TEPAT tiga tahun yang lalu, Juli 1974, terjadilah "sandiwara
Sidik". Kisahnya masih gampang diingat. Menteri Sumarlin, dengan
menyamar sebagai Sidik, seorang pegawai rendah Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo, memergoki seorang pegawai menengah Kantor
Bendahara Negara II, Jakarta. Pegawai ini minta uang pelicin Rp
40.000 untuk setiap mandat gaji bagi para pegawai Rumah Sakit
itu.
Beberapa hari kemudian Sumarlin mengumumkan: ia menyediakan
waktunya 24 jam buat menerima segala pengaduan tentang
ketidak-beresan kerja para pegawai negara. Bagaimana hasilnya,
tak diketahui. Mungkin karena masyarakat tak diberitahu.
Akibatnya tentu saja timbulnya keraguan dan cemooh -- bila ada
pengumuman pemerintah yang berseru tentang niatnya mau
memberantas penyelewengan dalam dirinya sendiri.
Tapi selama 10 tahun Orde Baru, ramai-ramai pemberantasan
korupsi hampir terjadi tiap tahun. Pemberantasan "pungutan liar"
yang kini dilakukan merupakan contoh paling belakangan -- karena
"pungli" itu toh satu bentuk korupsi juga, meskipun lazimnya
berukuran kecik Berikut ini datar kegiatan "anti-korupsi" sejak
1967:
Tahun 1967, aksi mahasiswa yang mengganyang Orla pada masa itu
rupanya menyertakan juga tuntutan mereka untuk membasmi korupsi.
Untuk memenuhi tuntutan ini Pemerintahan Orde Baru dengan SK
Presiden no 43/1967 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang waktu itu diketuai Jaksa Agung Mayjen Soegiharto. Masih
dalam tahun yang sama Jaksa Agung membentuk Tim Pemeriksa
Penyelesaian Perkara Penyelundupan (TP4).
Tahun 1970, gencarnya aksi-mahasiswa yang dikenal dengan nama
"Gerakan Anti Korupsi" itu sempat menyibukkan Presiden Suharto
dengan acara "buka praktek"nya. Dalam acara buka praktek itu
Presiden menerima kelompok-kelompok mahasiswa yang secara
langsung menyampaikan beberapa kasus penyelewengan.
Kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan Komisi 4 diketuai
Wilopo SH, dengan anggota IJ Kasimo, Prof. Johannes, almarhum
Anwar Tjokroaminoto ditambah Dr. Hatta sebagai penasehat.
Setelah bekerja 5 bulan, komisi yang dibentuk berdasarkan SK
Presiden no 12/1970 itu menyampaikan hasilnya berupa saran
kepada Presiden tentang cara-cara mempercepat pemberantasan
korupsi.
Masih tahun yang sama, oleh Presiden dengan SK 52/1970
ditetapkan wajib daftar kekayaan bagi pejabat tinggi golongan
IV-C ke atas dan perwira tinggi ABRI.
Tahun 1971, dengan SK Presiden no 61/1971 dibentuk Tim Penertib
Pelabuhan Tanjung Priok yang dikenal dengan nama "Tim
Walisongo", karena beranggotakan 9 orang pejabat dari berbagai
departemen. Termasuk di antaranya Ketua G-V Hankam, Dirjen Perla
dan diketuai Mayjen Slamet Danusudirdjo. Tim yang bertugas untuk
memberantas penyelundupan dan uang siluman di Priok itu akhirnya
berhasil memperkecil jumlah loket yang harus dilalui oleh EMKL
dalam pengeluran barang.
Masih pada tahun yang san1a, UU Anti Korupsi no 3 tahun 1971
mulai diundangkan. Sampai sekarang paling tidak sudah 3 orang -
kelas kakap yang terkena UU itu: Robby Tjahyadi, kini sudah
bebas, Abu Kiswo dan terakhir Budiadji.
Tahun 1971 juga, dibentuk Bakolak (Badan Kordinasi Pelaksana)
Inpres no 6/1971 yang diketuai Letjen Sutopo Juwono, Kepala
Bakin waktu itu. Sedang Sub-Tim pemberantasan Penyelundupan
dipimpin oleh Jaksa Agung Ali Said.
Tahun 1972, dengan SK Presiden no 32/1972 kegiatan Tim
Walisongo diperlebar juga meliputi pelabuhan Belawan,
Paleinbang, Semarang, Tanjung Perak, Ujung Pandang, Bitung dan
beberapa pelabuhan lainnya.
Tahun 1974, seminggu setelah peristiwa 15 Januari, Presiden
Suharto mengeluarkan anjuran "hidup sederhana". Anjuran itu
antara lain melarang para pejabat untuk mengadakan pesta
perkawinan, khitanan, ulang tahun secara besar-besaran (mewah).
Juga larangan pemakaian mobil mewah dan larangan bagi pejabat
dan isterinya untuk duduk dalam jabatan pada perusahaan swasta.
Tahun 1976, berdasarkan instruksi Presiden pada Jaksa Agung
dibentuk Tim Operasi "902" yang bertugas memberantas
penyelundupan. Beberapa orang penyelundup waktu itu berhasil
dikirim ke Nusakambangan. Di tahun ini pula Presiden
memperkenalkan istilah "komersialisasi jabatan" yang amat
dikecamnya itu.
Tak ayal lagi, menjelang pemilu 1977, soal korupsi dan
"komersialisasi jabatan" di sana-sini dalam kampanye jadi topik.
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud misalnya pernah dikutip
menyatakan bahwa korupsi tidak ada lagi.
Mungkin langkah-langkah Kaskopkamtib Sudomo kini akan merupakan
langkah pamungkas - yang menyelesaikan penyelewengan macam-macam
supaya korupsi benar-benar tidak ada lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini