R.M. Hadjiwibowo, 57, sampai belum lama ini menjadi direktur PT
Unilever Indonesia selama 21 tahun. Sesudah dipensiunkan, dia
kini masih dipakai perusahaan itu sebagai penasehat. Juga
Hadjiwibowo masih beredar sebagai Dir-Ut PT Sangkulirang,
perusahaan patungan Unilever dan Angkatan laut, yang memegang
HPH hutan) 100 000 Ha di sekitar teluk Sangkulirang, Kalimantan
Timur. Pandangannya.
PENGELOLA ekonomi kita tampaknya akan tetap cenderung
menstabilkan kurs Rp 415 terhadap dollar Amerika. Banyak orang
kini menganggap Rp ini dinilai berlebihan. Misalnya, dollar
dianggap sebanding Rp 800. Over-value itu mungkin benar bila
sudah diperkirakan tambahan bea masuk, PPn impor dan biaya impor
lainnya. Namun kurs Rp 415 bisa dipertahankan slama masih ada
surplus (perdagangan). Masih ada pintu belakang untuk tidak
menurunkan nilai Rp, a.l. dengan cara mengurangi pajak ekspor
dan menambah bea masuk.
Tingkat infilasi (11,82%) sampai akhir 1977 masih bagus. Tahun
'78, diduga itu akan hampir sama. Jika lajunya dibikin di bawah
10%, kegiatan ekonomi kita akan tersumbat dan seret.
Prospek kayu tidak terlalu jelek. Harga minyak kelapa sawit akan
menurun karena suplai banyak, tapi ekspornya akan tetap
menguntungkan. Banyak negara produsen, termasuk Indonesia, kini
menambah areal penanaman kelapa sawit. Jumlah komoditi ekspor
kita tahun '78 akan bertambah dengan semen. Sandang sudah cukup,
tapi kondisi pangan merupakan sumber ketakutan. Untuk soal
pangan, khusus beras, perlu diperhatikan sudut kepentingan
petani produsen, jangan enaknya konsumen tok.
Idham, 59, menjadi pegawai negeri sampai 1955 yang kemudian
teriun ke bisnis swasta, khususnya bidang perbankan. Kini
menjadi Dir-Ut PT Bank Niaga, Idham menganalisa:
KITA ini pada hakekatnya adalah leveransir bahan baku.
Faktanya sekarang nilai komoditi kita (dari pertambangan maupun
pertanian) di pasar dunia sedang merosot. Posisi kita sebagai
leveransir ini dalam perdagangan internasional jadi lemah. Maka
1978 adalah tahun susah, apalagi banyak devisa diserap pula
untuk kebutuhan pangan.
Bisnis perbankan akan berjalan seperti 1977, yaitu yang besar
makin besar dan yang kecil makin sulit. Persaingan makin tajam.
Bank yang punya banyak dana akan mampu menawarkan sukubunga
rendah. Rata-rata sukubunga bank swasta sekarang 2o sebulan.
Pemerintah menurunkan lagi sukubunganya. Tapi effeknya mungkin
sedikit sekali sebagai akibat kelambanan prosedure memperoleh
kredit dari bank pemerintah. Kelambanan berarti tambahan ongkos
bagi pengusaha. Bank swasta umumnya mungkin akan bisa bersaing
dengan bank pemerintah dalam hal pelayanan, tapi sulit dalam hal
tingkat sukubunga.
Namun umumnya perusahaan akan kekurangan likwiditas. Volume
kredit mungkin bertambah tapi masih ada pembatasan Bank
Indonesia. Sekarang banyak pedagang menyalurkan baMngnya dengan
kredit. Demikian pula jarang sekali distributor menjual dalam
partai besar dengan tunai. Sistim ini membikin seret kalau
pengusaha kehabisan uang untuk meningkatkan volume bisnisnya.
Kalau nas bah susah, ya bankir ikut susah.
Ali Noor Luddin, 57, di Kamar Dagang & Industri KADIN) memimpin
bidang investasi. Lingkungan bisnis juga mengenalnya sebagai
tokoh PT Masalu, perusahaan pribumi yang menyalurkan barang
kapital dari sejumlah pabrik luar negeri. Memasuki 1978, Luddin
berpendapat:
EKSPLORASI minyak kelihatan akan berangsur ramai lagi.
Investasi di bidang perminyakan sudah 90 pasti akan bertambah.
Tapi semua itu akan terjadi jauh dari keramaian kota.
Investor akan berpikir panjang untuk bidang industri. Struktur
biaya sekarang ini melesukan industri tertentu. Lihat bidang
besi beton darl kabel yang sudah berlebihan. Produk yang diimpor
dengan bebas bea karena kaitan bantuan proyek luar negeri
hendaknya ditinjau supaya jangan makin memukul industri
domestik.
Investasi dianjurkan ke bidang perkebunan yang berorientasi
ekspor. Prospeknya baik. Perkebunan negara memang sudah mulai
menambah investasinya. Tapi modal swasta masih perlu didorong
untuk perkebunan. Ada sekitar 600.000 hektar perkebunan milik
swasta yang terbengkalai, memerlukan rehabilitasi.
Syamsit Rachman, 45, pengusaha karet nasional terbesar di
kalanan pribumi, menjadi Dir-Ut PT Sira, PT Nusira dan PT
Panca Surya. Ketiganya adalah produsen-eksportir crumb rubber
(Karet bongkah). Rachman yang berasal Bagan Siapi-api ini
melihat:
DI Amerika Serikat tahun '78, sudah diperkirakan orang bahwa
produksi mobil akan turun. Ini berarti permintaan akan ban mobil
pun berkurang, yang justru berkaitan dengan karet kita. (Lk. 80%
ekspor karet Indonesia dibeli AS). Begitu juga di Eropa Barat,
industri akan berkurang membeli karet. Jika volume ekspor kita
ke AS masih bisa tetap, dan walaupun kurs Rp terhadap dollar
tetap, nilai riilnya akan berkurang terutama bila uang kita
dibelanjakan di Jerman atau Jepang. Maka '78 adalah tahun ujian.
Harga karet sekarang, menurut bursa Singapura, jatuh ke S$1.90
per Kg, atau S$1.91 untuk pengapalan Januari, dari S$2.1 I pada
September yang lalu. Diharapkan harganya naik lagi ke S$2
menjelang akhir '78.
Sekarang pembelian slabs (bahan baku untuk CR) oleh pengusaha
yang tak punya perkebunan karet dikenakan PPn Rp 15 per Kg. Tapi
pungutan itu ditiadakan untuk perkebunan negara. Kita
menginginkan supaya pajak itu dihapuskan untuk semua. Selain itu
pajak ekspor 5% dari harga patokan terasa tidak mengikuti
suasana.
Ada disebut-sebut bantuan Bank Dunia untuk perkebunan, tapi
peremajaan tanaman karet rakyat belum diperhatikan. Kalau ini
diabaikan, mungkin kedudukan Indonesia yang kini no.2 sesudah
Malaysia, tak lama lagi akan menjadi no. 3 sesudah Muangthai
sebagai produsen karet di dunia.
Arnold Baramuli, 47, pernah menjadi guru, jaksa dan gubernur.
Orang yang mempunyai banyak bakat ini secara terbuka terjun ke
dunia bisnis mulai 1974. Sebagai Dir-Ut PT. Poleko, Baramuli
memimpin sejumlah anak perusahaan serta mengetuai sejumlah
Asosiasi Dari aneka-ragam perhatian bisnisnya, berikut ini
sedikit petikan pendapatnya:
Arnold masih prihatin. Sejak 3 bulan belakangan ini harga kayu
merosot sebanyak $15 per-M3. Jepang adalah pembeli kayu kita
yang terbesar. Ketergantungan rada Jepang ini tak sehat tapi
keadaan itu akan berlangsung pada tahun 1978.
Usaha garment (pakaian jadi) pun masih sulit. Harga impornya
lebih murah, sedang kita ingin mengekspornya. Ini tentu sulit
jika tanpa fasilitas pemerintah. Kita ingin fasilitas berusaha
di lingkungan bonded area untuk menekan, ongkos.
Pokoknya, dunia usaha kita umumnya masih tak mungkin keluar dari
suasana biaya ekonomi yang tinggi. Contoh lain ialah industri
karung goni yang terpukul oleh peraturan bea masuk 20 tahun
lalu. Kalau impor karung goni dulu kena tarif 40%, sekarang pun
segitu. Seharusnya sekarang tarif bea masuk itu sudah 80%. Jadi,
perpajakan tak mengikuti perkembangan usaha domestik. Iklim
usaha yang sehat belum pula tercipta. Biaya produksi menjadi
besar.
Penyelewengan di instansi pemerintah sukar dikontrol rakyat.
Problim tahun ini bagaimana menurunkan kebocoran sampai 10% saja
dari 30% sebelumnya.
Ibrahim Risyad, 43, menjad i Direktur Pemasaran & Keuangan di PT
Wan'ngin Kencana yang memiliki pabrik crumb rubber di Palembang
dan Jambi, PT Distinct Indonesia Cement Indocement) yang punya
pabrik di Cibinong, dan PT Bogasari Flour Mill yang menggiling
gandum di Tg Priok dan Tg. Perak Surabaya. Ketiganya masuk
kelompok Sudono Salim (d/h Liem Swie Liong). Risyad yang berasal
Aceh ini berkata:
SAYA optimis. Perbaikan harga C karet di pasar internasional
akan terjadi di tahun '78. Tapi pemerintah Singapura pantas
dicontoh karena eksportir dibantunya menekan cost of money, a.l.
berupa pemberian asuransi kredit dan pen,oayaran duluan oleh
bank waktu L/C dibuka.
Pemakaian semen di dalam negeri ditaksir akan naik 15-20%,
dibanding kenaikannya tahun lalu tak sampai 10%. Indocement akan
selesai dengan ekspansi ketiga bulan September, hingga kapasitas
produksinya setahun meningkat dari 1 juta ke 2 juta ton. Ini
memungkinkan bagi Indocement mulai mengekspor tahun ini juga,
dengan tujuan Timur Tengah sebanyak 10.000 ton dalam tahap
pertama. Dengan kalkulasi sekarang, harga semen kita memang
tidak bisa bersaing di luar negeri. Tapi nanti kita akan bisa
bersaing dengan fasilitas pemerintah. Usaha ke arah itu cukup
cerah.
Usaha real estate dengan perumahan mewah masih akan tetap suram
pada tahun '78. Persaingan antara sesama konkontraktor akan
makin tajam. Umpamanya, ada 70 perusahaan yang ikut tender untuk
proyek peningkatan pelabuhan Surabaya yang dibiayai ADB (Bank
Pembangunan Asia). Sekitar 70% dari 70 itu adalah kontraktor
domestik.
PT Bakrie & Brothers sudah dikenal berpengalaman mengekspor
komoditi hasil pertanian, terutama karet, lada dan kopi. Dari
perusahaan 'oang Lampung' itu, direktur Hamizar Hamid, 50,
meninjau:
Produsen-eksportir karet sekarang dibebani pajak yang berat.
Akibatnya, perkebunan rakyat makin sukar diremajakan yang
akhirnya berpengaruh pada produksi. Soal peremajaan ini paling
mendesak. Soal mengekspor karet itu sendiri, walaupun harganya
di pasar Amerika Serikat sekarang kurang baik, tidak merupakan
problim. Karena industri permobilan diharap akan pulih kembali
selama '78, harganya akan naik lagi.
Harga kopi tak mungkin melonjak lagi seperti yang dialami sejak
1975, karena terjadi kerusakan perkebunan kopi Brasilia. Ketika
itu harganya naik ke US$6 per Kg, C&F Amerika, dari US$1 untuk
kewalitas Eka I. Banyak orang kita bisa naik haji karenanya.
Sampai awal '77 harganya masih di atas US$6, tapi sekarang
merosot ke US$ 3. Amerika Serikat telah mengurangi minum kopi
dengan 10-20%. Tapi jangan kuatir. Kaum peminum kopi di tempat
lain, bahkan juga di Indonesia sendiri, bertambah.
Perhatian pada lada perlu ditingkatkan. Sebagai produsen lada,
Indonesia adalah no. 2 setelah India. Harganya agak stabil tidak
sering turun-naik. Dewasa ini misalnya, lada hitam per pound
berharga US$1.12, C&F Amerika, dibanding tahun lalu terendah US$
0.95.
Ekspor Indonesia tiap tahun mencapai Ik 15000 ton lada hitam
dan 3000-5000 ton lada putih. Yang penting sekarang ialah supaya
pemerintah membantu petani memperluas areal kebun lada, memberi
penyuluhan tentang pemakaian bibit unggul. Produksinya sekarang
masih di bawah tingkat sebelum perang dunia--40.000 ton setahun.
Lada Indonesia yang mutunya setaraf dengan India sudah dikenal
di pasaran internasional. Masih ada kemungkinan untuk
memperbesar lagi ekspornya.
Sudardjo, 52, Dir-Ut PT Irosteel Works dan PT Baja Indonesia
Utama menyinggung soal besi beton. Petikan:
HARGA penjualan pabrik di tahun '78 tidak bisa membaik. Walaupun
akhir Desember harga besi beton naik ke Rp 110 per Kg dari
kejatuhan Rp 85 bulan Juni, ini belum menutup ongkos. Umumnya
pabrik bekerja 25% dari kapasitas. Permintaan akan besi beton
pada tahun '78 paling banter naik 10%, mencapai sekitar 500.000
ton saja.
Kenaikan permintaan itu diduga disebabkan proyek pemerintah
seperti pmbangunan waduk di Brantas, Benuwan Solo dan
Wonogiri. Akan ada pulu sejumlah pembangunan jembatan memakai
besi beton. Sektor swasta mungkin tak meminta banyak tambahan,
karena melihat berkurang usaha real estate.
Proyek Asahan ditaksir membutuhkan 250.000 ton besi beton. Tapi
itu sudah termasuk paket dari Jepang. Jika anjuran pemerintah
agar konsumen menggunakan produksi dalam negeri itu betul-betul
dilaksanakan, semuanya akan beres.
Jangan bicara tentang ingin ekspor. Walaupun jumlah kapasitas
pabrik memungkinkannya, bicara gituan sama saja dengan mimpi.
Dengan suasana biaya ekonomi yang tinggi, kita tak bisa
bersaing. Bunga bank tinggi, prasarana juga mahal. Tenaga
listrik di sini 3 sampai 5 kali lebih tinggi dibanding di Eropa.
Di sini diharuskan padat karya, sedang di luar negeri padat
modal.
Namun kita bisa juga mengekspor kalau ada perangsang pemerintah.
Pemerintah Jepang memberi perangsang ada eksportirnya. Harga
ekspor besi betonnya $180 F.o.b. tapi harga domestiknya $220 per
Kg. Hal sama juga terdapat di Belgia. Bagi Indonesia, tanpa
perangsang, harga ekspornya--setelah diperhitungkan bea masuk
bahan baku, PPn impur dan MPO--akan jatuh sekitar $269. Dengan
harga F.o.b. yang begini, bagaimana kita bisa mengekspor?
Santoso 'utrisno, 49, adalah sekjen Asosiasi Kontraktor
Indonesia (AKI) Sebagai sekjen, ia melihat bisnis kons truksi
secara menyeluruh, a.l. begini:
BAGI perusahaan besar, yang mampu menangani proyek Rp 1 milyar
ke atas, prospeknya cukup baik. Karena jumlah yang besar itu
sedikit, persaingan mereka masih dalam batas yang wajar. Selain
di dalam negeri bisnis konstruksi diduga akan meningkat, mereka
juga mulai mengekspor jasa ke Timur Tengah. Kini baru dua
perusahaan kontraktor nasional yang mengekspor jasa, yaitu PT
Pembangunan Jaya di Arab Saudi dan PT Teknik Umum di Iran.
Negosiasi sedang berlangsung untuk kemungkinan tiga perusahaan
lainnya menyusul mengekspor jasa.
Ditaksir volume bisnis konstruksi tahun '78 akan mencapai $2,8
milyar --naik 10% dari tahun sebelumnya di Indonesia. Dari porsi
besar itu, tentu saja, para kontraktor kecil akan dapat bagian
juga. Namun untuk proyek kecil--di bawah Rp 100 juta--pasti
persaingan akan makin tajam.
Bekerja di dalam negeri, para kontraktor dihadapkan pada soal
prosedur yang lamban, sering berlangsung 34 bulan. Sukubunga
masih dirasakan tinggi, walaupun pemerintah menurunkannya untuk
jasa konstruksi '78, dibanding di luar negeri. Kelambatan
prosedur itu akan berakibat tambahan ongkos Ik. 4-5% sukubunga.
Bayangkan, betapa beratnya itu bagi volume satu milyar rupiah.
Kemudian pembayaran pada kontraktor sering terlambat pula,
hingga mengganggu sekali bagi cash flow (mengalirnya uang
tunai).
Dalam mengekspor jasa, keuntungan kontraktor tampaknya akan
berkurang dengan makin merosotnya dollar. Semua transaksi
berlaku dengan matauang Amerika itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini