Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Hukum Pendidikan Dihapus

MAHKAMAH Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-undang itu dinilai menimbulkan masalah baru dalam dunia pendidikan dan melanggar konstitusi.

Mahkamah menilai ketentuan yang mengharuskan semua penyelenggara pendidikan mengubah bentuk badan hukumnya menjadi badan hukum pendidikan sama saja dengan melarang bentuk perserikatan dan perkumpulan. "Asumsi pemerintah dapat secara praktis mengawasi penyelenggara pendidikan justru menguras energi," kata hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Rabu pekan lalu.

Dalam putusannya, Mahkamah juga melekatkan syarat tambahan pada Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi dasar pembentukan UU Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah menetapkan frasa "badan hukum pendidikan" dalam pasal itu harus dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan, bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.

Uji materi atas UU Badan Hukum Pendidikan diajukan sekumpulan orang dari Asosiasi Perguruan Tinggi, yayasan pendidikan, orang tua murid, dan mahasiswa. Menurut mereka, UU Badan Hukum Pendidikan dan beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memaksakan keseragaman, membuat biaya pendidikan jadi mahal, dan memungkinkan negara mengelak dari kewajiban membiayai pendidikan.

E-Voting dalam Pemilu

MAHKAMAH Konstitusi membolehkan voting elektronik dalam pelaksanaan pemilihan umum. "Atas dasar asas manfaat, Mahkamah menilai Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah konstitusional sepanjang diartikan dapat menggunakan metode e-voting," kata Ketua Mahkamah Mahfud Md., Selasa pekan lalu.

Meski begitu, Mahkamah tidak membatalkan keberadaan pasal 88 sebagai landasan hukum tata cara pemberian suara dalam pemilihan kepala daerah. "Agar tidak terjadi kekosongan hukum," ujar Mahfud. Sambil menunggu pembentukan undang-undang yang mengakomodasi cara di luar pencentangan dan pencoblosan, Mahkamah memberikan penafsiran lebih luas terhadap pasal ini.

Ada beberapa syarat. Misalnya, tidak melanggar asas luber dan jurdil. Daerah yang menetapkan metode e-voting harus sudah siap, baik dari aspek teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak, maupun kesiapan masyarakat.

Pemohon uji materi pasal 88 ini adalah Bupati Jembrana I Gede Winasa dan 20 kepala dusun di Kabupaten Jembrana. Mereka telah mempraktekkan sistem voting elektronik dengan menggunakan kartu tanda penduduk bercip atau KTP dengan sistem informasi administrasi kependudukan.

Korban Lumpur Tolak Wisata Geologi

KORBAN Lumpur Sidoarjo menolak wisata geologi sebelum PT Minarak Lapindo Jaya menuntaskan kewajibannya. "Silakan digunakan untuk apa saja, asal lahan kami dibayar lunas," kata Koordinator Korban Lumpur Lapindo asal Desa Ronokenongo, Pitanto, Selasa pekan lalu.

Menurut Pitanto, siapa pun tidak berhak menggunakan lahan tersebut, karena secara hukum masih milik warga. "Bahkan dua puluh persen uang muka yang dijanjikan masih ada yang belum dibayar," ujarnya.

Ancaman tanggul jebol dan tanah ambles juga jadi soal. Tanah di sekitar luapan lumpur ambles 20-30 sentimeter setiap bulan. Karena itu, "Perhatikan keselamatan jiwa pengunjung," kata Koordinator Korban Lumpur Lapindo Perumahan Tanggulangin Sejahtera I, Koes Sulassono.

Tersangka Baru Kasus Tiket Diplomat

KEJAKSAAN Agung menetapkan lima tersangka baru kasus dugaan penggelembungan tiket diplomat di Kementerian Luar Negeri. "Kelima tersangka dari biro perjalanan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, Kamis pekan lalu.

Marwan menyebutkan nama para tersangka dengan inisial N (Direktur Utama PT A), H (Direktur Utama PT K), T (Manajer Operasional PT P), N (Direktur Utama PT S), dan J (Manajer Operasional PT B). "Kini jumlah tersangka ada sepuluh orang," Marwan menambahkan.

Kasus ini berawal dari laporan masyarakat pada Oktober dan November tahun lalu. Modusnya, para diplomat yang dipanggil pulang dari luar negeri membeli sendiri tiket pesawat, lalu mengklaim biaya tiket (refund) ke agen perjalanan yang telah ditunjuk.

Agen perjalanan lalu mengajukan invoice (tagihan) ke biro keuangan dengan menaikkan harga tiket sekitar 25 persen dari yang dibayarkan kepada diplomat. Akibat penggelembungan berjenjang ini, dalam setahun negara diperkirakan rugi sekitar Rp 10 miliar.

Menurut Kepala Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto, tindakan Kejaksaan Agung belum berdampak signifikan, karena belum menyentuh pejabat di Kementerian Luar Negeri. "Penetapan tersangka baru itu bukan hal luar biasa," kata Agus.

Polisi Tahan Direktur Perusahaan Misbakhun

DIREKTUR Utama PT Selalang Prima Internasional Franky Ongkowidjojo ditahan penyidik Markas Besar Kepolisian RI, Senin pekan lalu. Sebelumnya, Franky ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan letter of credit (L/C) Bank Century senilai US$ 22,5 juta.

"Kami berhasil mengamankannya," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Polisi juga akan memeriksa pemilik PT Selalang, yang juga politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mukhamad Misbakhun.

Misbakhun, salah satu inisiator pembentukan Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Bank Century, merupakan pemilik 90 persen saham PT Selalang Prima. Perusahaan ini termasuk satu di antara 10 perusahaan penerima L/C Bank Century dengan total US$ 178 juta, yang kini macet pengembaliannya.

Selalang mendapat kucuran kredit US$ 22,5 juta dari Bank Century. Pengucuran kredit ke perusahaan ini dianggap janggal oleh Badan Pemeriksa Keuangan karena diberikan atas perintah langsung pemilik dan Direktur Utama Century Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim.

Berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa pada 2009, kerugian akibat kredit pembiayaan dagang itu sedikitnya US$ 172 juta atau setara dengan Rp 1,8 triliun. Kerugian inilah yang ditutup melalui penempatan modal sementara Lembaga Penjamin Simpanan ke Bank Century.

Mantan General Manager PLN Divonis 6 Tahun

PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi memvonis 6 tahun penjara mantan General Manager PT Perusahaan Listrik Negara Hariadi Sadono. Ia juga dihukum membayar denda Rp 300 juta dan mengganti kerugian negara Rp 2,325 miliar. "Sebagai pemimpin PLN, terdakwa mencederai kepercayaan masyarakat dan perseroan," kata ketua majelis hakim Tjokorda Rae Suamba, Senin pekan lalu.

Hariadi terbukti merugikan negara lebih dari Rp 175 miliar dalam kasus pengadaan customer management system, pada 2004-2007. Menurut hakim, prosedur pengadaan proyek tersebut melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Hariadi dianggap melakukan penunjukan langsung terhadap dua rekanan, yaitu PT Altelindo Karya Mandiri dan PT Arthi Duta Aneka Usaha.

Panitia pengadaan juga tidak melakukan analisis kelayakan, penyusunan harga perkiraan sendiri, ataupun negosiasi. Akibatnya, dari proyek itu pemilik Altelindo, Saleh Abdul Malik, diuntungkan Rp 128,88 miliar, dan pemilik Arthi Duta, Arthur Paluppesy, diuntungkan Rp 37,8 miliar. "Padahal nilai proyek itu hanya Rp 20,8 miliar," ujar hakim Tjokorda Rae Suamba.

Alamsyah Hanafiah, pengacara Hariadi Sadono, menyatakan banding atas putusan itu. "Dalam putusan, ada angka-angka yang berbeda dengan dakwaan," kata Alamsyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus