Banyak bidung dicakup Presiden ketika membawakan pidato RAPBN 19
7G/19 77 yang 28 halaman itu. Yang menarik perhatian adalah
tentang masalah krisis Pertamina yang dikemukakan Presiden
sebanyak 3« halaman. Berikut ini adalah kutipan pidato
tersebut, khusus tentang Pertamina:
KEINGINAN Pertamina untuk memanfaatkan kemampuannya dalam
pembangunan nasional telah mendorong perusahaan tersebut untuk
melakukan investasi-investasi yang besar dalam berbagai kegiatan
yang cukup luas. Investasi-investasi yang besar itu dilakukan
dengan harapan dapaf memperoleh sumber pembiayaan dari pasaran
modal di luar negeri, yang dengan adanya petrodolar dalam jumlah
yang besar, yang waktu itu memang memungkinkan tersedianya dana
yang cukup bagi pembiayaan berbagai kegiatan yang besar. Dalam
keadaan demikian-Pertamina telah mengadakan kontrak pembangunan
proyek-proyek besar, walaupun sumber biaya yang diperlukan untuk
itu belum terjamin secara penuh.
Tetapi ternyata perkembangan ekonomi dunia mengalami perobahan.
Pasaran uang dan modal menjadi sempit dan terbatas. Pertamina
mencoba mencari jalan keluar dengan mengadakan pinjaman jangka
pendek untuk membiayai proyek-proyek yang sifatnya jangka
panjang. Sementara kebutuhan modal untuk membiayai
proyek-proyek yang telah dimulai bertambah besar, namun pasaran
uang dan modal internasional belum juga bertambah baik. Dalam
pada itu pinjaman jangka panjang yang diharapkan Pertamina tidak
kunjung tiba. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
berbagai proyek dicoba diatasi dengan menggunakan terlebih
dahulu sebagian dari hasil minyak bumi yang seharusnya menjadi
penerimaan negara, yang berasal dari kontrak karya dan kontrak
bagi hasil.
Dalam pada itu kesulitan-kesulitan bertambah berat karena
administrasi perusahaan belum memadai, terutama untuk
mengendalikan perusahaan yang tumbuh dengan cepat dan mempunyai
kegiatan yang demikian luas.
Kesulitan yang dialamioleh Pertamina tentu saja mempunyai
akibat-akibat yang luas, terutama karena menyangkut
jumlah-jumlah yang sangat besar. Di samping akibatnya bagi
perusahaan sendiri, telah pula menimbulkan serangkaian
akibat-akibat yang mendalam bagi peningkatan kegiatan
pembangunan nasional pada umumnya. Adapun rangkaian
akibat-akibat tersebut berlangsung melalui pengaruhnya terhadap
penerimaan negara, cadangan devisa, pinjaman luar negeri, dan
perkreditan dalam negeri.
Sebagaimana dimaklumi penerimaan negara yang berasal dari sektor
minyak bumi memegang peranan yang sangat penting. Penerimaan
negara dari minyak bumi ini untuk bagian terbesar berasal dari
produksi kontrak karya untuk sebagian lagi dari produksi bagi
hasil production sharing), dan untuk sebagian kecil berasal
dari produksi Pertamina sendiri. Dengan demikian kesulitan yang
dihadapi Pertamina tidaklah akan besar pengaruhnya terhadap
penerimaan negara, sepanjang penyetoran penerimaan negara dari
produksi kontrak karya dan bagi-hasil tidak terganggu.
Karena pada tahun 1974/1975 dan permulaan tahun anggaran
1975/1976 hasil devisa dari kontrak karya dan bagi-hasil yang
seharusnya diserahkan kepada Pemerintah melalui Pertamina,
ternyata tidak sepenuhnya diserahkan oleh Pertamina, maka
kejadian ini telah mempengaruhi penerimaan negara, dan dengan
demikian mengurangi kemampuan untuk meningkatkan laju
pembangunan nasional. Oleh karena itulah Pemerintah telah segera
mengambil serangkaian langkah-langkah untuk mencegah terulangnya
kembali kejadian-kejadian tersebut. Langkahlangkah ini antara
lain berbentuk ketetapan mengenai tata cara penyetoran
penerimaan negara dari minyak bumi, yaitu bahwa seluruh
penerimaan negara dari minyak bumi dibukukan secara langsung
oleh Bank Indonesia dalam rekening Pemerintah pada Bank
Indonesia. Demikian pula ditetapkan bahwa semua ekspor dan impor
oleh Pertamina harus dilakukan dengan pembukaan L/C melalui Bank
Indonesia. Dengan rangkaian langkahlangkah ini Pemerintah yakin
bahwa penerimaan negara dari minyak bumi akan lebih terjamin,
demi peningkatan pelaksanaan pembangunan.
Tidak Terlaksana
Masalah Pertamina juga mempunyai pengaruh terhadap cadangan
devisa kita. Penerimaan negara yang berasal dari minyak bumi
hampir seluruhnya berbentuk devisa. Dengan tidak diserahkan
sepenuhnya penerimaan negara dari kontrak karya dan bagi-hasil
oleh Pertamina kepada Pemerintah maka peningkatan cadangan
devisa nasional tidak terlaksana sebagaimana seharusnya. Di
samping itu Pemerintah telah membantu Pertamina mengatasi
kesulitan pembayaran kembali hutang-hutangnya dengan menggunakan
dana devisa yang telah berhasil dihimpun selama beberapa tahun
ini. Ini semua mengakibatkan cadangan devisa nasional yang
seharusnya meningkat dengan cepat dan dapat dipergunakan untuk
makin mempercepat pelaksanaan REPELITA, justru mengalami
kemunduran. Oleh karena itulah maka Pemerintah telah segera
mengambil serangkaian tindakan-tindakan guna memperkuat kembali
cadangan devisa nasional. Salah satu langkah penting yang telah
dilakukan Pemerintah adalah diadakannya pinjam-pinjaman dari
pasaran modal internasional.
Pinjaman luar negeri untuk memperkuat cadangan devisa dalam
rangka mengatasi masalah Pertamina tersebut berjumlah sekitar US
$ 1,0 milyar dan berupa pinjaman dengan syarat-syarat komersiil.
Pinjaman ini adalah pinjaman Pemerintah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Bank Indonesia. Adanya pinjaman komersiil dalam
jumlah yang sangat besar ini membawa akibat pula bagi
usaha-usaha untuk meningkatkan laju pembangunan. Sebagaimana
dimaklumi, kemajuan-kemajuan yang teLIh tercapai dalam
melaksanakan pemhangunan nasional telah menumbuhkan kemampuan
untuk lebih mempercepat lagi laju pelaksanaan REPELITA. Dalam
hubungan ini di samping pinjaman-pinjaman luar negeri dengan
persyaratan lunak telah pula mulai dimanfaatkan
pinjaman-pinjaman luar negeri dengan persyaratan setengah lunak
untuk proyek-proyek pembangunan di berbagai sektor. Dalam
melakukan pinjaman-pinjaman setengah lunak itu diperlukan
kewaspadaan yang besar agar supaya beban pembayaran kembali
pinjaman-pinjaman tersebut di kemudian hari tidak melampaui
batas kemampuan.
Kewaspadaan tersebut kini lebih diperlukan lagi dengan
dilakukannya pinjaman komersiil luar negeri dalam jumlah yang
sangat besar dalam rangka mengatasi masalah Pertamina. Agar
supaya beban pembayaran kembali keseluruhan pinjaman luar negeri
Pemerintah tidak akan melampaui batas kemampuan, maka Pemerintah
telah menetapkan kebijaksanaan untuk membatasi jumlah pinjaman
setengah lunak dari luar negeri untuk proyek-proyek pembangunan.
Dalam pada itu sebagian daripada kewajiban pembayaran Pertamina
untuk dalam negeri berbentuk mata uang rupiah. Untuk membantu
Pertamina memenuhi kewajiban pembayaran tersebut, Pemerintah
menyediakan dana rupiah melalui Bank Indonesia. Jumlah yang
diperlukan untuk itu sangatlah besar. Di lain fihak peningkatan
kredit perbankan secara keseluruhan perlu dilakukan dalam
batas-batas kewajaran, sehingga tidak membahayakan kestabilan
ekonomi yang sangat diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan
pembangunan. Sehubungan dengan itu maka penyediaan kredit untuk
sektor-sektor lain dikendalikan secara lebih cermat lagi dengan
tetap memperhatikan prioritas pembangunan. Dengan demikian
diharapkan bahwa di satu fihak bantuan keuangan untuk Pertamina
dalam mata uang rupiah dapat terlaksana, sedang di lain fihak
pertambahan kredit perbankan secara keseluruhan tetap
berlangsung dalam batas-batas kewajaran.
Dengan adanya akibat-akibat yang cukup luas itu, maka
langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah di samping
untuk mengatasi masalahnya bagi Pertamina sendiri, juga untuk
membatasi akibat-akibat yang merugikan bagi peningkatan
pembangunan serta sekaligus juga untuk mencagah
terulangnya kembali kejadian yang serupa. Pemerintah yakin
sepenuhnya bahwa dengan rangkaian tindakan-tindakan tersebut
yang dilaksanakan secara mantap, maka Insya Allah, masalah
Pertamina akan teratasi dan peningkatan dalam tahun 1976/1977
dan seterusnya akan berlangsung sebagaimana diharapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini