Dr. H. Ibnu Sutowo menerima wartawan TEMPO Fikri Jufri dan Ed
Zoelverdi di ruang kerjanya, jalan Perwira 6, Jakarta Siang itu
suasana di kantor Dirut Pertamina itu terasa lebih tenang dari
biasa. Tak banyak tamu yang tampak keluar masuk di sana. Mungkin
karena masih dalam suasana Tahun Baru. Mungkin juga karena
kegiatan sang Dirut kini tak lagi seramai dulu. Namun sesaat
setelah wawancara dimulai, Ibnu Sutowo tampak bersemangat
menjawab berbagai soal: tentang prospek minyak kini dan nanti
tentang petanan Pertamina sekarang dan tentang hutang-hutang
yang besar itu. Berikut ini adalah beberapa petikan penting dari
wawancata yang berlangsung hari Selasa 6 Januari lalu, sehari
sebelum Presiden Soeharto membawakan pidato RAPBN 1976/1977 di
depan sidang DPR.
Tanya: Dalam sidang OPEC yang baru lalu di Wina telah terjadi
saling tuding di antara beberapa anggota tentang penurunan harga
minyak. Apakah harga minyak di Indonesia dalam prakteknya akan
bertahan dengan $ 12,60 per barrel, mengingat kurangnya
permintaan di pasaran dunia?
Jawab: Kapasitas produksi minyak di hampit semua negara
penghasil minyak -- OPEC maupun bukan -- memang sedang meningkat
terus. Sebaliknya pasaran minyak terasa menurun karena dua hal:
Pertama, akibat kenaikan harga minyak itu sendiri. Ini membuat
negara-negara konsumen berusaha mengurangi penggunaan minyak
sebisa mungkin, sambil berusaha mencari bahan pengganti minyak.
Kedua, suasana resesi dunia yang belum pulih membuat
pabrik-pabrik di negara industri saling mengurangi kapasitas
produksinya, rata-rata menjadi 60 sampai 65. Dan ini dengan
sendirinya mengakibatkan kelebinan produksi. Secara normal ini
biasanya menyebabkan timbulnya kompetisi untuk merebut pasaran.
Tapi dengan adanya OPEC, yang lebih mementingkan
dipertahankannya harga, maka kompetisi itu terpaksa dilakukan
tetap dalam batas-batas tertentu hingga tak membahayakan harga
dari minyak -- itu sendiri. Maka para anggota OPEC, termasuk
Indonesia, terpaksa melakukan pengurangan produksi demi
mempertahankan harga. Dan itu, sebagaimana saya pernah katakan,
merupakan cara yang wajar. Kalau harga sampai turun, hal itu
tak menjamin naiknya konsumsi minyak di dunia. Jadi akibatnya
kita hanya rugi saja.
Tanya: Teorinya memang demikian, tapi mengapa sampai timbul
perdebatan sengit dalam sidang OPEC kemarin?
Jawab: Dalam usaha menjual minyak sebanyak mungkin, tapi toh
tidak sampai merusak harga, memang bisa timbul persoalan
penentuan harga itu baik bagi setiap negara OPEC maupun bagi
tiap jenis crude oil (minyak mentah), yang berbeda-beda
kwalitasnya Kwalitas itulah yang menentukan laku tidaknya minyak
dihubungkan dengan harga. Dalam OPEC kita kenal patokan harga
minyak mentah yang disebut marker crude, yakni yang didasarkan
dari jenis Light Arabian Crude. Nah, perhitungan harga yang
dilakukan oleh setiap anggota -- disediakan dengan kwalitas,
letak, pelabuhan, dan lain-lain -- itulah yang kemudian kita
kalkulasikan dari harga marker crude tersebut. Sulitnya adalah
menemukan formula yang tepat untuk menentukan perbedaan dalam
harga ekspor. Mengingat penilaian faktor-faktor yang
mempengaruhi harga itu tak sama di antara para anggota, maka
bisa saja timbul suasana yang katakanlah saling tuduh itu. Yang
satu bilang hargamu rendah. Yang lain bilang hargamulah yang
lebih rendah. Sesungguhnya semua itu adalah subyektif. Sebab
sampai sekarang belum ditemukan satu formula yang bisa digunakan
untuk setiap negara setiap kwalitas crude maupun untuk setiap
pasaran.
Tanya: Apakah masuknya minyak RRT ke Jepang, yang kabarnya lebih
murah itu, dengan sendirinya akan mengurangi produksi minyak
Indonesia?
Jawab: Jepang secara tradisionil termasuk pembeli fuel oil
Indonesia. Tapi resesi di sana mengakibatkan pasaran fuel oil
kita agak mundur. Beberapa industri di Jepang saya kira sudah
pindah ke pemakaian batubara dan atom. Tambahan lagi Jepang
sudah membeli minyak dari RRT. Karena kwalitas minyak RRT itu
mendekati kwalitas minyak Indonesia, saya kira ekspor minyak RRT
ke Jepang itu lebih banyak mengurangi penjualan dari Indonesia
daripada minyak Timur Tengah. Tapi sebaliknya penjualan minyak
kita ke West Coast pantai Barat Amerika), naik. Bagi West
Coast penggunaan minyak yang kadar belerangnya rendah memang
agak mutlak. Ketentuan tentang polusi disana lebih keras dari di
Jepang. Dengan demikian produksi kita -- bila dibandingkan
dengan tahua 1975 -- mudah-mudahan tidak turun.
Tanya: Sekarang saya ingin beralih pada masalah hutang Pertamina
yang akhir-akhir ini sering jdi pembicaraan. Bagaimana sampai
Pertamina bisa berhutang demikian besarnya, hingga tak mampu
membayar kembali?
Jawab: Begini Soalnya di tahun 1974, kita sudah membuat suatu
perjanjian. Untuk suatu loan (pinjaman) jangka panjang selama 20
tahun. Jumlah seluruhnya yang dijanjikan sebanyak $AS 1,7milyar.
Kitamenganggap pinjaman itu sudah safe pasti), bahkan sudah
diteken. Karena uangnya semuanya harus diambil sekaligus --
menurut perjanjian itu -- maka kita mengambil persiapan untuk
mempergunakan uang itu, untuk memulai proyek, di antaranya
Krakatau Steel dan Batam, maka kita membikin short term loan
(hutang jangka pendek), yang sebetulnya hanya untuk bridging
(menjembatani) hutang jangka panjang itu. Nah, waktu hutang
jangka panjang itu tak jadi datang, itulah problimnya. Sampai
sekarang saya bingung, kok pinjaman itu terus hilang begitu
saja.
Tanya: Siapa yang tiba-tiba menjanjikan pinjaman seperti itu
kepada Pertamina? Melalui konsortium bank mana?
Jawab: Pinjaman itu memang datang dari Timur Tengah Tidak
melalui sebuah konsortium. Tapi ditawarkan pada kita melalui
surat dari sebuah bank di London. Sebelum itu sesungguhnya kita
sudah merasa sulit, karena ada ketentuan yang hanya membolehkan
kita meminjam untuk jangka yang kurang dari setahun atau lebih
dari 15 tahun. Lebih-lebih untuk satu perusahaan seperti
Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional, kondisi untuk
mencari pinjaman yang lebih dari 15 tahun praktis tak mungkin.
Justru kredit yang kita perlukan -- dan umumnya mudah didapat
berkisar antara 5 sampai 8 tahun. Ketika itu saya juga sudah
mengajukan pada Presiden dan Dewan Komisaris bahwa ketentuan ini
sama dengan melarang kita mencari kredit. Kita praktis sudah tak
boleh melakukan inestasi lagi Katanya itu kondisi yang
dipaksakan kepada kita oleh IMF. Nah, didalam keadaan yang
begini muncul tawaran pinjaman yang 20 tahun itu dengan bunga
yang relatif rendah, antara sampai 8% yang baru dibayar pada
akhir pinjaman. Jadi yang penting bagi kita, menggunakan uang
itu sehingga setelah 20 tahun kemudian kita bisa menghasilkan
dana untuk mengembalikan uangnya plus bunganya.
Tanya: Sampai berapa jauh bapak mengarap pinjaman yang ternyata
tak muncul itu?
Jawab: Dengan adanya persetujuan dari Pemerintah, saya lalu
membuat perjanjiannya. Sampai datang telex bahwa uang itu akan
mulai didrop tanggal sekian, dengan jumlah yang sekian. Sampai
sekian jauh.
Tanya: Mengapa tak menunggu sampai uangnya datang?
Jawab: Kalau saya hati-hati, mestinya saya terima uangnya dulu.
Karena saya mau mengejar waktu dan keadaan -- dengan anggapan
bahwa hutang yang dijanjikan itu sudah safe -- saya mulai
mengeluarkan uang dengan menggunakan pinjaman jangka pendek
uhtuk nantinya dibayar kembali dengan pinjaman yang besar itu.
Tapi semuanya jadi berantakan waktu pinjaman yang saya
perhitungkan itu adalah fatamorgana.
Tanya: Dalan UU Pertamina 1971 fasal 27, antara lain disebutkan
bahwa untuk melakukan pinjaman sampai jumlah tertentu dan
mendirikan anak-anak perusahaan, Direksi harus mendapat izin
dari Dewan Komisaris. Seberapa jauh ketentuan ini sudah
dilaksanakan dalam praktek?
Jawab: Semua anak perusahaan yang didirikan setelah adanya UU
itu memang minta izin dulu kepada Dewan Komisaris. Juga tentang
setiap pinjaman yang akan dibuat Pertamina, terlebih dulu harus
ada izin dari DK. Kecuali dalam hal pinjaman yang jangka pendek.
Cuma mengenai jumlah pinjaman itu sampai sekarang belum
ditentukan batasnya.
Tanya: Bagaimana kalau sekarang ada tawaran kredit lagi untuk
Pertamina?
Jawab: Itu seluruhnya akan diurus oleh Bank Indonesia. Sekarang
semua kebutuhan Pertamina diserahkan kepada BI. Pokoknya kita
sekarang melakukan pinjaman dari BI. Juga semua urusan keuangan
kita ditaruh diBI.
Tanya: Apakah dengan adanya perubahan organisasi Pertamina
--seperti tercermin dalam KEPPRES no.44 akan terasa lebih
ringan bagi Dirut dalam menjalankan tugas sehari-hari?
Jawab: Dulu memang ada divisi-divisi yang langsung berhubungan
dengan Direktur Utama. Sekarang divisi-divisi itu ditempatkan di
bawah para direktur. Jadi bagi saya rentang kendali memang lebih
kecil. Tapi apakah perubahan ini akan lebih baik nantinya, itu
tergantung dari pelaksanaan. Bagi saya sendiri, saya tak merasa
kesulitan untuk mengontrolnya sebelum ada perubahan. Jadi hal
itu tergantung dari pribadi seseorang. Jadi menyangkut evaluasi
yang subyektif.
Tanya: Apa yang akan dilakukan Pertamina setelah ini?
Jawab: Kita tak akan bisa lagi melakukan pekerjaan seperti dulu.
Tapi ingin saya ingatkan bahwa soal infrastruktur yang kita
bangun itu penting untuk diteruskan. Sekalipun sudah ada UU
Penanaman Modal Asing yang baik, kondisi sekuriti dan ekonomi
yang baik, tanpa adanya infrastruktur yang baik, adalah sulit
untuk menarik investor asing dan dalam negeri untuk melakukan
penanaman Perusahaan minyak memang bisa melakukan investasi
kalau mereka sudah pasti bahwa ada produksi. Untuk itu
sebelumnya perlu disediakan prasarana baik berupa pelabuhan, air
minum, listrik telekomunikasi dan lain-lain. Sebab untuk
melakukan penanaman yang ratusan juta dollar, kita belum mampu.
Yang kita perlu kerjakan adalah yang keci-kecil, yang berkisar
antara 5 sampai 10 juta dollar untuk melakukan pekerjaan
services bagi para investor itu. Sebagai contoh ingin saya
kemukakan tentang pelabuhan udara Balikpapan. Tadinya pelabuhan
itu termasuk sepi. Tapi setelah diperbaiki dengan biaya yang
seluruhnya ditanggung Pertamina, pelabuhan Balikpapan kini
menjadi paling ramai setelah Kemayoran. Ini menandakan bahwa
para investor juga banyak terdapat di sana.
Tanya: Suatu waktu, siapa yang bapak anggap tepat untuk duduk
sebagai pimpinan?
Jawab: Bagi orang yang sudah berumur di atas 60 tahun, setiap
hal bisa saja terjadi tiap waktu. Jadi saya juga sudah fikirkan
pada suatu waktu entah kapan -- harus terjadi perubahan. Saya
sudah coba untuk melihat orang-orang yang saya anggap tepat
untuk itu. Bahkan beberapa nama sudah pernah saya usulkan pada
Menteri juga pada Presiden, yang saya anggap baik untuk
menggantikan saya. Bahkan saya juga sudah mulai memberi pesan
pada orang-orang itu, yang sesungguhnya siap untuk ditempatkan
dalam suatu posisi ang lebih tinggi. Jadi saya tak pernah
berfikir ingin jadi Dirut seumur hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini