Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdagangan saham sesi pagi belum dimulai. Puluhan investor sudah memenuhi galeri perdagangan PT Mandiri Sekuritas di Gedung Bank Mandiri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis pekan lalu. Menyesaki meja-kursi di ruangan, dengan raut muka tak sabar, mereka begitu bersemangat hendak bertransaksi jual-beli saham di Bursa Efek Indonesia.
Pasar saham Jakarta memang sedang ”panas”. Sepanjang pekan lalu, lalu lintas jual-beli saham unggulan dan lapis kedua masif dan marak. Indeks harga saham gabungan terus melambung. Bahkan, Kamis pekan lalu, indeks saham mampu menembus level 2.900,530, sebuah rekor baru dalam sejarah bursa nasional. Aksi ambil keuntungan di akhir pekan membuat indeks saham turun tipis ke level 2.878,67.
Demam di Bursa Efek Indonesia memang sudah terjadi sejak awal tahun. Tren harga saham terus naik alias bullish. Kuartal pertama tahun ini, indeks saham nasional melonjak sekitar 10 persen. ”Itu tak lepas dari derasnya dana investor asing yang masuk ke bursa efek,” kata Erwan Teguh, analis CIMB-GK Securities Indonesia, di Jakarta pekan lalu.
Pembelian bersih (net buying) investor asing selama kuartal pertama 2010 mencapai Rp 3,34 triliun. Dua pekan pertama April ini, nilai borong bersih investor asing sudah menembus Rp 1,5 triliun. Sebaliknya, pada periode yang sama, investor lokal melakukan aksi jual bersih senilai Rp 6,2 triliun.
Melambungnya harga saham tentu membuat investor bersukacita. Nilai aset mereka bertambah. Tapi jangan terjebak euforia. Ada alarm peringatan dari Kebon Sirih, sebutan bagi Bank Indonesia. Harga saham yang sekarang berjaya tidak mustahil turun atau bahkan terjun bebas. ”Investor mesti waspada,” kata Direktur Riset Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Bank Indonesia, kata Perry, telah meneliti perilaku saham di Bursa Efek Indonesia. Metodenya: regresi perge rakan harga saham terhadap perge rakan laba bersih sekarang dan di masa depan. Beberapa indikator makro, seperti inflasi, nilai tukar, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, masuk perhitungan. Begitu pula indikator mi kro seperti keuntungan saat ini dan masa mendatang serta volume perdagangan saham.
Hasil riset Bank Indonesia, kata Perry, menunjukkan harga saham aktual cenderung melebihi harga fundamental. Harga saham perusahaan publik di pasar saham Jakarta melebihi nilai kinerja atau fundamental perusahaan tersebut. ”Ada tendensi overvaluasi,” ujarnya di Jakarta pekan lalu.
Berdasarkan literatur, Perry melanjutkan, overvaluasi harga saham hampir sama dengan penggelembungan harga (asset price bubble). Tapi gelembung-gelembung di pasar saham ini tak selalu berkonotasi negatif, tergantung kondisi bubble itu sendiri. ”Apakah sudah mengkhawatirkan? Bisa pecah atau tidak?” kata Perry.
Menyimak perkembangan beberapa tahun terakhir, menurut Perry, kondisi gelembung di pasar saham nasional sudah menyusut dan tidak berle bihan. Rentang harga saham aktual yang melebihi harga saham fundamentalnya sudah makin mengecil.
Gelembung harga saham pernah mencapai puncaknya pada Desember tahun lalu. Saat itu, rasio harga saham dengan laba bersih perusahaan price earning ratio (rasio P/E) tercatat 28,1 kali. Angka ini melebihi rerata tahun 2009, sebesar 23,8 kali, atau rerata tiga tahun terakhir, yang cuma 17 kali.
Bubble di bulan April, menurut Perry, masih wajar karena harga fundamental saham meningkat mengikuti ke naikan harga saham aktual. ”Jadi ren tangnya makin mengecil,” katanya. Bakal berbahaya bila nilai fundamental tetap stagnan, sementara harga saham di pasar terus melambung.
Kenaikan harga aset finansial pun wajar terjadi lantaran investor selalu memperhitungkan kondisi di masa mendatang. Melonjaknya harga saham aktual juga masuk akal karena kondisi perekonomian Indonesia diyakini membaik. Pertumbuhan ekonomi 2010 diharapkan 5,6 persen dan inflasi sekitar 5 persen. Tahun depan, pertumbuh an ekonomi Indonesia diyakini akan lebih baik lagi.
Meski begitu, Perry mengingatkan, investor saham jangan terlalu reaktif dan irasional karena harga saham sudah overvaluasi. ”Jangan berspekulasi. Umpamanya dengan berasumsi pertumbuhan tahun ini akan tujuh persen,” katanya.
Derasnya dana investor asing ke Indonesia tak hanya di lantai saham, tapi juga masuk ke instrumen Sertifikat Bank Indonesia dan pasar surat utang negara. Sampai 9 April lalu, duit asing yang tersimpan di Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 71,8 triliun, me lonjak dari akhir Maret lalu Rp 63,1 triliun. Duit asing yang tersimpan di surat utang negara mencapai Rp 139,68 triliun, meningkat Rp 30 triliun selama hampir empat bulan (lihat ”Seksi di Global, Sepi di Lokal”).
Sejak akhir tahun lalu, Kebon Sirih terus mengamati pergerakan arus dana asing ke Tanah Air. Bank sentral juga telah membuat kajian komprehensif atas dana-dana jumbo itu. Munculnya kata bubble dalam kajian arus dana itu sempat disalahtafsirkan para investor asing. Mereka menduga Bank Indonesia akan membatasi dana asing. Salah satu media asing bahkan menyebutkan Bank Indonesia akan melakukan kontrol devisa.
Sontak saja beberapa bank investasi asing kalang-kabut. Bank Indonesia kebanjiran pertanyaan dari pengelola dana papan atas, seperti JP Morgan dan CLSA. Kepanikan baru reda setelah Budi Mulya, Deputi Gubernur Bank Indonesia, membantah adanya rencana penerapan kontrol devisa.
Perry juga kebanjiran pertanyaan, terutama dari investor asing. Konferensi jarak jauh digelar. ”Kami menegaskan tidak ada rencana Bank Indonesia menerapkan kontrol devisa,” katanya. Bank Indonesia, menurut Perry, hanya menghadapi banjir dana asing dengan mengelola SBI rate dan intervensi valuta asing.
Investor lokal juga bereaksi akan adanya gelembung di pasar saham dan pasar uang. ”Meskipun tak seheboh investor asing,” kata Anton Gunawan. Kepala Ekonom Bank Danamon ini menghindari istilah bubble karena termino logi itu biasanya dipakai bila kenaikan harga saham tidak didukung kenaikan kinerja fundamental perusahaan. Anton lebih suka menggunakan terminologi overvaluasi alias kemahalan.
Harga saham yang sudah kemahalan, kata Anton, bisa diukur dari rasionya terhadap laba bersih perusahaan tahun ini. Sejauh ini, rasio P/E saham di Bursa Efek Indonesia telah mencapai 20 kali. Adapun bila diukur dengan menggunakan prospek laba bersih tahun depan dan tahun berikutnya, rasio P/E saham di Jakarta sekitar 17 kali. Nilai rasio itu di atas rata-rata tahun sebelumnya 13 kali. ”Itu artinya harga saham di Indonesia memang sudah kemahalan,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Erwan sepakat dengan Anton. Dia menilai belum ada gelembung yang berbahaya di pasar saham Indonesia. Sebab, gelembung disektor ekonomi biasanya didahului penyaluran kredit atau dana yang berlebihan ke suatu negara. Erwan belum melihat hal ini terjadi di Indonesia. Erwan juga membenarkan bahwa rasio P/E saham di Tanah Air sudah cukup tinggi, yakni 15 kali. ”Harga saham di Jakarta sudah tidak murah lagi,” katanya.
Bukan hanya soal harga saham yang sudah kemahalan. Nico Omer Jonckheere, analis dari Valbury Securities Indonesia, mengingatkan investor supaya mewaspadai kondisi global, terutama pada semester kedua nanti. ”Tanda-tanda munculnya krisis kredit kedua di Eropa sudah terlihat,” katanya.
Suara lain datang dari Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute. Menurut dia, saham di Jakarta masih relatif murah bila memperhitungkan proyeksi membaik nya perekonomian Indonesia dua-tiga tahun ke depan.
Purbaya Yudhi tidak risau terhadap membanjirnya dana asing. ”Memang ini hal yang harus diwaspadai, tapi tak perlu sampai ada kebijakan kontraproduktif,” kata Yudhi. Syaratnya, pemerintah dan Bank Indonesia menjaga momentum kebijakan fiskal dan moneter. Momentum yang terjaga, Yudhi yakin, bakal membuat banjir dana asing menjadi berkah.
Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo