso, pembebasan bea masuk impor lumayan manjur menurunkan harga beras impor di pasar, dan mengurangi beban subsidi negara. ”Juga untuk memperlancar operasi pasar, karena kenaikan harga beras sudah di atas dua puluh persen,” ujarnya.
Toh, pembebasan bea masuk impor dinilai belum cukup. Sampai saat ini, Bulog masih kedodoran memenuhi stoknya, lantaran belum optimal menyerap beras petani. Maklum saja, harga beras di petani kini sudah di atas Rp 5.060 per kilogram. Padahal, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7/2009, Bulog dilarang membeli beras petani di atas harga patokan.
Menurut sumber Tempo, dalam serangkaian rapat koordinasi pangan, Bulog meminta diizinkan membeli beras petani di atas harga patokan. Syarat kualitas beras juga diminta diturunkan. ”Kami butuh payung hukum agar Bulog bisa menjadi stabilisator harga pangan,” ujar Soetarto.
Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo