DI pagi 7 Januari yang mendung itu, Presiden Soeharto
membawakan keterangan Pemerintah tentang RAPBN 1976/1977. Ketika
sampai pada masalah hutang Pertamina -- yang kali ini
dikemukakn Presiden agak panjang dan mendetil (lihat box) --
tampak banyak anggota DPR terdiam. Ada yang geleng-geleng
kepala, seakan mereka baru tahu setelah diungkapkan sendiri oleh
orang pertama negeri ini. Ternyata memang, akibat hutang itu tak
saja menampar Pertamina, tapi juga mengenai berbagai sektor dan
bidang kegiatan lain. Boleh dibilang, tersedotnya dana-dana
untuk mengatasi hutang Pertamina itulah yang merupakan sebab
pokok keprihatinan mulai awal 1976 ini. Indonesia, justru yang
seharusnya bisa menikmati "berkah minyak" tahun-tahun lalu, kini
harus mengeratkan ikat pinggang.
Berapa besar sesungguhnya hutang-hutang yang dibuat oleh
Pertamina baik yang jangka pendek maupun panjang? Pertanyaan ini
tersembul sejak berita krisis Pertamina pertama terdengar. Tapi
sampai sekarang ternyata belum bisa disebutkan jumlah yang
pasti. Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro, di depan sidang pleno
DPR bulan Juni tahun lalu, ada menyebutkan angka $ 3.200 juta.
Jumlah tersebut merupakan hutang-hutang luar negeri, termasuk
hutang uang minyak $ 850 juta yang oleh Pertamina tak dimasukkan
ke kas negara. Sedang jumlah hutang terhadap
perusahaan-perusahaan di dalam negeri sampai bulan Maret tahun
lalu itu diketahui sebanyak Rp 47.000 juta, yang dinilai dalam
dollar AS akan jatuh di seputar $ 113 juta. "Hutang-hutang
tersebut memang sulit untuk ditrasir", kata seorang pejabat.
"Setiap waktu bisa saja muncul tagihan baru kepada Pertamina".
Menurut pejabat itu, seluruh hutang Pertamina sampai sekarang
tak akan kurang dari $ 3,5 milyar. "Ini belum dimasukkan
perhitungan bunga yang cepat atau lambat harus dicicil juga olen
negara", katanya. "Kalau terhadap para kontraktor dalam negeri
lebih mudah dicapai kompromi -- dengan memotong sebagian tagihan
tanpa bunga -- kompromi seperti itu belum tentu akan dituruti
oleh bank-bank di luar negeri".
Berapa besarnya bunga yang harus dicicil Pertamina terhadap para
bankir di luar negeri, agaknya tak begitu sulit untuk
diperkirakan. Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh di depan
Komisi VII sidang DPR belum lama berselang, mengemukakan angka $
1300 juta sebagai cadangan devisa pemerintah yang sudah
digunakan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendek Pertamina.
Konon seluruh hutang jangka pendek Pertamina itu meliputi $ 2,1
milyar. Sedang tingkat bunga yang dikenakan oleh para bankir
asing itu kabarnya berkisar antara 10 sampai 25% setahun.
"Hutang-hutang yang di bawah setahun itu ada yang jatuh waktu
selama 9 bulan, ada pula yang sampai 6 bulan saja", kata sebuah
sumber yang dekat dengan BI. "Dipukul rata, tingkat bunganya
adalah 15%". Dihitung-hitung jumlah bunga yang harus dicicil
Pertamina -- dan tentunya bakal ditanggung Negara -- konon
mencapai $ 200 juta setahun.
Apa sebabnya Pertamina sampai dibolehkan membuat hutang-hutang
jangka pendek demikian besarnya? Menurut Dirut Pertamina, Ibnu
Sutowo, itu disebabkan karena Pertamina tak diizinkan lagi
membuat hutang-hutang yang berjangka menengah antara 5 sampai 8
tahun. Maka untuk membangun proyek-proyek di luar kegiatan
minyak, perhatian ditujukan pada hutang-hutang jangka pendek
yang umumnya berjangka setahun ke bawah. "Memang terbuka
kesempatan bagi Pertamina untuk mencari pinjaman jangka pendek",
kata Menteri Pertambangan Prof. Sadli kepada TEMPO, "tapi itu
terbatas untuk digunakan sebagai modal kerja bagi anak-anak
perusahaan". Barangkali kekhilafan besar Pertamina adalah ketika
diputuskan untuk menggunakan pinjaman jangka pendek itu bagi
investasi Krakatau Steel dan pulau Batam yang menelan waktu
lama. Kekeliruan itu disebabkan oleh adanya harapan bahwa akan
diperoleh krdit jangka panjang. Ternyata tak kunjung tiba
(lihat wawancara). Harapan akan datangnya hutang yang besar
tersebut kini banyak disesali oleh sentara pejabat tinggi.
Termasuk oleh Ibnu Sutowo sendiri. Masalahnya barangkali,
meskipun Dirut Pertamina beranggapan janji hutang besar itu
sudah safe, dalam dunia bisnis internasional bukan mustahil
muncul orang-orang yang tampaknya meyakinkan dalam memberikan
suatu janji. Orang-orang itu setelah diselidiki lebih jauh,
ternyata hanya pemberi tawaran yang semu. Atau "fatamorgana",
menurut istilah Ibnu Sutowo. Seorang pejabat di lingkungan
Keuangan menceritakan betapa banyaknya fihak ketiga dalam bisnis
internasional yang berfungsi sebagai perantara. "Tidak mustahil
tawaran yang menyilaukan mata itu juga berasal dari kalangan
brokers", katanya. "Dan para brokers alias calo-calo itu bahkan
sering siap dengan sura tperjanjian segala".
Namun ada satu pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab:
Mengapa sampai Pertamina menanam pinjaman jangka pendek yang
kabarnya di atas $ 1 milyar itu ke dalam investasi berjangka
panjang? Apakah tindakan investasi itu adalah atas sepengetahuan
para Menteri yang duduk dalam Dewan Komisaris? Menurut Dirut
Pertamina sendiri, setiap keputusan penting "selalu saya
rundingkan dulu dengan mereka". Baik dari Prof. Widjojo, Menteri
Keuangan Prof. Ali Wardhana maupun Jenderal Maraden Panggabean
yang anggota DK, sampai sekarang' belum ada keterangan yang
menjelaskan duduk perkara tentang soal yang besar ini. Sedang
Menteri Sadli hanya mengatakan "tindakan tersebut tidak
dibenarkan secara ekonomi perusahaan".
Memang, orang pun tahu akan sikap Ibnu Sutowo yang bersemangat
dan ingin gerak cepat. Tapi seandainya toh harapan akan hutang
jangka panjang yang $ 1,7 milyar itu -- yang ternyata
"fatamorgana" -- terwujud, adakah itu menyelesaikan persoalan?
Dirut Pertamina Ibnu Sutowo memang beranggapan begitu. Tapi
beberapa pengamat menyangsikan bahwa jalan keluar liwat kredit
besar itu merupakan jalan penyelamat. Seorang pejabat yang
mengikuti dari dekat krisis Pertamina, malah merasa lega
lantaran hutang besar itu tak terjadi. "Bayangkan kalau kita
memiliki sebuah pabrik baja yang menelan biaya $ 3« milyar",
katanya. "Biaya sebanyak itu, untuk rencana produksi yang 2 juta
toh setahun, sungguh merupakan salah satu pabrik yang termahal
di dunia". Benarkah? Menurut pendapat ini, kini setelah terjadi
negosiasi kembali dengan para investor Jerman dari Siemens,
Ferrostahl dan Kluckner, hasil team Sumarlin, pabrik itu.
Ditaksir bakal menelan biaya yang tidak sedikit. "Kira-kira akan
berkisar anjtara $ 2,3 sampai $ 2,5 milyar", kata sebuah sumber.
Sedang nilai dari pabrik baja itu konon hanya $ 200 juta.
Bankir Asing
Bagaimana Pertamina bisa menghimpun uang yang begitu banyak dari
para bankir di luar negeri tentu tak terlepas dari figur Ibnu
Sutowo. Tergolong sebagai pemimpin salah satu di antara 184
perusahaan raksasa terbesar di luar AS, agaknya tak begitu sulit
bagi tokoh minyak Indonesia itu untuk memperoleh kepercayaan
dari para bankir asing. Tapi yang menarik adalah sikap para
bankir asing itu sendiri -- yang oleh seorang pengusaha AS di
Jakarta -- dianggap pandai mengeksploitir angin yang lagi baik
di Indonesia. Menurut pengusaha itu, para bankir asing itu tetap
saja menyodorkan kredit jangka pendek, sekalipun pada
pertengahan tahun 1974 terbetik kabar Pertamina mulai mengalami
kesulitan keuangan. "Dari orang-orangnya di sini, mereka tentu
tahu bahwa Pertamina ketika itu terpaks belum bisa menyetor ke
kas negara uang minyak dari Caltex", katanya. Adapun uang dari
perusahaan minyak asing yang ketika itu tak disetorkan ke kas
negara masih berjumlah $ 200 juta. Dan terakhir, sebagaimana
dikemukakan dalam Nota Keuangan Pemerintah yang dibacakan
Menteri Ekuin Widjojo di DPR, seluruhnya berjumlah $ 850 juta.
Bagaikan tukang rente menghadapi korbannya, -- dimulai dengan
sebuah bank di Dallas, AS -- para bankir di Eropa ramai-ramai
mulai menagih hutang jangka pendek Pertamina. Mereka umumnya
keberatan untuk mengulur hutangnya, dengan alasan mereka sendiri
kekurangan uang akibat kelesuan ekonomi dunia. Tapi agaknya, di
balik suasana ekonomi dunia yang memang lagi lesu, mereka
beranggapan sudah waktunya untuk menagih hutang. Anehnya,
beberapa saat setelah pecahnya krisis Pertamina, masih juga
muncul tawaran dari beberapa bank asing kepada Pertamina.
"Memang ada bank-bank yang tidak mau memperpanjang kreditnya
(roll over)' kata sebuah sumber di Pertamina. "Tapi masih banyak
di antara mereka yang kemudian menawarkan untuk itu".
Sikap para bankir asing -- yang kabarnya tergolong bank-bank
kecil dan menengah di Eropa -- untuk tetap "bermurah hati"
kepada Pertamina tentu ada sebabnya. Selain mereka mengharapkan
bisa meraih bunga yang lebih banyak, setidaknya mereka
perhitungkan Pemerintah toh akan turun tangan jika timbul
persoalan. Kini, setelah pencarian kredit hanya diizinkan liwat
Bank Indonesia, kisah kredit berjangka setahun itupun berakhir
sudah. Lalu, apa tugas Pertamina setelah ini? Menurut Ibnu
Sutowo, Pertamina akan kembali pada tugasnya yang primer:
melaksanakan Perbekalan Dalam Negeri (PDN) dan penhasilan
minyak bagi negara. Tugas PDN itulah dulu yang sesungguhnya
paling banyak membutuhkan biaya. Melalui PDN itulah Pertamina
telah melakukan fungsi sosialnya: membangun prasarana, mulai
dari pelabuhan, jembatan, perkantoran sampai rumah-rumah mewah
dan hotel. Mudah dipastikan urutan yang menyangkut PDN yang
rata-rata bertambah sekitar 12% setahun itu -- setelah masa
penertiban sekarang ini -- akan diperciut. Atau untuk sementara
diistirahatkan dulu, seraya mencari swasta asing mana yang
kiranya bersedia meneruskan proyek-proyek investasi besar itu
dengan ketentuan sama-sama untung.
Dari Sumur Sendiri
Penghasilan Pertamina dari ladang-ladang minyaknya kini tentu
perlu lebih dipergiat. Sebab, selama ini, penghasilan Pertamina
dari sumur-sumurnya sendiri tak bisa disebut besar. Dengan
produksi yang kabarnya sekitar 90.000 barrel sehari, pemasukan
yang diperoleh setahun dengan harga ekspor yang berlaku
sekarang, tak akan lebih dari $ 400 juta. Sedang jasa-jasa yang
diperoleh dari perusahaan minyak asing tak seberapa bila
dibandinkan dengan kegiatan Pertamina selama ini. Alhasil dalam
suasana yang masih dikerumuni hutang, masih dibutuhkan waktu
lama bagi perusahaan minyak negara ini untuk sembuh kembali.
Usaha penyembuhan memang tengah berlangsung. Proyek dan urusan
di lingkungan Pertamina yang berjubel itu ternyata tak cukup
diurus oleh satu dua instansi. Tubuh Pertamina yang makin
membesar dan mencakup berbagai masalah itu rupanya perlu
dibenahi oleh banyak orang. Maka sejak bulan April tahun lalu,
telah dibentuk tak kurang dari 9 Panitia Penyehatan. Setiap
panitia lahir liwat Keputusan Presiden (Keppres). Ini selain
memang memerlukan restu dari Kepala Negara juga memberi
gambaran: betapa besar dan seriusnya persoalan. "Yah, untuk
ngurusi Pertamina ini rupanya perlu main Keppres", gurau
seorang perwira ABRI yang ikut dalam sebuah team. "Semua ini
membuat kita harus kerja ngelembur". Rupanya di samping duduk
sebagai anggota team, setiap pejabat itu harus tetap menjalankan
tugas mereka sehari-hari.
Melihat umurnya yang belum 9 bulan, tentu belum bisa diharap
banyak dari hasil para anggota team itu. Sekali pun begitu usaha
untuk sedikitnya meringankan beban Pertamina sudah mulai terasa.
Menteri Sumarlin yang mengetuai team Krakatau Steel sejauh ini
sudah bisa melepaskan beban Pertamina dari Krakatau Steel.
Sekalipun bukan termasuk anak perusahaan, dulu uang pinjaman
Pertamina banyak dituang ke proyek itu. Kini Pr Krakatau Steel
sudah berdiri sendiri tanpa ada sangkut pautnya dengan
Pertamina. Sebagai imbalan, hutang Pertamina terhadap para
kontraktor dalam dan luar negeri dianggap lunas. Dan Menteri
Sumarlin kemudian mendapat tugas baru lagi. Berdasarkan sebuah
Keppres pula, di dikukuhkan untuk mengetuai segala masalah yang
berhubungan dengan parakontraktor luar dan dalam negeli,
termasuk semua anak-anak perusahaan Pertamina.
Begitu juga Team Tehnis yang terdiri dari 3 jenderal -- Letjen
Hasnan Habib, Mayjen Piet Haryono dan Brigjen Ismail Saleh SH --
telah pula menyelesaikan sebagian dari tugas besar yang
dipasrahkan pada mereka. Adalah tugas trio jenderal itu untuk
meneliti masalah yang berhubungan dengan investasi-investasi
besar, termasuk dari PT Patra Jasa anak perusahaan Pertamina
yang dipasrahi tugas bangun membangun gedung, kantor, wisma dan
hotel. Lihat: Patra Jasa Misalnya). Team tersebut juga meneiiti
Anggaran Belanja Pertamina, struktur organisasi dan kabarny
juga tentang Usul-usul Peraturan Kerja. Yang terakhir ini
dikabarkan masih dalam penelitian. Dan menyangkut, antara lain,
penegasan kembali hubungan antara Dewan Komisaris dengan
Direksi, tentang wewenang Direksi, juga tentang kedudukan
anak-anak perusahaan.
Akan halnya organisasi Pertamina pada 6 Desember lalu telah
lahir pula sebuah Keppres no.44. Keppres tentang Pokok-Pokok
Organisasi Pertamina itu, sepintas lalu tampaknya tidak
mengandung perubahan besar bila dibandingkan dengan yang sudah
ada dalam UU Pertamina no.8 tahun 1971. Tapi yang menarik di
situ adalah ditempatkannya kedudukan Divisi, Dinas dan PU
(pimpinan unit) Pertamina dalam hubunan baru yang tidak
terpusat pada kendali Direktur Utama. Tadinya bagian-bagian itu
berdiri sendiri dan punya hubungan langsung dengan Direktur
Utama. Kepala Divisi Pemeliharaan, misalnya, yang tadinya
dipegang H. Syarnubi Said, bisa saja langsung berhubungan
dengan Dirut. Begitu pula Kepala Divisi lainnya yang seluruhnya
berjumlah 9. Juga Kepala Dinas, yang berjumlah 5 itu,
masing-masing punya izin langsung ke pucuk pimpinan. Hal yang
sama berlaku bagi masing-masing PU yang tersebar di 7 Unit.
Melalui Keppres 44, hubungan yang langsung itu ditiadakan. Dan
kedudukan para Direktur -- yang kini berjumlah 6 orang dan
masing-masing mengepalai Direktorat -- juga membawahi
Divisi-Divisi atau Sub-Direktorat. Selanjutnya setiap Divisi
terdiri dari beberapa Dinas atau Biro dan setiap Dinas terdiri
dari beberapa Seksi atau Bagian sesuai dengan kebutuhan. Sedang
jumlah Divisi yang tadinya berkelompok dalam satu bagian, kini
dipisahkan sesuai denan fungsinya. Hingga setiap Direktorat
hanya membawahkan 3 Divisi.
Sementara itu kedudukan Asisten Umum Dirut -- "sebangsa" Aspri
ditiadakan. Dan semua urusan yang tadinya dipegang Asisten Umum
tampaknya sekaran berada di bawah ir. Wiyarso, Direktur Umum,
pos yang belum lama dibentuk dalam Pertamina. Tampaknya
Direktorat Umum itulah termasuk yang paling banyak urusannya.
Selain tetap menjabat sebagai Direktur Direktorat Migas,
kedudukan Wiyarso di Pertamina yang meliputi berbagai bidang
penting, juga menyelenggarakan kegiatan yang tak temmasuk tugas
para direktur lainnya, seperti bidang Humas, Hukum dan anak-anak
perusahaan dan lain-lain. Sekalipun jarang terdengar di kalangan
luar, figur Wiyarso bukan orang baru dalam Pertamina. "Hanya
sekarang ia diserahi tugas sebagai penanggungjawab", kata
seorang anak buahnya.
Terlalu banyak untuk dikemukakan satu per satu tentang perubahan
organisasi dalam tubuh Pertamina itu. Tapi yang juga menarik
untuk disebutkan adalah dibentuknya Inspektorat Perusahaan:
unsur pengawasan dalam perusahaan yang berada langsung di bawah
Direktur Utama. Adapun tugas pokok sang pengawas -- yang hingga
sekarang belum ditetapkan orangnya -- adalah melakukan
pengawasan dalam lingkungan perusahaan. Maksudnya agar dapat
mencegah atau mengambil tindakan terhadap hal-hal yang
menyirnpang dari kebijaksanaan yang telah ditetapkan Direksi,
hingga semua unsur perusahaan dapat berjalan sesuai dengan
rencana dan peraturan yang sudah ditetapkan.
Tapi sebagaimana biasa dikatakan orang, yang penting kemudian
bukan cuma sistemnya, tapi pribadi si pelaksana -- terutama
dalam kedudukan sebagai pengawas. Itu tak berarti sistem tidak
penting, buat mencegah salah-urus yang berkepanjangan. Manusia
toh terbatas, dan ternyata tidak gampang mengelak dari berbuat
salah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini