Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH beberapa kali Musa menyambangi toko-toko komputer di bilangan Senayan, Jakarta. Sampai dua pekan lalu, niat guru Al-Azhar di Jakarta Barat itu membeli cartridge printer belum kesampaian. Alasannya apa lagi jika bukan harganya yang bertahan mahal. "Kata yang jualan, dolar makin mahal," ujar Musa.
Sejak krisis keuangan global mulai menggerus dunia Oktober lalu, rupiah pun makin loyo terhadap mata uang asing, lebih-lebih terhadap dolar Amerika. Kisruh kredit perumahan di Amerika menjadi pemicunya. Akibatnya, likuiditas dunia seret dan setiap negara berlomba mengumpulkan dolar Amerika.
Kelesuan ekonomi ini berimbas ke pasar elektronik. Menurut Ketua Electronic Marketer Club Agus Subiantoro, mulai kuartal keempat tahun lalu, penjualan barang elektronik terus menyusut, lima persen setiap bulan. Dengan kurs dolar yang meninggi, mau tidak mau produsen juga menaikkan harga. Alasannya, masih banyak komponen impor. Dia mencontohkan sebagian tabung televisi dan layar kristal masih diimpor, lebih-lebih yang berteknologi tinggi seperti layar plasma.
Produk elektronik makin susah laku karena daya beli masyarakat juga kian lemah. Krisis ini memicu gelombang pemutusan hubungan kerja. Pasar ekspor tak beda. Resesi ekonomi Amerika memangkas permintaan dunia, terutama untuk produk elektronik dan mobil. Pendapatan per kapita diperkirakan juga bakal menurun.
Berdasarkan perhitungan tersebut, Agus memperkirakan nilai penjualan tahun ini terlalu berat bila harus menyamai prestasi 2008, yang melonjak lebih dari 20 persen, dari Rp 14,7 triliun menjadi Rp 18,3 triliun. "Stagnan saja sudah bagus," kata Agus. "Kemungkinan cenderung turun hingga 15 persen."
Iffan Suryanto, General Manager Sales & Marketing PT Sharp Electronics Indonesia, setuju dengan prediksi Agus. Krisis keuangan global bakal menghantam Indonesia dengan telak pada semester pertama. Ketika itu, banyak sektor riil tumbang, termasuk sejumlah komoditas. Padahal pekerja di sektor ini-seperti di perkebunan sawit, karet, dan kopi-sangat banyak, dan mereka adalah pasar terbesar untuk produk elektronik.
Beratnya beban industri elektronik juga diakui Budi Setiawan. Bahkan, menurut General Manager Pemasaran PT LG Electronics Indonesia itu, tahun Kerbau Tanah ini bakal menjadi "seleksi ekonomi" terhadap pabrikan elektronik. Menurut Budi, konsumen berbondong-bondong beralih ke barang elektronik produk Cina yang murah meriah. Soal mutu urusan nomor dua.
Merek-merek ternama global pun tak mau menyerah begitu saja. Mereka kini mencoba bertahan dengan cara kembali ke produk dasar, yaitu dengan membuat barang-barang versi murah. "Ini merupakan strategi produsen merek besar mempertahankan dominasi," kata Agus, yang juga Chief Executive Officer PT Istana Argo Kencana, produsen Sanken.
Produsen memang tak hanya bertopang dagu menunggu "kematian". Iffan memastikan perusahaannya akan membuat sejumlah gebrakan agar bertahan di masa sulit ini. Salah satunya mengeluarkan produk baru dengan harga terjangkau. Caranya cukup dengan menghadirkan fitur-fitur standar yang tak membutuhkan ongkos produksi besar. "Kita akan mencari celah di situ," kata Iffan. Akhir bulan ini, misalnya, rencananya Sharp akan meluncurkan mesin cuci di bawah 10 kilogram dengan harga murah.
Bila langkah itu diambil, dalam peta persaingan bisnis elektronik tahun ini tak ada perubahan berarti. Para punggawa pabrikan elektronik ini sepakat yang bermain antara lain LG, Samsung, Sharp, Panasonic, Toshiba, Sony, dan Sanken. "Tergantung produk dan segmentasinya," kata Agus.
Agar kondisi tak makin buruk, pemerintah diharapkan dapat membantu. Agus berharap pemerintah bisa menjaga kurs rupiah di level 10 ribu per dolar Amerika. Bila kursnya lebih dari itu, bahkan tembus Rp 13 ribu, harga dipastikan naik tak kurang dari 30 persen. Itu berarti daya beli masyarakat makin ditekan-dengan kenaikan 10 persen saja, penurunan penjualan sudah mencapai lima persen. Selain itu, regulasi harus serasi. Contohnya, suku cadang mesin cuci terkena bea masuk 10 persen, tapi impor barang jadi malah tak dipungut biaya.
Bank sentral juga diminta tidak sewenang-wenang menaikkan suku bunga. Selama ini, kata Agus, separuh lebih konsumen elektronik menggunakan jasa lembaga pembiayaan alias membeli dengan cara kredit. Dengan suku bunga acuan masih di atas sembilan persen, nilai cicilan membengkak. Alhasil, dari jalur ini, pembeli pun mengkerut. Bandingkan dengan tahun lalu. Lembaga peminjaman uang jorjoran memberikan utang tatkala bunga delapan persen. Tak aneh, terjadi pertumbuhan signifikan.
Penjualan Elektronik (Triliun Rupiah)*
2005
Total Produk 12,215
1. 3,396
2. 1,714
3. 0,799
4. 0,661
2006
Total Produk 12,207
1. 3,268
2. 1,608
3. 0,691
4. 0,689
2007
Total Produk 14,772
1. 3,855
2. 1,960
3. 0,928
4. 0,897
2008
Total Produk 18,284
1. 6,772
2. 3,824
3. 2,87
4. 1,62
Ket*
1. Televisi
2. Kulkas
3. AC
4. Mesin Cuci
* Sumber: Electronic Marketer Club
** Perkiraan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo