BANYAK hal sudah terjadi sebelum Presiden Soeharto berdiri di
depan mimbar DPR untuk menyampaikan RAPBN 1978/ 1979 minggu ini.
Para peramal ekonomi masih belum melihat bahwa situasi ekonomi
dunia yang membaik bakal mengiringi tahun 1978. Ini terutama
akibat makin merosotnya dollar AS terhadap mata-uang beberapa
negara lain. Pemerintahan Presiden Carter masih harus memutar
otak agar defisit neraca perdagangan AS - yang dalam tahun 1977
mencapai hampir $30 milyar - tak akan berlari lebih kencang
lagi.
Dalam waktu yang hampir bersama an, organisasi negara pengekspor
minyak (OPC) dalam sidang di Caracas 22 Desember lalu tak
berhasil mencapai keputusan untuk menaikkan harga minyak. Dan
Indonesia terpaksa giit jari. Usul yang dibawakan Menteri
Pertambangan Moh. Sadli, untuk menaikkan harga minyak dengan 5%
dari harga $12,70 per barrel yang berlaku sekarang, tak
kesampaian di ibukota Venezuea itu. Dengan kata lain, sebanyak
$300 juta atau sejumlah yang sama dengan ekspor karet rakyat,
dalam setahun telah lepas dari tangan Indonesia.
Keputusan bekunya harga minyak di Caracas itu tentu merupakan
pelipur lara bagi Amerika. Tapi bagi Indonesia pasti akan
berpengaruh dalam penentuan anggaran belanja tahun 1978-79. Maka
tak heran kalau pagi-pagi sebelum bertolak ke Caracas, Menteri
Sadli mengatakan bahwa Indonesia harus "ikat pinggang" dalam
tahun anggaran yang baru.
Beberapa pengamat ekonomi di dalam negeri pun mulai mereka ra
seberapa ketatnya ikat pinggang itu perlu dilakukan Indonesia.
Banyak yang bersepakat kekurangan yang $300 juta itu atau
sekitar Rp 125 milyar tak akan begitu sulit ditutup, kalau saja
impor beras tak mencuat naik seperti sekarang. Beras, seperti
kata R.M. Hadjiwibowo dari Unilever, bisa jadi "sumber
kebahagiaan, kesedihan dan ketakutan." Maka orang di Indonesia
kini boleh bersedih ketika Kepal Bulog Bustanil Arifin akhirnya
mengakui impor beras Indonesia sampai dengan Maret 1978 nanti
akan mencapai 2,4 juta ton.
Orang pun boleh berdebat tentang latar belakang sebenarnya dari
meroketnya impor beras itu. Tapi yang pasti Bulog tetap mencapai
rekor sebagai penyadap devisa terbesar, akibat gagalnya panen di
dalam negeri. Melompatnya unpor beras dari dugaan semula yang
1,6 juta ton itu tentu akan memberi gambaran lain terhadap
anggaran belanja dan pendapatan pemerintah tahun 77/78 yang akan
herakhir bulan Maret nanti Ketika itu anggaran penerimaan dan
pengeluaran negara dicanangkan sebesar Rp 4.247,3 milyar: suatu
jumlah yang meningkat Rp 726,7 milyar (atau bertambah 0,64%)
dari rencana anggaran 1976/1977.
Tapi dibandingkan APBN 1976/1977 yang berhasil mencapai surplus
Rp 5,5 milyar - dengan impor beras waktu itu sebanyak 1,2 juta
ton - menjadi pertanyaan apakah dalam bulan Maret yang penting
nanti pemerintah masih bisa mengecap surplus.
Harian Kompas dalam tinjauan ekonomi tutup tahun yang terbit
pekan lalu mencatat beberapa kesulitan dalam pos penerimaan
negara. Diperkirakan penerimaan negara dari Ditjen Bea Cukai tak
akan mencapai sasaran Rp 600 milyar. Begitu pula pos penerimaan
dari minyak diduga tak akan selicin yang diharapkan, berhubung
Indonesia tak bisa menaikkan harga minyak mentahnya sesuai
dengan keputusan sidang OPEC di Doha, ibukota emirat Qatar
pertengahan Desember 1976. Ketika itu pasaran minyak dunia
memang agak kacau akibat ditetapkannya harga ganda yang baru
berakhir pada pertengahan tahun 1977.
Kalau benar demikian, anggaran negara tahun 1978/1979 akan
merupakan Suatu bujet yang prihatin. Beberapa sumber TEMPO
merasa pasti bahwa RAPBN yang mendatang ini akan tetap bisa
menunjukkan angka yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tapi
"tambahan penerimaan akan sangat terbatas," kata seorang pejabat
ekonomi. Berapa besar kenaikan itu akan bisa dilihat dalam
beberapa hari ini.
Beberapa kalangan bisnis asing memperkirakan kenaikan anggaran
kali ini akan berkisar sekitar 10%. Kenaikan yang hanya separoh
dari tahun sebelumnya, andaikata benar, menunjukkan bahwa uang
yang masuk dari minyak berupa pajak perseroan dan pajak dari
hasil minyak lainnya, masih tetap diandalkan sebagai peredam
kejutan bagi ekonomi Indonesia. Menteri Sadli pekan lalu
mengakui bahwa hasil devisa dari minyak tak akan bertambah dalam
tahun ini. Tapi dia merasa yakin bahwa pemasaran minyak
Indonesia yang berkadar belerang rendah itu tak akan mengalami
banyak kesulitan.
Mudah-mudahan apa yang dikatakan Sadli itu benar. Tapi untuk
menekan timbulnya kejutan di sektor lain, pemerintah rupanya
merasa sudah saatnya untuk juga berpaling lagi pada bidang
investasi, perdagangan dan Jasa dalam negeri. Tiga hari sebelum
tutup tahun 1977, sidang kabinet paripurna keluar dengan
keputusan yang lama sudah ditunggu-tunggu kaum swasta: pemberian
fasilitas kredit baru bagi eksportir dan importir. Begitu L/C
dibuka maka kini eksportir bisa menerima wesel berjangka 3
sampai 6 bulan dari bank. Maka si eksportir dimungkinkan untuk
melakukan jual-beli wesel itu di pasaran. Dengan demikian
eksportir bisa menekan ongkos uang.
Pelicin perdagangan lainnya adalah dalam hal impor. Setelah
ditutupnya merchant L/C yang memungkinkan para importir
dibiayai oleh pengirim barang di luar negeri, banyak industri di
dalam negeri merasa terjepit, karena tak punya dana untuk
mendatangkan kebutuhan bahan bakunya dan barang kapital. Kini
pemerintah lewat bank akan memberi kredit di muka agar importir
bisa membeli kebutuhannya dengan membayar setelah barang tiba
Jadi kurang lebih fasilitas kredit bagi irnportir itu merupakan
suatu bentuk baru dari merchant L/C.
Namun pemerintah tak akan bersikap royal dalam menyalurkan
fasilitas kredit itu. Tapi akan bersifat selektif. Dirjen
Perdagangan LN Dr Suhadi Mangliusuwondo, dalam keterangan
persnya pekan lalu, menyatakan masih akan meneliti barang apa
saja yang akan bisa menikmati fasilitas kredit ekspor dan impor
itu. Dengan begitu keputusan yang disebutkan mulai berlaku sejak
1 Januari 1978 itu masih butuh waktu sebelum bisa dilaksanakan.
Tapi bisa dipastikan fasilitas itu akan disalurkan pada bidang
industri, kerajinan dan pertanian.
Para fabrikan besi-baja, karung goni dan tekstil yang masih juga
merasa megap-megap sekalipun sudah diberi'proteksi' boleh
bergembira. Di bidang impor fasilitas pemerintah itu, menurut
Suhadi, akan disalurkan ke tiga kelompok: barang modal, bahan
baku dan suku cadang (onderdil).
Para pengusaha swasta menyambut gembira paket akhir tahun itu,
karena pemerintah juga memutuskan untuk menurunkan suku-bunga
untuk semua golongan kredit. Berapa plafon kredit yang akan
diberikan belum lagi diungkapkan.
Barangkali yang bakal bersungut dengan keputusan pemerintah itu
adalah para pemilik deposito berjangka, karena suku-bunganya
kini diturunkan lagi, dengan 1« sampai 4%. Mudah diduga para
penyimpan akan menarik uangnya sekalipun menurut Dir-Ut Bank
Niaga, Idham, tak akan terjadi "rush" yang mendorong orang untuk
beramai-ramai menarik simpanannya.
TAPI yang patut dipersoalkan adalah: Apakah uang yang ditarik
dari bank itu oleh para deposan akan disalurkan ke dalam dunia
usaha, atau akan mereka tanam dalam harta berupa rumah dan
tanah. Kalau yang terakhir akan terasa lebih aman bagi pemilik
uang, ini tentu tak akan menciptakan kesempatan kerja. Selain
uang yang berkeliaran itu tak akan mudah dikontrol, dalam awal
tahun 1978 bertambah lagi lebih 1 juta tenaga kerja terjun
mencari nafkah.
Mungkin adalah harapan pemerintah agar para pemilik deposito
berjangka itu mengalihkan simpanannya dengan membeli sertifikat
PT Danareksa di Pasar Modal.
Kembali pada dunia dagang, sampai sekarang para pengusaha masih
saja mengeluh diganggu macam-macam pajak, baik pajak impor
maupun ekspor. Syamsir Rachman, eksportir karet pemilik tiga
pabrik crumb-rubber merasa tak adil pemerintah masih
mempertahankan pungutan pajak berganda (lihat: .... Tapi Ada
Yang Optimis).
Sampai sekarang memang belum terbetik berita pemerintah akan
meringankan pajak dalam dunia usaha. Dengan bekunya harga minyak
malah bisa dipastikan Menteri Keuangan Ali Wardhana akan
mendapat tugas berat untuk lebih menggalakkan pemasukan dari
pajak. Menteri Wardhana bahkan mengharapkan penerimaan dari
pajak yang diduga akan masuk Rp 800 milyar dalam anggaran yang
masih berjalan, akan bisa ditingkatkan menjadi Rp 1 trilyun (Rp
1.000 milyar) dalam RAPBN 1978/1979.
Semakin besarnya penerimaan pajak memang kian terasa dibutuhkan
pemerintah di tengah bekunya harga minyak agar tetap terjadi
surplus, atau setidaknya tak sampai timbul defisit. Kalau saja
upaya penggalakan pajak itu dilakukan melalui pengumpulan yang
lebih efisien, cara itu tentu tak akan berpengaruh pada
kelancaran dunia usaha. Tapi bila usaha Ali Wardhana akan tetap
menjadi tanggungan para pengusaha, ini bisa mengurangi maksud
baik pemerintah dengan hadiah Tahun Baru-nya berupa paket
fasilitas.
Dari segi ekspor paket fasilitas itu bermaksud agar Indonesia
bisa bersaing di luar negeri. Ini tentu tergantung dari berapa
besarnya injeksi volume kredit yang akan disalurkan lewat
bank-bank pemerintah, dan peningkatan dari plafon (batas) kredit
yang sekarang berlaku. Pendek kata, paket fasilitas untuk ekspor
itu baru akan berarti kalau rangsangan yang diberikan pemerintah
bisa melumas kegiatan para eksportir yang selama ini mengidap
kekurangan likwiditas.
Mengingat sebagian besar dari ekspor Indonesia masih berkiblat
ke Jepang, paket itu pun baru akan kentara hasilnya bila Jepang
benar-benar akan meningkatkan pertumbuhan (growth) ekonominya
sebanyak 7%. Tapi sebuah perusahaan riset swasta Jepang,
Yamaichi, meramalkan tingkat pertumbuhan di Jepang dalam 1978
akan jatuh di seputar 5%. Tahun 1977, menurut hasil perusahaan
riset Nikko di Tokyo, tingkat pertumbuhan di Jepang diperkirakan
mencapai 5,1%. Sedang yang menjadi sasaran adalah 6,7%.
Perdana Menteri Takeo Fukuda rupanya merasa perlu untuk lebih
mengekang surplus perdagangannya dengan negara seperti Amerika,
setelah Carter mengancam akan membalas dengan proteksi. Tahun
1977 surplus Jepang mencapai AS$ 17 milyar, hampir dua kali
surplus yang diterimanya tahun sebelumnya. Kenyataan itu membuat
Jepang dituding oleh AS sebagai biang keladi merosotnya nilai
dollar.
SESUNGGUHNYA terasa sulit bagi industri Jepang sendiri bila
pemerintahnya asyik memupuk surplus yang besar. Selain ia
mengacau ekonomi orang lain, gejala untuk berhemat-hemat itu
ternyata membuat lesu kalangan industri menengah di Jepang
sendiri. Kalau Jepang memang sudah bersiap untuk mulai royal,
tentu ada harapan baik bagi eksorkayu Indonesia, yang
akhir-akhir ini agak seret masuk ke sana. Bank Dunia menaksir
harga kayu jenis lauwan akan naik dengan 7,4"70 dan jenis
meranti bakal naik 3,4%.
Juga diramalkan ekspor tembakau, tembaga, bauksit, pupuk (urea)
dan karet akan meningkat dari Indonesia dalam tahun 1978. Ekspor
karet bisa meningkat, barangkali disebabkan sang dollar sudah
akan mulai pulih. Karet Indonesia sebagian besar diekspor ke AS.
Dan Jepang yang mengendorkan pintu tarifnya dengan 318 barang,
diharapkan akan melancarkan roda industri mobil di Amerika.
Tapi ada juga yang oleh Bank Dunia diperkirakan akan turun
harganya. Minyak kelapa sawit mungkin akan turun dengan 9%, tapi
volume ekspornya - akan naik. Begitu pula teh akan turun dengan
12%. Panen harga kopi yang dinikmati Indonesia sejak dua tahun
ini di pasaran dunia, kelihatannya berakhir setelah usainya
musiball kopi di Brazilia. Menurut Bank Dunia harga kopi
Indonesia akan turun secara mcnyolok di pasaran dunia sebanyak
247G dari tahun 1977.
Kenaikan seperti diramalkan Bank Dunia itu berpatokan pada harga
yang berlaku sekarang. Tapi bila dihitung dalam penerimaan yang
sesungguhnya (in real terms), nilai ekspor umumnya di tahun
1978 akan berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tapi dasar namanya ramalan, dalam praktek bisa saja ada yang
meleset.
Gambaran tentang ekonomi 1978 menunjukkan tak akan terjadi
sesuatu ang spektakuler. Tambahan dana yang kabarnya amat
terbatas itu akan membuat berbagai departemen harus bekerja
dengan lebih irit. Tapi jumlah subsidi, terutama untuk BBM
(Bahan Bakar Minyak) akan men-besar. Apakah harga BBM akan naik
lagi?
Menteri Sadli seusai menghadap Presiden di Jl. Cendana, 2
Januari kemarin beranggapan harga BBM dalam negeri harus naik
dalam tahun fiskal 1978/ 1979 nanti, mengingat uang yang masuk
dari minyak diperkirakan akan turun. "Ini pendapat pribadi saya,
tapi kapan dan berapa besar kenaikan itu bukan saya yang
memutuskan," katanya. Pertamiba, dengan konsumsi domestik yang
meningkat sekitar 10-15 harus menyediakan 17,3 milyar liter
dalam tahun anggaran yang masih berjalan sekarang. Dengan
subsidi Rp 10 per liter, berarti Pertamina rugi Rp 173 milyar
setahun untuk melayani kebutuhan dalam negeri.
Bila toh terjadi kenaikan, itu akan dilakukan setelah bulan
Maret ]978. Bukan saja karena pemilihan Presiden oleh MPR nanti,
tapi tahun flskal di Indonesia --berbeda dengan yang lazimnya
berlaku di negeri orang--dimulai setiap 1 April.
Kalau harga BBM dalam negeri nanti naik, tak bisa lain akan
menyulut inflasi juga. Inflasi dalam tahun 1977 sudah
dikemukakan oleh Presiden dalam pidato tutup tahun: setinggi
11,82%. Angka ini memang sedikit meleset dari sasaran pemerintah
yang ingin menekan tingkat inflasi di bawah 10%.
Para perencana ekonomi pasti akan sering kerja lembur lagi untuk
mengekang kendali inflasi agar tak merayap lebih tinggi. Bagi
kalangan swasta--terutama bisnis asing--adalah inflasi pula yang
merupakan satu indikator yang menghantui mereka sampai sekarang:
Akankah terjadi devaluasi?
Dalam suatu interpiu dengan TEMPO, Dirjen Perdagangan LN Suhadi
berkata kalem: "Pokoknya selama inflasi masih seperti sekarang,
belum terasa urgensinya bagi pemerintah untuk menyesuaikan
nilai tukar dollar dengan rupiah." Bagi mereka yang masih waswas
boleh berlega dengan jawaban itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini