Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pertamina, 1976: penyesuaian dengan..

Upaya mengatasi beban hutang pertamina dilakukan dengan membentuk 9 panitia penyehatan lewat keppres. team tehnis meneliti masalah yang berhubungan dengan investasi besar dan struktur organisasi. (ek)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pagi 7 Januari yang mendung itu, Presiden Soeharto membawakan keterangan Pemerintah tentang RAPBN 1976/1977. Ketika sampai pada masalah hutang Pertamina -- yang kali ini dikemukakn Presiden agak panjang dan mendetil (lihat box) -- tampak banyak anggota DPR terdiam. Ada yang geleng-geleng kepala, seakan mereka baru tahu setelah diungkapkan sendiri oleh orang pertama negeri ini. Ternyata memang, akibat hutang itu tak saja menampar Pertamina, tapi juga mengenai berbagai sektor dan bidang kegiatan lain. Boleh dibilang, tersedotnya dana-dana untuk mengatasi hutang Pertamina itulah yang merupakan sebab pokok keprihatinan mulai awal 1976 ini. Indonesia, justru yang seharusnya bisa menikmati "berkah minyak" tahun-tahun lalu, kini harus mengeratkan ikat pinggang. Berapa besar sesungguhnya hutang-hutang yang dibuat oleh Pertamina baik yang jangka pendek maupun panjang? Pertanyaan ini tersembul sejak berita krisis Pertamina pertama terdengar. Tapi sampai sekarang ternyata belum bisa disebutkan jumlah yang pasti. Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro, di depan sidang pleno DPR bulan Juni tahun lalu, ada menyebutkan angka $ 3.200 juta. Jumlah tersebut merupakan hutang-hutang luar negeri, termasuk hutang uang minyak $ 850 juta yang oleh Pertamina tak dimasukkan ke kas negara. Sedang jumlah hutang terhadap perusahaan-perusahaan di dalam negeri sampai bulan Maret tahun lalu itu diketahui sebanyak Rp 47.000 juta, yang dinilai dalam dollar AS akan jatuh di seputar $ 113 juta. "Hutang-hutang tersebut memang sulit untuk ditrasir", kata seorang pejabat. "Setiap waktu bisa saja muncul tagihan baru kepada Pertamina". Menurut pejabat itu, seluruh hutang Pertamina sampai sekarang tak akan kurang dari $ 3,5 milyar. "Ini belum dimasukkan perhitungan bunga yang cepat atau lambat harus dicicil juga olen negara", katanya. "Kalau terhadap para kontraktor dalam negeri lebih mudah dicapai kompromi -- dengan memotong sebagian tagihan tanpa bunga -- kompromi seperti itu belum tentu akan dituruti oleh bank-bank di luar negeri". Berapa besarnya bunga yang harus dicicil Pertamina terhadap para bankir di luar negeri, agaknya tak begitu sulit untuk diperkirakan. Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh di depan Komisi VII sidang DPR belum lama berselang, mengemukakan angka $ 1300 juta sebagai cadangan devisa pemerintah yang sudah digunakan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendek Pertamina. Konon seluruh hutang jangka pendek Pertamina itu meliputi $ 2,1 milyar. Sedang tingkat bunga yang dikenakan oleh para bankir asing itu kabarnya berkisar antara 10 sampai 25% setahun. "Hutang-hutang yang di bawah setahun itu ada yang jatuh waktu selama 9 bulan, ada pula yang sampai 6 bulan saja", kata sebuah sumber yang dekat dengan BI. "Dipukul rata, tingkat bunganya adalah 15%". Dihitung-hitung jumlah bunga yang harus dicicil Pertamina -- dan tentunya bakal ditanggung Negara -- konon mencapai $ 200 juta setahun. Apa sebabnya Pertamina sampai dibolehkan membuat hutang-hutang jangka pendek demikian besarnya? Menurut Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo, itu disebabkan karena Pertamina tak diizinkan lagi membuat hutang-hutang yang berjangka menengah antara 5 sampai 8 tahun. Maka untuk membangun proyek-proyek di luar kegiatan minyak, perhatian ditujukan pada hutang-hutang jangka pendek yang umumnya berjangka setahun ke bawah. "Memang terbuka kesempatan bagi Pertamina untuk mencari pinjaman jangka pendek", kata Menteri Pertambangan Prof. Sadli kepada TEMPO, "tapi itu terbatas untuk digunakan sebagai modal kerja bagi anak-anak perusahaan". Barangkali kekhilafan besar Pertamina adalah ketika diputuskan untuk menggunakan pinjaman jangka pendek itu bagi investasi Krakatau Steel dan pulau Batam yang menelan waktu lama. Kekeliruan itu disebabkan oleh adanya harapan bahwa akan diperoleh krdit jangka panjang. Ternyata tak kunjung tiba (lihat wawancara). Harapan akan datangnya hutang yang besar tersebut kini banyak disesali oleh sentara pejabat tinggi. Termasuk oleh Ibnu Sutowo sendiri. Masalahnya barangkali, meskipun Dirut Pertamina beranggapan janji hutang besar itu sudah safe, dalam dunia bisnis internasional bukan mustahil muncul orang-orang yang tampaknya meyakinkan dalam memberikan suatu janji. Orang-orang itu setelah diselidiki lebih jauh, ternyata hanya pemberi tawaran yang semu. Atau "fatamorgana", menurut istilah Ibnu Sutowo. Seorang pejabat di lingkungan Keuangan menceritakan betapa banyaknya fihak ketiga dalam bisnis internasional yang berfungsi sebagai perantara. "Tidak mustahil tawaran yang menyilaukan mata itu juga berasal dari kalangan brokers", katanya. "Dan para brokers alias calo-calo itu bahkan sering siap dengan sura tperjanjian segala". Namun ada satu pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab: Mengapa sampai Pertamina menanam pinjaman jangka pendek yang kabarnya di atas $ 1 milyar itu ke dalam investasi berjangka panjang? Apakah tindakan investasi itu adalah atas sepengetahuan para Menteri yang duduk dalam Dewan Komisaris? Menurut Dirut Pertamina sendiri, setiap keputusan penting "selalu saya rundingkan dulu dengan mereka". Baik dari Prof. Widjojo, Menteri Keuangan Prof. Ali Wardhana maupun Jenderal Maraden Panggabean yang anggota DK, sampai sekarang' belum ada keterangan yang menjelaskan duduk perkara tentang soal yang besar ini. Sedang Menteri Sadli hanya mengatakan "tindakan tersebut tidak dibenarkan secara ekonomi perusahaan". Memang, orang pun tahu akan sikap Ibnu Sutowo yang bersemangat dan ingin gerak cepat. Tapi seandainya toh harapan akan hutang jangka panjang yang $ 1,7 milyar itu -- yang ternyata "fatamorgana" -- terwujud, adakah itu menyelesaikan persoalan? Dirut Pertamina Ibnu Sutowo memang beranggapan begitu. Tapi beberapa pengamat menyangsikan bahwa jalan keluar liwat kredit besar itu merupakan jalan penyelamat. Seorang pejabat yang mengikuti dari dekat krisis Pertamina, malah merasa lega lantaran hutang besar itu tak terjadi. "Bayangkan kalau kita memiliki sebuah pabrik baja yang menelan biaya $ 3« milyar", katanya. "Biaya sebanyak itu, untuk rencana produksi yang 2 juta toh setahun, sungguh merupakan salah satu pabrik yang termahal di dunia". Benarkah? Menurut pendapat ini, kini setelah terjadi negosiasi kembali dengan para investor Jerman dari Siemens, Ferrostahl dan Kluckner, hasil team Sumarlin, pabrik itu. Ditaksir bakal menelan biaya yang tidak sedikit. "Kira-kira akan berkisar anjtara $ 2,3 sampai $ 2,5 milyar", kata sebuah sumber. Sedang nilai dari pabrik baja itu konon hanya $ 200 juta. Bankir Asing Bagaimana Pertamina bisa menghimpun uang yang begitu banyak dari para bankir di luar negeri tentu tak terlepas dari figur Ibnu Sutowo. Tergolong sebagai pemimpin salah satu di antara 184 perusahaan raksasa terbesar di luar AS, agaknya tak begitu sulit bagi tokoh minyak Indonesia itu untuk memperoleh kepercayaan dari para bankir asing. Tapi yang menarik adalah sikap para bankir asing itu sendiri -- yang oleh seorang pengusaha AS di Jakarta -- dianggap pandai mengeksploitir angin yang lagi baik di Indonesia. Menurut pengusaha itu, para bankir asing itu tetap saja menyodorkan kredit jangka pendek, sekalipun pada pertengahan tahun 1974 terbetik kabar Pertamina mulai mengalami kesulitan keuangan. "Dari orang-orangnya di sini, mereka tentu tahu bahwa Pertamina ketika itu terpaks belum bisa menyetor ke kas negara uang minyak dari Caltex", katanya. Adapun uang dari perusahaan minyak asing yang ketika itu tak disetorkan ke kas negara masih berjumlah $ 200 juta. Dan terakhir, sebagaimana dikemukakan dalam Nota Keuangan Pemerintah yang dibacakan Menteri Ekuin Widjojo di DPR, seluruhnya berjumlah $ 850 juta. Bagaikan tukang rente menghadapi korbannya, -- dimulai dengan sebuah bank di Dallas, AS -- para bankir di Eropa ramai-ramai mulai menagih hutang jangka pendek Pertamina. Mereka umumnya keberatan untuk mengulur hutangnya, dengan alasan mereka sendiri kekurangan uang akibat kelesuan ekonomi dunia. Tapi agaknya, di balik suasana ekonomi dunia yang memang lagi lesu, mereka beranggapan sudah waktunya untuk menagih hutang. Anehnya, beberapa saat setelah pecahnya krisis Pertamina, masih juga muncul tawaran dari beberapa bank asing kepada Pertamina. "Memang ada bank-bank yang tidak mau memperpanjang kreditnya (roll over)' kata sebuah sumber di Pertamina. "Tapi masih banyak di antara mereka yang kemudian menawarkan untuk itu". Sikap para bankir asing -- yang kabarnya tergolong bank-bank kecil dan menengah di Eropa -- untuk tetap "bermurah hati" kepada Pertamina tentu ada sebabnya. Selain mereka mengharapkan bisa meraih bunga yang lebih banyak, setidaknya mereka perhitungkan Pemerintah toh akan turun tangan jika timbul persoalan. Kini, setelah pencarian kredit hanya diizinkan liwat Bank Indonesia, kisah kredit berjangka setahun itupun berakhir sudah. Lalu, apa tugas Pertamina setelah ini? Menurut Ibnu Sutowo, Pertamina akan kembali pada tugasnya yang primer: melaksanakan Perbekalan Dalam Negeri (PDN) dan penhasilan minyak bagi negara. Tugas PDN itulah dulu yang sesungguhnya paling banyak membutuhkan biaya. Melalui PDN itulah Pertamina telah melakukan fungsi sosialnya: membangun prasarana, mulai dari pelabuhan, jembatan, perkantoran sampai rumah-rumah mewah dan hotel. Mudah dipastikan urutan yang menyangkut PDN yang rata-rata bertambah sekitar 12% setahun itu -- setelah masa penertiban sekarang ini -- akan diperciut. Atau untuk sementara diistirahatkan dulu, seraya mencari swasta asing mana yang kiranya bersedia meneruskan proyek-proyek investasi besar itu dengan ketentuan sama-sama untung. Dari Sumur Sendiri Penghasilan Pertamina dari ladang-ladang minyaknya kini tentu perlu lebih dipergiat. Sebab, selama ini, penghasilan Pertamina dari sumur-sumurnya sendiri tak bisa disebut besar. Dengan produksi yang kabarnya sekitar 90.000 barrel sehari, pemasukan yang diperoleh setahun dengan harga ekspor yang berlaku sekarang, tak akan lebih dari $ 400 juta. Sedang jasa-jasa yang diperoleh dari perusahaan minyak asing tak seberapa bila dibandinkan dengan kegiatan Pertamina selama ini. Alhasil dalam suasana yang masih dikerumuni hutang, masih dibutuhkan waktu lama bagi perusahaan minyak negara ini untuk sembuh kembali. Usaha penyembuhan memang tengah berlangsung. Proyek dan urusan di lingkungan Pertamina yang berjubel itu ternyata tak cukup diurus oleh satu dua instansi. Tubuh Pertamina yang makin membesar dan mencakup berbagai masalah itu rupanya perlu dibenahi oleh banyak orang. Maka sejak bulan April tahun lalu, telah dibentuk tak kurang dari 9 Panitia Penyehatan. Setiap panitia lahir liwat Keputusan Presiden (Keppres). Ini selain memang memerlukan restu dari Kepala Negara juga memberi gambaran: betapa besar dan seriusnya persoalan. "Yah, untuk ngurusi Pertamina ini rupanya perlu main Keppres", gurau seorang perwira ABRI yang ikut dalam sebuah team. "Semua ini membuat kita harus kerja ngelembur". Rupanya di samping duduk sebagai anggota team, setiap pejabat itu harus tetap menjalankan tugas mereka sehari-hari. Melihat umurnya yang belum 9 bulan, tentu belum bisa diharap banyak dari hasil para anggota team itu. Sekali pun begitu usaha untuk sedikitnya meringankan beban Pertamina sudah mulai terasa. Menteri Sumarlin yang mengetuai team Krakatau Steel sejauh ini sudah bisa melepaskan beban Pertamina dari Krakatau Steel. Sekalipun bukan termasuk anak perusahaan, dulu uang pinjaman Pertamina banyak dituang ke proyek itu. Kini Pr Krakatau Steel sudah berdiri sendiri tanpa ada sangkut pautnya dengan Pertamina. Sebagai imbalan, hutang Pertamina terhadap para kontraktor dalam dan luar negeri dianggap lunas. Dan Menteri Sumarlin kemudian mendapat tugas baru lagi. Berdasarkan sebuah Keppres pula, di dikukuhkan untuk mengetuai segala masalah yang berhubungan dengan parakontraktor luar dan dalam negeli, termasuk semua anak-anak perusahaan Pertamina. Begitu juga Team Tehnis yang terdiri dari 3 jenderal -- Letjen Hasnan Habib, Mayjen Piet Haryono dan Brigjen Ismail Saleh SH -- telah pula menyelesaikan sebagian dari tugas besar yang dipasrahkan pada mereka. Adalah tugas trio jenderal itu untuk meneliti masalah yang berhubungan dengan investasi-investasi besar, termasuk dari PT Patra Jasa anak perusahaan Pertamina yang dipasrahi tugas bangun membangun gedung, kantor, wisma dan hotel. Lihat: Patra Jasa Misalnya). Team tersebut juga meneiiti Anggaran Belanja Pertamina, struktur organisasi dan kabarny juga tentang Usul-usul Peraturan Kerja. Yang terakhir ini dikabarkan masih dalam penelitian. Dan menyangkut, antara lain, penegasan kembali hubungan antara Dewan Komisaris dengan Direksi, tentang wewenang Direksi, juga tentang kedudukan anak-anak perusahaan. Akan halnya organisasi Pertamina pada 6 Desember lalu telah lahir pula sebuah Keppres no.44. Keppres tentang Pokok-Pokok Organisasi Pertamina itu, sepintas lalu tampaknya tidak mengandung perubahan besar bila dibandingkan dengan yang sudah ada dalam UU Pertamina no.8 tahun 1971. Tapi yang menarik di situ adalah ditempatkannya kedudukan Divisi, Dinas dan PU (pimpinan unit) Pertamina dalam hubunan baru yang tidak terpusat pada kendali Direktur Utama. Tadinya bagian-bagian itu berdiri sendiri dan punya hubungan langsung dengan Direktur Utama. Kepala Divisi Pemeliharaan, misalnya, yang tadinya dipegang H. Syarnubi Said, bisa saja langsung berhubungan dengan Dirut. Begitu pula Kepala Divisi lainnya yang seluruhnya berjumlah 9. Juga Kepala Dinas, yang berjumlah 5 itu, masing-masing punya izin langsung ke pucuk pimpinan. Hal yang sama berlaku bagi masing-masing PU yang tersebar di 7 Unit. Melalui Keppres 44, hubungan yang langsung itu ditiadakan. Dan kedudukan para Direktur -- yang kini berjumlah 6 orang dan masing-masing mengepalai Direktorat -- juga membawahi Divisi-Divisi atau Sub-Direktorat. Selanjutnya setiap Divisi terdiri dari beberapa Dinas atau Biro dan setiap Dinas terdiri dari beberapa Seksi atau Bagian sesuai dengan kebutuhan. Sedang jumlah Divisi yang tadinya berkelompok dalam satu bagian, kini dipisahkan sesuai denan fungsinya. Hingga setiap Direktorat hanya membawahkan 3 Divisi. Sementara itu kedudukan Asisten Umum Dirut -- "sebangsa" Aspri ditiadakan. Dan semua urusan yang tadinya dipegang Asisten Umum tampaknya sekaran berada di bawah ir. Wiyarso, Direktur Umum, pos yang belum lama dibentuk dalam Pertamina. Tampaknya Direktorat Umum itulah termasuk yang paling banyak urusannya. Selain tetap menjabat sebagai Direktur Direktorat Migas, kedudukan Wiyarso di Pertamina yang meliputi berbagai bidang penting, juga menyelenggarakan kegiatan yang tak temmasuk tugas para direktur lainnya, seperti bidang Humas, Hukum dan anak-anak perusahaan dan lain-lain. Sekalipun jarang terdengar di kalangan luar, figur Wiyarso bukan orang baru dalam Pertamina. "Hanya sekarang ia diserahi tugas sebagai penanggungjawab", kata seorang anak buahnya. Terlalu banyak untuk dikemukakan satu per satu tentang perubahan organisasi dalam tubuh Pertamina itu. Tapi yang juga menarik untuk disebutkan adalah dibentuknya Inspektorat Perusahaan: unsur pengawasan dalam perusahaan yang berada langsung di bawah Direktur Utama. Adapun tugas pokok sang pengawas -- yang hingga sekarang belum ditetapkan orangnya -- adalah melakukan pengawasan dalam lingkungan perusahaan. Maksudnya agar dapat mencegah atau mengambil tindakan terhadap hal-hal yang menyirnpang dari kebijaksanaan yang telah ditetapkan Direksi, hingga semua unsur perusahaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan yang sudah ditetapkan. Tapi sebagaimana biasa dikatakan orang, yang penting kemudian bukan cuma sistemnya, tapi pribadi si pelaksana -- terutama dalam kedudukan sebagai pengawas. Itu tak berarti sistem tidak penting, buat mencegah salah-urus yang berkepanjangan. Manusia toh terbatas, dan ternyata tidak gampang mengelak dari berbuat salah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus