Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<Font size=2 color=#FF0000>Surat Berharga</font><br />Seksi di Global, Sepi di Lokal

Permintaan pasar terhadap surat berharga negara membeludak. Investor asing memburu. Pemain lokal menahan diri.

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAGANGAN pemerintah laris manis. Lima seri surat berharga syariah negara alias sukuk ludes dalam lelang yang digelar Selasa pekan lalu. Permintaan mencapai Rp 2,356 triliun. Toh, Kementerian Keuangan hanya menyerap Rp 925 miliar, sedikit di bawah target rencana indikatif sebesar satu triliun rupiah.

Bank Mandiri, menurut Direktur Treasury and Internasional Thomas Arifin, kecipratan Rp 147 miliar atau 17,7 persen dari total nilai yang dimenangi pemerintah. Mandiri bertindak sebagai primary dealer alias agen penjual utama bersama sebelas bank lain dan empat perusahaan efek.

Bank Central Asia sebenarnya juga mengajukan tawaran. Malah nilainya lebih besar, sekitar Rp 500 miliar. Namun, "Kami enggak mendapat semua," kata Branko Windoe, Kepala Keuangan BCA, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Bank yang rajin mengikuti lelang surat utang negara ini menawar sukuk seri IFR 0003 bertenor lima tahun.

Pekan lalu, pemerintah membanjiri pasar dengan lima seri sukuk. Empat seri lama ditawarkan kembali, yakni IFR 0003 (bertenor 5 tahun), IFR 0005 (7 tahun), IFR 0006 (20 tahun), dan IFR 0007 (15 tahun). Ada juga seri baru IFR 0008 dengan tenor sepuluh tahun.

Lelang terakhir menunjukkan sukuk berjangka lima tahun paling diminati. Penawaran yang masuk tercatat Rp 1,08 triliun dengan permintaan imbal hasil 9,5-8,22 persen. Namun pemerintah cuma menyerap Rp 150 miliar dengan yield rata-rata tertimbang 8,31 persen. "Selisih 10 basis point dari penawaran yang kami ajukan," kata Branko.

Membeludaknya permintaan pasar terhadap sukuk sebetulnya telah diperkirakan para analis. "Yang luar biasa, kepemilikan asing di obligasi negara melaju pesat," kata Head of Debt Research Danareksa Sekuritas Budi Susanto. Pada awal tahun tercatat Rp 108 tri liun. Eh, per Rabu pekan lalu sudah mencapai Rp 139,68 triliun, meningkat Rp 30 triliun lebih dalam tempo hampir empat bulan.

Likuiditas global memang sedang meluber. Bank sentral Amerika Serikat, misalnya, menambah suplai uang. Tapi penyaluran kredit untuk nasabah masih cupet. Perbandingan antara pertumbuhan likuiditas dan uang beredar di domestik rendah, malah cenderung terus turun. "Nah, uangnya ke mana?" kata Budi. "'Dilarikan' ke luar negeri."

Tempat singgah paling menarik adalah Asia, termasuk Indonesia, yang perekonomiannya tumbuh bagus dan inflasinya terkendali. "Itu sebabnya obli gasi pemerintah dalam mata uang do lar, rupiah, ataupun yang berbasis syariah ramai diburu," kata Budi.

Lain halnya pemain lokal. Investor jenis ini justru mengambil posisi " tahan" alias tak membeli. "Lagi mahal," kata Budi. "Imbal hasilnya kurang menarik." Ini bila dibandingkan dengan return saham, obligasi korporasi, dan deposito.

Kebetulan, saat ini bond korporasi tengah marak. Beberapa bank pelat merah, juga swasta, berencana menerbitkan obligasi subordinasi paruh pertama tahun ini. Ada yang menawarkan kupon di atas 11 persen. Jadi, rekomendasi Budi, "Obligasi asing ambil, yang domestik jual saja."

Berhubung imbal hasil yang kurang seksi, sejumlah pelanggan surat utang negara tidak lagi ambil posisi pada lelang sukuk pekan lalu. Dana Pensiun Tel kom, misalnya, termasuk yang tidak terpikat sukuk. "Yield di bawah 10 persen," kata Direktur Keuangan PT Jasindo Solihah, yang juga tidak memesan. Apalagi untuk jangka waktu di atas 10 tahun.

Toh, pemerintah tetap pede, terutama karena dagangan selalu ludes. Pada lelang 30 Maret lalu, misalnya, penawaran masuk Rp 1,687 triliun, diambil Rp 620 miliar. Begitu pula penjualan sebelumnya, 9 Maret, masuk Rp 1,874 triliun dan diserap Rp 999 miliar. Keputusan penyerapan lelang, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyan to, berdasarkan patokan harga wajar yang ditetapkan pemerintah. "Tawaran di atas patokan ditolak."

Rahmat menambahkan, larisnya obli gasi menandakan investor asing cukup yakin atas prospek fundamental ekonomi jangka panjang Indonesia. Berbagai indikator menopang keyakinan ini, antara lain kenaikan peringkat kredit dari Mood's, Fitch, dan S&P serta turunnya peringkat risiko Indonesia versi Organisation for Economic Co-operation and Development. Bagi dunia, Indonesia masih kinclong.

Retno Sulistyowati


Kepemilikan Surat Berharga Negara (Triliun Rupiah)

Bank(236,76)
Asing (139,68)
Asuransi (76,50)
Reksa dana (44,95)
Dana pensiun(37,18)
Sekuritas (0,35)

Sumber: Kementerian Keuangan, data per 14 April 2010

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus