Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

10 tahun

Sejak tahun 1967 telah dilakukan beberapa tindakan membasmi korupsi. Operasi tertib yang dipimpin Laksamada Sudomo merupakan kegiatan yang mutakhir. Tidak banyak penyeleweng kelas kakap yang ditindak.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT tiga tahun yang lalu, Juli 1974, terjadilah "sandiwara Sidik". Kisahnya masih gampang diingat. Menteri Sumarlin, dengan menyamar sebagai Sidik, seorang pegawai rendah Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, memergoki seorang pegawai menengah Kantor Bendahara Negara II, Jakarta. Pegawai ini minta uang pelicin Rp 40.000 untuk setiap mandat gaji bagi para pegawai Rumah Sakit itu. Beberapa hari kemudian Sumarlin mengumumkan: ia menyediakan waktunya 24 jam buat menerima segala pengaduan tentang ketidak-beresan kerja para pegawai negara. Bagaimana hasilnya, tak diketahui. Mungkin karena masyarakat tak diberitahu. Akibatnya tentu saja timbulnya keraguan dan cemooh -- bila ada pengumuman pemerintah yang berseru tentang niatnya mau memberantas penyelewengan dalam dirinya sendiri. Tapi selama 10 tahun Orde Baru, ramai-ramai pemberantasan korupsi hampir terjadi tiap tahun. Pemberantasan "pungutan liar" yang kini dilakukan merupakan contoh paling belakangan -- karena "pungli" itu toh satu bentuk korupsi juga, meskipun lazimnya berukuran kecik Berikut ini datar kegiatan "anti-korupsi" sejak 1967:  Tahun 1967, aksi mahasiswa yang mengganyang Orla pada masa itu rupanya menyertakan juga tuntutan mereka untuk membasmi korupsi. Untuk memenuhi tuntutan ini Pemerintahan Orde Baru dengan SK Presiden no 43/1967 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang waktu itu diketuai Jaksa Agung Mayjen Soegiharto. Masih dalam tahun yang sama Jaksa Agung membentuk Tim Pemeriksa Penyelesaian Perkara Penyelundupan (TP4).  Tahun 1970, gencarnya aksi-mahasiswa yang dikenal dengan nama "Gerakan Anti Korupsi" itu sempat menyibukkan Presiden Suharto dengan acara "buka praktek"nya. Dalam acara buka praktek itu Presiden menerima kelompok-kelompok mahasiswa yang secara langsung menyampaikan beberapa kasus penyelewengan. Kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan Komisi 4 diketuai Wilopo SH, dengan anggota IJ Kasimo, Prof. Johannes, almarhum Anwar Tjokroaminoto ditambah Dr. Hatta sebagai penasehat. Setelah bekerja 5 bulan, komisi yang dibentuk berdasarkan SK Presiden no 12/1970 itu menyampaikan hasilnya berupa saran kepada Presiden tentang cara-cara mempercepat pemberantasan korupsi.  Masih tahun yang sama, oleh Presiden dengan SK 52/1970 ditetapkan wajib daftar kekayaan bagi pejabat tinggi golongan IV-C ke atas dan perwira tinggi ABRI.  Tahun 1971, dengan SK Presiden no 61/1971 dibentuk Tim Penertib Pelabuhan Tanjung Priok yang dikenal dengan nama "Tim Walisongo", karena beranggotakan 9 orang pejabat dari berbagai departemen. Termasuk di antaranya Ketua G-V Hankam, Dirjen Perla dan diketuai Mayjen Slamet Danusudirdjo. Tim yang bertugas untuk memberantas penyelundupan dan uang siluman di Priok itu akhirnya berhasil memperkecil jumlah loket yang harus dilalui oleh EMKL dalam pengeluran barang.  Masih pada tahun yang san1a, UU Anti Korupsi no 3 tahun 1971 mulai diundangkan. Sampai sekarang paling tidak sudah 3 orang - kelas kakap yang terkena UU itu: Robby Tjahyadi, kini sudah bebas, Abu Kiswo dan terakhir Budiadji.  Tahun 1971 juga, dibentuk Bakolak (Badan Kordinasi Pelaksana) Inpres no 6/1971 yang diketuai Letjen Sutopo Juwono, Kepala Bakin waktu itu. Sedang Sub-Tim pemberantasan Penyelundupan dipimpin oleh Jaksa Agung Ali Said.  Tahun 1972, dengan SK Presiden no 32/1972 kegiatan Tim Walisongo diperlebar juga meliputi pelabuhan Belawan, Paleinbang, Semarang, Tanjung Perak, Ujung Pandang, Bitung dan beberapa pelabuhan lainnya.  Tahun 1974, seminggu setelah peristiwa 15 Januari, Presiden Suharto mengeluarkan anjuran "hidup sederhana". Anjuran itu antara lain melarang para pejabat untuk mengadakan pesta perkawinan, khitanan, ulang tahun secara besar-besaran (mewah). Juga larangan pemakaian mobil mewah dan larangan bagi pejabat dan isterinya untuk duduk dalam jabatan pada perusahaan swasta.  Tahun 1976, berdasarkan instruksi Presiden pada Jaksa Agung dibentuk Tim Operasi "902" yang bertugas memberantas penyelundupan. Beberapa orang penyelundup waktu itu berhasil dikirim ke Nusakambangan. Di tahun ini pula Presiden memperkenalkan istilah "komersialisasi jabatan" yang amat dikecamnya itu. Tak ayal lagi, menjelang pemilu 1977, soal korupsi dan "komersialisasi jabatan" di sana-sini dalam kampanye jadi topik. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud misalnya pernah dikutip menyatakan bahwa korupsi tidak ada lagi. Mungkin langkah-langkah Kaskopkamtib Sudomo kini akan merupakan langkah pamungkas - yang menyelesaikan penyelewengan macam-macam supaya korupsi benar-benar tidak ada lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus