Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYUKRI, petani Desa Kampung Baru, Kecamatan Batulappa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, heran harga kakaonya turun. Tahun lalu, tengkulak membeli kakao setengah kering Rp 7.000 8.000. Kini mereka menghargai kakaonya Rp 5.000 seliter. "Kami hanya bisa pasrah," katanya Selasa pekan lalu.
Salah satu tengkulak, Edi, mengaku tidak bisa berbuat banyak. Harga beli kakao turun karena pengusaha besar di Pinrang hanya mau membeli dengan harga Rp 10 11 ribu dari semula Rp 12 14 ribu per liter. Harga kakao di Sulawesi Tengah juga jatuh dari Rp 22 ribu menjadi Rp 15 ribu. Jika semula petani bisa mendapat untung bersih Rp 5.000 6.000, "Kini harus jual rugi," ujar Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) Sulawesi Tengah Hasanudin.
Anjloknya harga jual biji kakao ini ditengarai akibat kebijakan pemerintah memungut bea keluar hingga 15 persen sejak 1 April lalu. Para pembeli biji kakao, yang mayoritas eksportir, tak mau menanggung sendiri bea itu. Beban itu pun akhirnya ditanggung petani. Ditambah turunnya produksi akibat hama, kondisi petani makin mengenaskan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar disebutkan biji kakao yang diekspor dikenai bea keluar progresif sesuai dengan harga rata rata di bursa New York Board of Trade. Tujuannya: menjamin ketersediaan bahan baku serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri pengolahan kakao lokal.
Kontan, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia Halim Abdul Razak meradang. Asosiasi yang juga mewadahi para eksportir ini menuding aturan itu hasil konspirasi pemerintah dan industri. Asosiasinya tak pernah dilibatkan dalam perumusan beleid itu. Tambahan lagi, aturan itu begitu cepat diterapkan. Ditandatangani 22 Maret, aturan itu sudah diberlakukan 1 April.
Akibatnya, petani kakao yang kini berjumlah 5 juta orang, pedagang, dan eksportir harus menelan rugi. Halim mencatat, kerugian pedagang dan eksportir berpotensi bisa mencapai US$ 19,6 juta (sekitar Rp 176 miliar) karena masih punya stok 70 ribu ton. Kini mereka mesti membayar bea keluar 10 persen karena harga rerata kakao di New York US$ 2.800 3.000 per ton.
Ia juga mempertanyakan latar belakang aturan itu. Menurut dia, selama ini, industri lokal tak pernah kekurangan biji kakao. Dari pasokan 550 ribu ton lebih per tahun, biji kakao yang dipakai di dalam negeri hanya 230 ribu ton. "Kalau tak ada masalah suplai bahan baku, kenapa ekspor dihambat?" kata Halim.
Tapi pemerintah memastikan aturan ini sudah melalui diskusi panjang. Selain untuk menjaga pasokan kakao, kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, ini untuk mengantisipasi lonjakan pasokan di dalam negeri jika revitalisasi kebun kakao sukses di masa nanti. Kini pasar kakao di luar negeri masih terbatas. Untuk itu, pemerintah harus mendorong diversifikasi pasar dan mendorong industri lokal.
Dengan beleid ini, kata dia, minimal industri lokal diuntungkan karena mendapat bahan baku lebih murah. Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana, kata Bayu, nantinya bisa ikut mempengaruhi harga kakao internasional. "Dengan 10 persen lebih murah, harga bisa terpengaruh," katanya. Ia juga berharap ekspor biji kakao dan produk kakao kian variatif. Tahun lalu, ekspor biji kakao US$ 1,41 miliar, tumbuh 11 persen dibanding 2008.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya sangat mendukung kebijakan tersebut. Sudah lama industri lokal terpuruk akibat kebijakan diskriminatif biji kakao. Singapura dan Malaysia saja bisa mengimpor biji kakao dari Indonesia bebas bea, sedangkan ekspor produk kakao olahan dihadang dengan bea masuk hingga 30 persen.
Walau begitu, Sindra mengaku, industri kakao tidak berkembang karena masalah infrastruktur. Mayoritas produksi biji kakao di Sulawesi tak diimbangi tingginya kapasitas produksi. Dari 15 pabrik yang ada, lima pabrik sudah mati, sementara lima lagi masih beroperasi di Jawa dan lima pabrik lainnya di Sulawesi.
Sindra, yang juga Direktur Utama PT Bumitangerang Mesindotama (BT Cocoa), yakin pungutan bea keluar ini akan meningkatkan kapasitas produksi dari 48 ribu ton menjadi 120 ribu ton per tahun. Tapi pemerintah harus menjamin ketersediaan listrik dan suku bunga kredit kompetitif. "Jangan sampai industri kakao seperti tikus yang mati di lumbung padi."
Meski begitu, tidak semua industri setuju dengan bea keluar kakao tersebut. PT Mars Symbioscience Indonesia, yang memproduksi M&M, Snickers, dan Mars, khawatir bea ini akan menimbulkan gejolak di kalangan petani. "Kebijakan ini baik bagi pabrik lokal. Tapi, dalam jangka panjang, petani akan terus tertekan," kata Presiden Direktur Mars Noel Janetski.
Pengamat pertanian Indef, Fadhil Hasan, menilai silang sengkarut kakao sudah lama berakar dari hulu hingga hilir: emohnya petani memfermentasi biji kakao, dominasi pedagang dan eksportir, serta belum efisiennya industri kakao. Ia mengingatkan, kebijakan ini akan didorong dengan pembelian kakao langsung dari petani. Dengan begitu, petani tak lagi dirugikan.
R.R. Ariyani, Rusman Paraqbueq (Pinrang)
Bea Keluar Kakao (%)
Harga Referensi* | Bea Keluar |
< US$ 2.000 | 0 |
US$ 2.000-2.750 | 5 |
US$ 2.750-3.500 | 10 |
> US$ 3.500 | 15 |
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010
*)per ton
Daya Saing Industri Kakao
Indonesia | Malaysia | Singapura | |
Kapasitas terpasang* | 300 ribu | 400 ribu | 100 ribu |
Kapasitas produksi* | 150 ribu | 330 ribu | 100 ribu |
Produksi biji kakao* | 550 ribu | 30 ribu | 0 |
Bea masuk biji kakao | 5% | 0 | 0 |
Bea masuk kakao olahan | 5% | 25-30% | 5% |
Tarif pajak | 28% | tax holiday** | 10% |
Bunga bank | 14% | 5% | 5% |
Infrastruktur | kurang | baik | baik |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo