Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERINTAH Agus Martowardojo tersebar cepat ke telepon seluler semua pejabat eselon satu Kementerian Keuangan. Pesan pendek yang dikirim staf Kementerian Keuangan pada Sabtu sore dua pekan lalu itu mengabarkan, Agus meminta mereka berkumpul di kantor Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan di Jalan Purnawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu malam.
Bakda magrib, mobil pribadi dan mobil dinas para pejabat Kementerian Keuangan mulai berdatangan. Ternyata tak hanya mereka yang diundang bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu. Deputi gubernur senior yang juga merangkap pejabat sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution juga hadir. Ia didampingi dua deputi gubernur, Muliaman D. Hadad dan Halim Alamsyah.
Rapat itu rupanya bukan pertemuan rutin pimpinan Kementerian Keuangan, tapi rapat koordinasi dengan bank sentral. Di lantai dasar gedung itu, pejabat kementerian dan Bank Indonesia duduk satu meja membicarakan satu topik: dampak krisis Eropa. Agus mengatakan rapat itu penting karena pertemuan rutin di antara kedua institusi bisa dikatakan mandek akibat tekanan kasus Bank Century. ”Padahal kita tidak sadar, case seperti di Eropa itu bisa agak serius,” katanya.
Pasar keuangan dunia memang mulai merespons krisis Eropa, yang memuncak dua pekan lalu. Dalam perdagangan pada Selasa pekan itu, bursa saham dunia dan regional berjatuhan, menyusul pelemahan euro ke level terendah dalam empat tahun terakhir, yakni US$ 1,216. Respons negatif investor juga didorong keputusan pemerintah Jerman yang melarang transaksi short selling terhadap surat utang pemerintah dan saham sektor keuangan.
Bursa Efek Indonesia pun tak kalis dari sentimen negatif itu. Dalam perdagangan pada Rabu pekan itu, indeks harga saham gabungan rontok 104,702 poin ke level 2.729,484. Sejak saat itu, selama empat hari berturut-turut, indeks Bursa Indonesia luruh. Pelemahan indeks mencapai dasar dalam perdagangan pada Selasa pekan lalu, ketika indeks jatuh ke level 2.514. Baru mulai Rabu pekan lalu, indeks kembali menanjak dan, sebelum libur Waisak, indeks Bursa Indonesia berada di level 2.713,923.
Meski sudah kembali menguat, indeks tetap jatuh 8,3 persen selama tiga pekan terakhir. Kapitalisasi pasar pun tergerus hingga Rp 193 triliun dari posisi perdagangan awal Mei yang mencapai Rp 2.414 triliun. Wakil kepala riset dari PT Valbury Asia Securities, Nico Omer Jonckheere, mengatakan investor asing memilih membuang sahamnya sebelum telat. Investor khawatir, masalah utang dan defisit anggaran Yunani menular ke negara Eropa lainnya.
Krisis Eropa juga yang mengakibatkan rupiah melemah. Investor belum yakin masalah utang dan defisit anggaran negara-negara Eropa bisa ditangani meskipun Yunani—sebagai sumber krisis—sudah mendapat talangan dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional US$ 145 miliar. Akibatnya, pelarian dana terjadi di Eropa dan Asia, terutama negara berkembang. ”Inilah yang membuat hampir semua mata uang dunia melemah,” kata pengamat pasar uang Farial Anwar kepada Viva B. Kusnandar dari Tempo.
Hingga perdagangan akhir pekan lalu, rupiah melemah 238 poin ke level Rp 9.268 per dolar AS dari posisi awal bulan Rp 9.030. Dana asing memang semakin deras keluar. Data bank sentral menunjukkan, selama sebulan ini, investor asing melego Sertifikat Bank Indonesia senilai Rp 38 triliun. Akhir bulan lalu, jumlahnya masih Rp 83 triliun. Kepemilikan asing terhadap surat utang negara juga berkurang Rp 3,82 triliun menjadi Rp 144,31 triliun.
Melihat berbagai gejala itulah, Agus menyelenggarakan rapat koordinasi dengan Bank Indonesia. Meskipun pemerintah dan Bank Indonesia menilai gejolak yang terjadi di pasar modal dan mata uang tersebut hanya sementara, kata Agus, Indonesia harus tetap waspada. Bank Indonesia juga awas memantau gejolak ini. ”Bank Indonesia terus di pasar untuk menahan agar volatilitas tidak terlalu jauh,” kata Darmin kepada Famega Syavira dari Tempo.
Sumber Tempo di Bank Indonesia mengatakan ada satu persoalan besar yang menjadi perhatian Agus. Bukan soal krisis Eropa yang menjadi perhatian utamanya, melainkan fakta bahwa pemerintah dan Bank Indonesia tak punya protokol penanganan bila krisis benar-benar terjadi. Kondisi ini mengkhawatirkan, terutama jika krisis itu menyerang sektor keuangan terutama perbankan. ”Meski tak akan berdampak besar, krisis di Eropa itu menunjukkan bahwa crisis mode di perekonomian global masih on.”
Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono sependapat. Dia juga menganggap persoalan krisis Eropa tak perlu terlalu dikhawatirkan. Perekonomian Uni Eropa terlalu besar untuk gagal. Meski begitu, dia menilai upaya berjaga-jaga tetap harus dilakukan. Dia pun merujuk pada pentingnya keberadaan aturan Jaring Pengaman Sistem Keuangan. ”Sehingga, bila krisis terjadi, semua institusi mempunyai kepastian hukum tentang wewenang dan tanggung jawabnya,” katanya.
Selama ini payung hukum penanganan krisis yang terakhir ada adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK), yang diterbitkan pemerintah pada Oktober 2008. Masalahnya, Perpu JPSK tak berlaku lagi tak lama setelah dipakai pemerintah untuk menangani Century, bank gagal berdampak sistemik pada 2008. Perpu itu ditolak DPR.
Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang diajukan pemerintah pun mentok pada September 2009. Artinya, kata sumber tadi, jika saat ini Indonesia terkena krisis, tiap institusi akan menggunakan protokol undang-undang masing-masing. ”Padahal undang-undang di tiap institusi sama sekali tak mengatur penanganan bersama dalam situasi krisis,” katanya.
Agus mengakui rapat koordinasi dengan Bank Indonesia dua pekan lalu sangat diliputi suasana pentingnya keberadaan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Yang paling ditakuti, ketika protokol penanganan krisis belum terbentuk, krisis menghinggapi Indonesia. ”Selain itu, akibat pengalaman yang terdahulu, para pejabat kini tidak berani mengambil keputusan,” katanya.
Itulah mengapa tak lama setelah rapat pertama, Agus dan Darmin sepakat bertemu lagi untuk membicarakan masalah tersebut. Kamis pekan lalu, rencana itu benar-benar direalisasikan. Kali ini mereka bertemu di Gedung Radius Prawiro, Bank Indonesia. Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan, hadir juga sore itu. ”Kami periksa lagi nota kesepahaman di antara kami. Itu saja intinya,” kata Firdaus seusai rapat.
Menurut sumber Tempo di Kementerian Keuangan, rapat di kantor bank sentral pekan lalu memang mengarah pada penyusunan nota kesepakatan baru antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Mereka menilai waktu yang dibutuhkan untuk memproses Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan masih sangat panjang. ”Bagaimana jika selama waktu vakum itu krisis datang? Apalagi itu juga riskan dipolitisasi karena sejarahnya selalu dikaitkan dengan kasus Bank Century,” ujarnya.
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Harry Azhar Azis, membantah jika DPR cenderung mempolitisasi rencana pemerintah membuat Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Dia justru berharap Agus sebagai Menteri Keuangan yang baru segera mengajukan rancangan undang-undang tersebut. Apalagi, katanya, kondisi ekonomi saat ini sedang normal dan cenderung membaik. ”Jadi pembahasan bisa rasional,” katanya.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo