Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tiap Tahun Kita Ngomong

Harga minyak tak bisa naik, sedang impor beras meningkat sehingga penerimaan negara menurun. ada fasilitas kredit bagi eksportir & importir. volume ekspor non migas meningkat walau beberapa harganya turun.(eb)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK hal sudah terjadi sebelum Presiden Soeharto berdiri di depan mimbar DPR untuk menyampaikan RAPBN 1978/ 1979 minggu ini. Para peramal ekonomi masih belum melihat bahwa situasi ekonomi dunia yang membaik bakal mengiringi tahun 1978. Ini terutama akibat makin merosotnya dollar AS terhadap mata-uang beberapa negara lain. Pemerintahan Presiden Carter masih harus memutar otak agar defisit neraca perdagangan AS - yang dalam tahun 1977 mencapai hampir $30 milyar - tak akan berlari lebih kencang lagi. Dalam waktu yang hampir bersama an, organisasi negara pengekspor minyak (OPC) dalam sidang di Caracas 22 Desember lalu tak berhasil mencapai keputusan untuk menaikkan harga minyak. Dan Indonesia terpaksa giit jari. Usul yang dibawakan Menteri Pertambangan Moh. Sadli, untuk menaikkan harga minyak dengan 5% dari harga $12,70 per barrel yang berlaku sekarang, tak kesampaian di ibukota Venezuea itu. Dengan kata lain, sebanyak $300 juta atau sejumlah yang sama dengan ekspor karet rakyat, dalam setahun telah lepas dari tangan Indonesia. Keputusan bekunya harga minyak di Caracas itu tentu merupakan pelipur lara bagi Amerika. Tapi bagi Indonesia pasti akan berpengaruh dalam penentuan anggaran belanja tahun 1978-79. Maka tak heran kalau pagi-pagi sebelum bertolak ke Caracas, Menteri Sadli mengatakan bahwa Indonesia harus "ikat pinggang" dalam tahun anggaran yang baru. Beberapa pengamat ekonomi di dalam negeri pun mulai mereka ra seberapa ketatnya ikat pinggang itu perlu dilakukan Indonesia. Banyak yang bersepakat kekurangan yang $300 juta itu atau sekitar Rp 125 milyar tak akan begitu sulit ditutup, kalau saja impor beras tak mencuat naik seperti sekarang. Beras, seperti kata R.M. Hadjiwibowo dari Unilever, bisa jadi "sumber kebahagiaan, kesedihan dan ketakutan." Maka orang di Indonesia kini boleh bersedih ketika Kepal Bulog Bustanil Arifin akhirnya mengakui impor beras Indonesia sampai dengan Maret 1978 nanti akan mencapai 2,4 juta ton. Orang pun boleh berdebat tentang latar belakang sebenarnya dari meroketnya impor beras itu. Tapi yang pasti Bulog tetap mencapai rekor sebagai penyadap devisa terbesar, akibat gagalnya panen di dalam negeri. Melompatnya unpor beras dari dugaan semula yang 1,6 juta ton itu tentu akan memberi gambaran lain terhadap anggaran belanja dan pendapatan pemerintah tahun 77/78 yang akan herakhir bulan Maret nanti Ketika itu anggaran penerimaan dan pengeluaran negara dicanangkan sebesar Rp 4.247,3 milyar: suatu jumlah yang meningkat Rp 726,7 milyar (atau bertambah 0,64%) dari rencana anggaran 1976/1977. Tapi dibandingkan APBN 1976/1977 yang berhasil mencapai surplus Rp 5,5 milyar - dengan impor beras waktu itu sebanyak 1,2 juta ton - menjadi pertanyaan apakah dalam bulan Maret yang penting nanti pemerintah masih bisa mengecap surplus. Harian Kompas dalam tinjauan ekonomi tutup tahun yang terbit pekan lalu mencatat beberapa kesulitan dalam pos penerimaan negara. Diperkirakan penerimaan negara dari Ditjen Bea Cukai tak akan mencapai sasaran Rp 600 milyar. Begitu pula pos penerimaan dari minyak diduga tak akan selicin yang diharapkan, berhubung Indonesia tak bisa menaikkan harga minyak mentahnya sesuai dengan keputusan sidang OPEC di Doha, ibukota emirat Qatar pertengahan Desember 1976. Ketika itu pasaran minyak dunia memang agak kacau akibat ditetapkannya harga ganda yang baru berakhir pada pertengahan tahun 1977. Kalau benar demikian, anggaran negara tahun 1978/1979 akan merupakan Suatu bujet yang prihatin. Beberapa sumber TEMPO merasa pasti bahwa RAPBN yang mendatang ini akan tetap bisa menunjukkan angka yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tapi "tambahan penerimaan akan sangat terbatas," kata seorang pejabat ekonomi. Berapa besar kenaikan itu akan bisa dilihat dalam beberapa hari ini. Beberapa kalangan bisnis asing memperkirakan kenaikan anggaran kali ini akan berkisar sekitar 10%. Kenaikan yang hanya separoh dari tahun sebelumnya, andaikata benar, menunjukkan bahwa uang yang masuk dari minyak berupa pajak perseroan dan pajak dari hasil minyak lainnya, masih tetap diandalkan sebagai peredam kejutan bagi ekonomi Indonesia. Menteri Sadli pekan lalu mengakui bahwa hasil devisa dari minyak tak akan bertambah dalam tahun ini. Tapi dia merasa yakin bahwa pemasaran minyak Indonesia yang berkadar belerang rendah itu tak akan mengalami banyak kesulitan. Mudah-mudahan apa yang dikatakan Sadli itu benar. Tapi untuk menekan timbulnya kejutan di sektor lain, pemerintah rupanya merasa sudah saatnya untuk juga berpaling lagi pada bidang investasi, perdagangan dan Jasa dalam negeri. Tiga hari sebelum tutup tahun 1977, sidang kabinet paripurna keluar dengan keputusan yang lama sudah ditunggu-tunggu kaum swasta: pemberian fasilitas kredit baru bagi eksportir dan importir. Begitu L/C dibuka maka kini eksportir bisa menerima wesel berjangka 3 sampai 6 bulan dari bank. Maka si eksportir dimungkinkan untuk melakukan jual-beli wesel itu di pasaran. Dengan demikian eksportir bisa menekan ongkos uang. Pelicin perdagangan lainnya adalah dalam hal impor. Setelah ditutupnya merchant L/C yang memungkinkan para importir dibiayai oleh pengirim barang di luar negeri, banyak industri di dalam negeri merasa terjepit, karena tak punya dana untuk mendatangkan kebutuhan bahan bakunya dan barang kapital. Kini pemerintah lewat bank akan memberi kredit di muka agar importir bisa membeli kebutuhannya dengan membayar setelah barang tiba Jadi kurang lebih fasilitas kredit bagi irnportir itu merupakan suatu bentuk baru dari merchant L/C. Namun pemerintah tak akan bersikap royal dalam menyalurkan fasilitas kredit itu. Tapi akan bersifat selektif. Dirjen Perdagangan LN Dr Suhadi Mangliusuwondo, dalam keterangan persnya pekan lalu, menyatakan masih akan meneliti barang apa saja yang akan bisa menikmati fasilitas kredit ekspor dan impor itu. Dengan begitu keputusan yang disebutkan mulai berlaku sejak 1 Januari 1978 itu masih butuh waktu sebelum bisa dilaksanakan. Tapi bisa dipastikan fasilitas itu akan disalurkan pada bidang industri, kerajinan dan pertanian. Para fabrikan besi-baja, karung goni dan tekstil yang masih juga merasa megap-megap sekalipun sudah diberi'proteksi' boleh bergembira. Di bidang impor fasilitas pemerintah itu, menurut Suhadi, akan disalurkan ke tiga kelompok: barang modal, bahan baku dan suku cadang (onderdil). Para pengusaha swasta menyambut gembira paket akhir tahun itu, karena pemerintah juga memutuskan untuk menurunkan suku-bunga untuk semua golongan kredit. Berapa plafon kredit yang akan diberikan belum lagi diungkapkan. Barangkali yang bakal bersungut dengan keputusan pemerintah itu adalah para pemilik deposito berjangka, karena suku-bunganya kini diturunkan lagi, dengan 1« sampai 4%. Mudah diduga para penyimpan akan menarik uangnya sekalipun menurut Dir-Ut Bank Niaga, Idham, tak akan terjadi "rush" yang mendorong orang untuk beramai-ramai menarik simpanannya. TAPI yang patut dipersoalkan adalah: Apakah uang yang ditarik dari bank itu oleh para deposan akan disalurkan ke dalam dunia usaha, atau akan mereka tanam dalam harta berupa rumah dan tanah. Kalau yang terakhir akan terasa lebih aman bagi pemilik uang, ini tentu tak akan menciptakan kesempatan kerja. Selain uang yang berkeliaran itu tak akan mudah dikontrol, dalam awal tahun 1978 bertambah lagi lebih 1 juta tenaga kerja terjun mencari nafkah. Mungkin adalah harapan pemerintah agar para pemilik deposito berjangka itu mengalihkan simpanannya dengan membeli sertifikat PT Danareksa di Pasar Modal. Kembali pada dunia dagang, sampai sekarang para pengusaha masih saja mengeluh diganggu macam-macam pajak, baik pajak impor maupun ekspor. Syamsir Rachman, eksportir karet pemilik tiga pabrik crumb-rubber merasa tak adil pemerintah masih mempertahankan pungutan pajak berganda (lihat: .... Tapi Ada Yang Optimis). Sampai sekarang memang belum terbetik berita pemerintah akan meringankan pajak dalam dunia usaha. Dengan bekunya harga minyak malah bisa dipastikan Menteri Keuangan Ali Wardhana akan mendapat tugas berat untuk lebih menggalakkan pemasukan dari pajak. Menteri Wardhana bahkan mengharapkan penerimaan dari pajak yang diduga akan masuk Rp 800 milyar dalam anggaran yang masih berjalan, akan bisa ditingkatkan menjadi Rp 1 trilyun (Rp 1.000 milyar) dalam RAPBN 1978/1979. Semakin besarnya penerimaan pajak memang kian terasa dibutuhkan pemerintah di tengah bekunya harga minyak agar tetap terjadi surplus, atau setidaknya tak sampai timbul defisit. Kalau saja upaya penggalakan pajak itu dilakukan melalui pengumpulan yang lebih efisien, cara itu tentu tak akan berpengaruh pada kelancaran dunia usaha. Tapi bila usaha Ali Wardhana akan tetap menjadi tanggungan para pengusaha, ini bisa mengurangi maksud baik pemerintah dengan hadiah Tahun Baru-nya berupa paket fasilitas. Dari segi ekspor paket fasilitas itu bermaksud agar Indonesia bisa bersaing di luar negeri. Ini tentu tergantung dari berapa besarnya injeksi volume kredit yang akan disalurkan lewat bank-bank pemerintah, dan peningkatan dari plafon (batas) kredit yang sekarang berlaku. Pendek kata, paket fasilitas untuk ekspor itu baru akan berarti kalau rangsangan yang diberikan pemerintah bisa melumas kegiatan para eksportir yang selama ini mengidap kekurangan likwiditas. Mengingat sebagian besar dari ekspor Indonesia masih berkiblat ke Jepang, paket itu pun baru akan kentara hasilnya bila Jepang benar-benar akan meningkatkan pertumbuhan (growth) ekonominya sebanyak 7%. Tapi sebuah perusahaan riset swasta Jepang, Yamaichi, meramalkan tingkat pertumbuhan di Jepang dalam 1978 akan jatuh di seputar 5%. Tahun 1977, menurut hasil perusahaan riset Nikko di Tokyo, tingkat pertumbuhan di Jepang diperkirakan mencapai 5,1%. Sedang yang menjadi sasaran adalah 6,7%. Perdana Menteri Takeo Fukuda rupanya merasa perlu untuk lebih mengekang surplus perdagangannya dengan negara seperti Amerika, setelah Carter mengancam akan membalas dengan proteksi. Tahun 1977 surplus Jepang mencapai AS$ 17 milyar, hampir dua kali surplus yang diterimanya tahun sebelumnya. Kenyataan itu membuat Jepang dituding oleh AS sebagai biang keladi merosotnya nilai dollar. SESUNGGUHNYA terasa sulit bagi industri Jepang sendiri bila pemerintahnya asyik memupuk surplus yang besar. Selain ia mengacau ekonomi orang lain, gejala untuk berhemat-hemat itu ternyata membuat lesu kalangan industri menengah di Jepang sendiri. Kalau Jepang memang sudah bersiap untuk mulai royal, tentu ada harapan baik bagi eksorkayu Indonesia, yang akhir-akhir ini agak seret masuk ke sana. Bank Dunia menaksir harga kayu jenis lauwan akan naik dengan 7,4"70 dan jenis meranti bakal naik 3,4%. Juga diramalkan ekspor tembakau, tembaga, bauksit, pupuk (urea) dan karet akan meningkat dari Indonesia dalam tahun 1978. Ekspor karet bisa meningkat, barangkali disebabkan sang dollar sudah akan mulai pulih. Karet Indonesia sebagian besar diekspor ke AS. Dan Jepang yang mengendorkan pintu tarifnya dengan 318 barang, diharapkan akan melancarkan roda industri mobil di Amerika. Tapi ada juga yang oleh Bank Dunia diperkirakan akan turun harganya. Minyak kelapa sawit mungkin akan turun dengan 9%, tapi volume ekspornya - akan naik. Begitu pula teh akan turun dengan 12%. Panen harga kopi yang dinikmati Indonesia sejak dua tahun ini di pasaran dunia, kelihatannya berakhir setelah usainya musiball kopi di Brazilia. Menurut Bank Dunia harga kopi Indonesia akan turun secara mcnyolok di pasaran dunia sebanyak 247G dari tahun 1977. Kenaikan seperti diramalkan Bank Dunia itu berpatokan pada harga yang berlaku sekarang. Tapi bila dihitung dalam penerimaan yang sesungguhnya (in real terms), nilai ekspor umumnya di tahun 1978 akan berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tapi dasar namanya ramalan, dalam praktek bisa saja ada yang meleset. Gambaran tentang ekonomi 1978 menunjukkan tak akan terjadi sesuatu ang spektakuler. Tambahan dana yang kabarnya amat terbatas itu akan membuat berbagai departemen harus bekerja dengan lebih irit. Tapi jumlah subsidi, terutama untuk BBM (Bahan Bakar Minyak) akan men-besar. Apakah harga BBM akan naik lagi? Menteri Sadli seusai menghadap Presiden di Jl. Cendana, 2 Januari kemarin beranggapan harga BBM dalam negeri harus naik dalam tahun fiskal 1978/ 1979 nanti, mengingat uang yang masuk dari minyak diperkirakan akan turun. "Ini pendapat pribadi saya, tapi kapan dan berapa besar kenaikan itu bukan saya yang memutuskan," katanya. Pertamiba, dengan konsumsi domestik yang meningkat sekitar 10-15 harus menyediakan 17,3 milyar liter dalam tahun anggaran yang masih berjalan sekarang. Dengan subsidi Rp 10 per liter, berarti Pertamina rugi Rp 173 milyar setahun untuk melayani kebutuhan dalam negeri. Bila toh terjadi kenaikan, itu akan dilakukan setelah bulan Maret ]978. Bukan saja karena pemilihan Presiden oleh MPR nanti, tapi tahun flskal di Indonesia --berbeda dengan yang lazimnya berlaku di negeri orang--dimulai setiap 1 April. Kalau harga BBM dalam negeri nanti naik, tak bisa lain akan menyulut inflasi juga. Inflasi dalam tahun 1977 sudah dikemukakan oleh Presiden dalam pidato tutup tahun: setinggi 11,82%. Angka ini memang sedikit meleset dari sasaran pemerintah yang ingin menekan tingkat inflasi di bawah 10%. Para perencana ekonomi pasti akan sering kerja lembur lagi untuk mengekang kendali inflasi agar tak merayap lebih tinggi. Bagi kalangan swasta--terutama bisnis asing--adalah inflasi pula yang merupakan satu indikator yang menghantui mereka sampai sekarang: Akankah terjadi devaluasi? Dalam suatu interpiu dengan TEMPO, Dirjen Perdagangan LN Suhadi berkata kalem: "Pokoknya selama inflasi masih seperti sekarang, belum terasa urgensinya bagi pemerintah untuk menyesuaikan nilai tukar dollar dengan rupiah." Bagi mereka yang masih waswas boleh berlega dengan jawaban itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus