Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi industri telekomunikasi, Indonesia adalah surga. Kue yang tersedia begitu gurih lezat. Bayangkan, dari 229 juta penduduk, ada 149 juta orang yang belum tersentuh telepon seluler. Mereka inilah—anak SD, sopir bajaj, sampai ibu rumah tangga—yang siap dirayu dan digempur iklan telekomunikasi.
PT Excelcomindo Pratama (XL) tidak terkecuali. Operator telekomunikasi yang saham mayoritasnya dimiliki Telekom Malaysia Berhad ini bergerak agresif membidik pasar. Sejak 2006, perusahaan ini bahkan menetapkan target ambisius: merebut posisi kedua terbesar operator telekomunikasi di Indonesia—setelah Telkomsel.
Adalah Hasnul Suhaimi, Presiden Direktur PT Excelcomindo Pratama, yang ditunjuk sebagai nakhoda proyek ambisius ini. Pekerjaan rumah Hasnul lumayan berat. Dia harus menggeser posisi PT Indosat, perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya.
Saat itu XL masih jauh di bawah Indosat. Dari jumlah pelanggan, pendapatan, maupun jumlah stasiun pemancar, Indosat jauh memimpin. Namun Direktur Utama Telekom Malaysia—ketika itu Dato’ Yusof Annuar bin Yacoob—yakin bahwa Hasnul orang yang tepat untuk menggarap pasar telekomunikasi Indonesia yang berlipat ukurannya dibanding pasar negeri jiran itu.
Dua tahun kemudian, XL tetap belum bisa menyalip Indosat. Urutan operator telekomunikasi belum berubah: Telkomsel, Indosat, dan XL. Tapi, untuk urusan stasiun pemancar, XL merangsek ke depan sejak setahun lalu. Pada akhir September 2008, XL memiliki 15 ribu pemancar, bandingkan dengan Indosat yang dilengkapi 13 ribu pemancar.
Jumlah pelanggan XL juga semakin mendekati Indosat (lihat tabel). Sepanjang tahun lalu, operator ini tumbuh mengesankan. Pengguna kartu XL hampir berlipat dua, begitu pula pendapatannya. Laba bersihnya malah berlipat tiga menjadi Rp 891 miliar.
Pencapaian luar biasa ini tak lepas dari kebijakan pemerintah memangkas tarif interkoneksi pada April 2008. Tarif telekomunikasi, yang sebelumnya memang kelewat mahal, dipaksa turun. Semua operator, mau tak mau, ramai-ramai menurunkan tarif.
Dampaknya segera tampak dalam laporan triwulan kedua 2008. Pendapatan per pelanggan alias average revenue per user (ARPU) semua operator melorot tajam. Rata-rata lebih dari 20 persen. Tapi, jangan dulu menyangka operator merugi lantaran banting harga. Sebaliknya, pendapatan akumulatif semua operator—kecuali Telkomsel—justru melonjak.
Menurut Direktur Pemasaran Indosat, Guntur S. Siboro, hal ini karena tarif murah telah membuat pertumbuhan jumlah pelanggan. Jadi, ”Penurunan ARPU tidak soal selama bisa ditutup pertumbuhan jumlah pelanggan,” ujar Djunaedy Hermawanto, Vice President Strategi Pemasaran Produk XL, pekan lalu.
Pelajaran memangkas tarif pada 2008 rupanya diresapi para operator. Tarif murah segera dijadikan dagangan jitu. Tren ini diyakini masih akan berlanjut tahun ini. ”Karena itu yang paling gampang dikomunikasikan,” ujar Djunaedy. Pasar pun riuh oleh perang tarif. Semua operator mengklaim sebagai penyedia jasa paling murah, baik untuk bertelepon maupun berkirim pesan.
XL, misalnya, maju dengan promosi nelpon gratis sampai puas. Bertelepon antarsesama pelanggan XL, mulai tengah malam sampai pukul 11.00, hanya perlu membayar Rp 300 untuk 20 detik pertama. Sisanya gratis. PT Natrindo Telepon Seluler (AXIS) tak mau ketinggalan dengan berseru: Versi AXIS,” Rp 1 per nelpon sepanjang hari.” Operator lain, PT Smart Telecom juga berteriak: ”SMS sepuaasnya!! Rp 500 per hari ke semua operator”.
Lomba membidik pasar masih akan seru, terutama karena ceruk pasar pelanggan telekomunikasi masih terbuka lebar. ”Anak SD saja kan sekarang banyak yang pegang ponsel,” ujar Djunaedy. Saat ini pun, dari sekitar 130 juta nomor seluler yang terjual, Guntur memperkirakan hanya 80 juta nomor yang benar-benar aktif. Sisanya, 50 juta nomor yang semi aktif, siap digarap menjadi pelanggan setia.
Pasar potensial pun masih luar biasa. Saat ini diperkirakan ada 149 juta penduduk Indonesia belum tersentuh telepon seluler. Katakanlah sepertiga saja potensi dari jumlah itu, maka ada 50 juta calon pelanggan yang siap digaet. Nah, iming-iming yang paling mengena untuk menggaet mereka, ya apalagi, selain tarif irit.
PT Bakrie Telecom (Esia) juga menerapkan taktik yang sama. Dengan paket bundel ponsel murah, Esia yakin tahun depan jumlah pelanggannya tumbuh 50 persen. ”Kita akan tembus 10 juta pelanggan,” kata Erik Meijer, Wakil Direktur Utama Bakrie Telecom. Strategi bundel memang lumayan jitu. Paket ponsel Rp 199 ribu, misalnya, terjual lebih dari satu juta unit. Paket Esia Hidayah laku 200 ribu unit.
Lalu, bagaimana laju industri telekomunikasi pada 2009? Kondisi perekonomian sejauh ini memang serba sulit ditebak. ”Belum jelas seberapa parah daya beli masyarakat terpukul,” kata Guntur. Operator juga serba salah. Nilai dolar menguat, biaya investasi jadi lebih mahal karena hampir semua perkakas telekomunikasi dibeli dengan dolar. Tapi, kalau tidak banting tarif, bisa-bisa pelanggan beralih ke operator lain.
Walhasil, kendati tak akan seketat tahun lalu, perang tarif antar-operator masih berlanjut. Walaupun sebenarnya, banting-bantingan harga ini riskan bagi operator baru. Salah-salah, kalau modal kurang kuat, bisnis bisa kolaps. ”Tapi, di balik operator baru itu kan pemodal besar semua,” ujar Guntur. Di Axis ada Saudi Telecom, dan di balik Three ada Hutchison dan Charoen Pokphand. Keduanya konglomerasi besar di dunia.
Jumlah Pelanggan (juta orang)
2006
1. 32,47
2. 14,23
3. 8,37
4. 1,30
2007
1. 44,46
2. 22,03
3. 12,81
4. 2,95
2008
1. 60,50
2. 35,47
3. 25,09
4. 6,55
Pertumbuhan
1. 36%
2. 61%
3. 96%
4. 122%
Pendapatan Perpelanggan - ARPU (Rp ribu)
2006
1. 85
2. 66,2
3. 59,8
4. 45
2007
1. 79
2. 52,2
3. 53,4
4. 46
2008
1. 60
2. 41,3
3. 39,6
4. 40
Pertumbuhan
1. -24%
2. -25,9%
3. -20,8%
4. -13%
Pendapatan - Ebitda (Rp triliun)
2006
1. 15,13
2. 5,09
3. 1,92
4. 0,19
2007
1. 18,52
2. 6,26
3. 2,42
4. 0,35
2008
1. 17,70
2. 6,72
3. 4,11
4. 0,58
Pertumbuhan
1. -4%
2. 7,4%
3. 70%
4. 64,3%
Ket*
1. Telkomsel
2. Indosat
3. Excelcom
4. Bakrie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo