Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Harga sejumlah komoditas pangan merangkak menjelang Natal dan tahun baru (Nataru). Salah satunya harga beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono kenaikan harga dipicu stok yang menipis dan permintaan yang meningkat. “Kenaikan harga beras dipicu rendahnya produksi yang secara musiman memang paling rendah di November sampai Desember,” ujar Yusuf ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 3 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktor lain yang mempengaruhi kenaikan harga beras, Yusuf melanjutkan, ialah psikologis pasar. Pasar cemas karena cadangan beras di Bulog kini tinggal 600 ribu ton.
“Bulog mengaku mengalami kesulitan untuk pengadaan di dalam negeri karena pasokan beras sangat kecil dan harganya mahal,” kata dia.
Jika tidak ada pengadaan beras, Yusuf menuturkan cadangan pangan pokok itu bisa menyusut sampai tinggal 350 ribu ton pada akhir tahun. Stok yang tiris menyebabkan Bulog beresiko tidak mampu melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga.
“Atau tidak bisa intervensi untuk kondisi darurat, seperti daerah yang mengalami bencana alam yang signifikan seperti gempa bumi di Cianjur beberapa waktu lalu,” ucap Yusuf.
Yusuf mengimbuhkan, produksi beras nasional turun dalam 4 tahun terakhir. Pada 2018, produksi beras 33,9 juta ton. Kemudian menjadi 31,4 juta ton pada 2021. Angka ini, tutur dia, menunjukkan kegagalan pemerintah meningkatkan produksi beras, terutama melindungi alih fungsi lahan pertanian pangan produktif.
Selain beras, harga pangan lain yang terlihat naik adalah telur ayam. Kenaikan harga telur yang menyentuh Rp 30 ribu per kilogram terjadi lantaran adanya lonjakan permintaan menjelang Nataru. Selain itu, adanya pembagian bantuan sosial. Yusuf mencermati adanya struktur industri yang tidak sehat dengan pola kenaikan harga tersebut.
“Ketika harga telur naik signifikan, menembus Rp 30 ribu per kilogram. Dugaan saya selain disebabkan oleh naiknya harga pakan, terutama jagung dan kedelai, juga karena jatuhnya produksi oleh peternak layer (ayam petelur),” ucap Yusuf. Selain itu, peternak layer sering kali menghadapi persaingan tidak sehat.
DEFARA DHANYA PARAMITHA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.