"Semuanya akan ditindak. Semuanya adalah tindakan yang amoral
dan a-nasional. Aparat pemerintah yang mempersulit pun akan
ditertibkan."
SUARA keras itu keluar dari Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo,
sehari setelah berlangsungnya rapat Operasi Tertib (Opstib) ke
II Kamis malam pekan lalu. Sudomo yang ditunjuk oleh Presiden
untuk memimpin oerasi besar itu, rupanya merasa jengkel
mendengar info masih adanya para pengemudi truk, kolt di Bandung
dan para petugas yang seakan tak mengindahkan langkah penertiban
terhadap pungutan liar. "Semuanya itu saya anggap sabotase."
katanya.
Keluar dari mulut seorang Laksaunana yang dikenal tak pernah
emosionil, ucapan itu agaknya tak main-main. Selain mengancam
mereka yang menerima pungutan liar ("pungli"), dia juga memberi
peringatan keras ke alamat pemberi. Pelanggaran "pungli",
menurut Sudomo, bisa dikenakan UU no. 3 tahun 1971 tentang
Korupsi. Ancaman hukumnya adalah pidana, berupa hukuman seumur
hidup atau minimal 20 tahun penjara dan denda Rp 30 juta.
Dibekali 'sapu baru' Opstib, Sudomo juga memerintankan agar
segala yang kotor-kotor di pelabuhan disapu lebih bersih lagi.
Tak semua pelabuhan di Indonesia sekaligus dibidiknya. Tapi
dengan tepat dia mengarahkan teropongnya ke dua pelabuhan yang
paling ramai: Tanjmg Priok dan Belawan di Medan. Tim Walisongo,
yang kini diintegrasikan ke dalam Opstib, diberinya tugas yang
sungguh muskil: Agar dalam waktu liga bulan menghapus bersih
segala macam pungutan liar yan ada.
Mewakil sekitar 60% dari seluruh arus barang yang masuk di
Indonesia? Tanjung Priok rupanya tetap dianggap sebagai sarang
'kakap'. Seperti kata seorang pengusaha asing, "pelabuhan
Tanjung Priok merupakan pintu pertama timbulnya korupsi di
Jakarta."
Dalam nada yang lebih dingin, Menteri Perhubungan Emil Salim
tak mengelak tudingan begitu. Beberapa hari setelah keluarnya
instruksi Presiden agar membasmi itu "pungli", ini kabarnya ada
menitip pesan khusus kepada ketua tim Walisongo Mayjen Slamet
Danusudirdjo: agar Tanjung Priok dijadikan "Show case"
pembersihan oleh tim Walisongo dalam suratnya itu Menteri
Perhubungan antara lain mensinyalir makin meningkatnya pungutan
liar di Priok, yang dilakukan baik oleh orang sipil manapun
militer.
Tapi mungkinkah Priok dan Belawan menjadi bersih dalam 90 hari?
Seorang anggota tim Walisongo garuk-garuk kepala ketika ditanya
soal itu. Malah dia balik bertanya: "Sudah berapa kali sih
peraturan anti penyelewengan itu dikeluarkan pemerintah?"
(lihat box).
Dia lalu menunjuk pada lahirnya 'Walisongo' 6 tahun silam yang
punya pentung SK Presiden. Tim yang oleh Presiden ditugaskan
untuk menertibkan pelabuhan Tanjung Priok itu -- dan kemudian
diperluas ruang geraknya untuk beberapa pelabuhn lain - nyaris
tak kedengaran lagl. Dan orang baru kembali teringat ketika sang
ketua Walisongo, Mayjen Slamet Danusudirdjo tiba-tiba mengangkat
pena menulis balada ke alamat "setan-setan siluman" (TEMPO 2
Juli).
Tapi siapa sebenarnya yang dimaksudkan ketua tim Walisongo
dengan setan-setan siluman? Bagi Slamet yang tak begitu suka
main tunjuk hidung. semua yang memberi peluang itulah termasuk
siluman. "Baik itu yang namanya Hansip maupun Bea Cukai,"
katanya.
Tapi dari omong-omong dengan kuli Priok seperti Suhanda, 21
tahun, mungkin orang bisa menarik kesimpulan siapa yang
sebenarnya patut disebut setan siluman. Bekerja di Tanjung Priok
selama empat tahun, pemuda asal Pandeglang itu merasa kaumnya
yang senantiasa paling terkena setiap kali timbul gerakan anti
penyelewengan. Tak terkecuali yang sekarang.
Dulu, begitu cerita Suhanda, untuk menyelesaikan pengangkutan
barang dari gudang ke truk, mereka masih punya hak
tawar-menawar. Dia mengaku perbuatan itu memang terlarang. Dia
juga tak mengelak setiap hari dapat makan dua kali, dapat satu
stel pakaian kerja plus hadiah Lebaran dari Adpel. "Tapi
memangnya orang bisa hidup dengan gaji Rp 292 sehari?" tanyanya.
Suhanda yang sudah beristeri, tapi merasa untung belum punya
anak itu, biasanya bisa membawa pulang uang hasil "pungli"
antara Rp 1000 sampai 1.500 sehari.
Suhanda agaknya belum juga mau mengerti mcngapa larangan untuk
menerima uang tambahan itu harus menimpa kaumnya. "Kan pantas
kalau EMKL memberi uang setelah kita bekerja baik," katanya.
Sekalipun begitu, menurut seorang petugas EMKL (Ekspedisi Muatan
Kapal Laut), sebelum timbulnya larangan itu para buruh harian
itu sering juga menentukan tarif seenaknya. "Tapi dibanding
dengan yang diminta Bea Cukai uang yang dipungut buruh-buruh
harian itu tak ada artinya," katanya. "Mereka dengan sedikit
corat coret saja sudah mendapat ribuan."
"Iya, betul," sela Totok (bukan namanya yang sebenarnya) petugas
EMKL juga. Selama dua tahun mengurusi pengeluaran barang dari
gudang si Totok ini rupanya sakit hati. Setiap akan berangkat
kerja, oleh kantornya dia dititipi uang sekitar Rp 25.000 untuk
pelicin keluarnya barang. Tapi di sini juga timbul tawar-menawar
petugas EMKL dengan duane. "Kalau sampai habis, apalagi bagian
saya ini," tuturnya. Nah. ini adalah bagian lain dari kehidupan
di pelabuhan Tanjung Priok. Tak sedikit pula di antara petugas
EMKL yang ikut memanfaatkan permainan siluman dan "pungli".
Orang seperti Totok itu biasanya diserahi tugas untuk
membereskan urusan "pungli" yang biasanya tergolong kelas teri.
Tapi dari ceritanya kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO, bisa
diperoleh gambaran betapa panjangnya rantai "pungli" itu. Tentu
saja sebelum timbulnya Opstib.
Begitu masuk pintu pelabuhan, -- inilah kisahnya - biasanya
sudah ada yang minta duit, terutama kepada orang EMKL. Kemudian,
untuk mengeluarkan barang, harus bagi-bagi reeki lagi: mulai
dari para petugas keamanan gudang, bea cukai, mandor yang
mengepalai gudang dan KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai)
harus diberi.
Masih ada yang lain. Kalau kebetulan lewat patroli KP3 (Komando
Pelaksana Pengamanan Pelabuhan), di saat barang baru mau keluar,
maka Totok pun mengerti itu berarti dua sampai tiga lembar
ribuan. Lalu, terakhir adalah yang biasa disebut "congti".
Mereka itu memang bukan petugas, tapi bisa membuat repot urusan
jika dilewati. "Pernah kejadian congti itu tak diberi bagian.
Dekat Ancol truk yang mengangkut barang itu tiba-tiba distop
oleh seorang yang mengaku intel," kata Totok. Tentu saja
pengemudi truk tak bisa menyelesaikan perkara itu. Terpaksa
petugas EMKL dicari dulu. Dan barang jadi tertahan di tengah
jalan.
Masih ada tarnbahan. Bila truk melewati pos pelabuhan, perlu
juga mengeluarkan uang. Kalau tidak maka barang yang sudah
tersusun rapi itu bisa diminta untuk diturunkan dengan alasan
perlu diperiksa lagi.
Hal yang serupa juga terjadi ketika kapal mau masuk. Kekurangan
fasilitas pemanduan kapal di Tanjung Priok dengan sendirinya
membuka peluang bagi uang pelicin, atau katakanlah "pungli."
Kapal tunda yang ditubuhkan untuk melayani sekitar 30 kapal yang
masuk saban hari diperkirakan 10 buah. Tapi yang kini tersedia
baru separohnya. Itupun hanya 4 yang efektif. "Saya menyokong
peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Tapi kekurangan fasilitas
kadangkadang memaksa para petugas untuk sedikit membuat
kelonggaran," kata Marinus, 45 tahun, yang bertugas sebagai
pandu di sana sejak tahun 1966.
Persen yang diperoleh, menurut pandu asal Timor itu, berkisar
antara Rp 2.500 sampai Rp 10 ribu. Tentu saja nakhoda kapal
asing jadi senang, karena dengan begitu dia bisa masuk lebih
cepat dan menghemat biaya. Sebab kalau toh ingin menggunakan
kapal tunda dengan tarif resmi, dia harus keluar $ 100 atau
lebih kurang Rp 40.000.
Seorang pegawai dari Djakarta Lloyd menyebutkan Rp 400.000 yang
biasanya dikeluarkan sebagai biaya tak resmi untuk setiap kapal
samudera. Jumlah uang sebanyak itu tak semua masuk ke kantong
para petugas yang harus memberi pelayanan di bidang pelayaran,
seperti biaya pandu, kapal-kapal moring (kapal kecil yang
menambatkan tali kapal) dan sebagainya. Mereka itu biasanya
mendapat persen antara Rp 20. 000 sampai Rp 50.000. "Selebihnya
masuk pabean untuk mengurus 6 dokumen," kata pegawai pelayaran
samudera itu. Tanjung Priok, seperti kata Suhanda, "memang
sumber uang." Dari yang kecil seperti "pungli" itu sampai yang
besar. Dan yang besar itu masih saja berputar pada apa yang
dikenal sebagai penyelundupan administratif. Dalam sebuah
laporannya, wakil ketua I GINZI B. Haznam beranggapan
penyelundupan jenis ini "tak saja menyangkut atau melibatkan
satu instansi, tapi beberapa instansi." Tak salah kalau Dirjen
Bea Cukai Mayjen Tahir pernah berkata, "penyelundupan hanya bisa
terjadi jika ada kerjasama antara penyelundup dengan pejabat dan
petugas bea cukai."
Bagaimana sampai semua itu bisa terjadi, panjang juga kisahnya.
Pada mulanya adalah kapal yang memasuki pelabuhan. Mualim
menyerahkan manifes berisi daftar barang yang diangkut ke agen
pelayaran, yang pada gilirannya membuat pengantar umum (PU),
memuat nama importir, jenis barang yang dibawanya dan jumlahnya.
Lalu berkas itu diserahkan ke Kantor Wilayah IV Bea Cukai
Tanjung Priok. Sementara itu importir juga sudah menerima
invice dari pengirim di pelabuhan awal. Katakanlah dari
Hongkong. Melalui bank importir lalu membuat Keterangan
Pemasukan Pabean (KPP). Di sini pajak MPO diselesaikan lebih
dulu. Lalu KPP itu diserahkan pada EMKL untuk dibuatkan
Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD). Kadang
pembuatan PUD itu bisa juga dilakukan oleh importir.
Nah, kalau memang ada perrnainan di Bea Cukai, pada PPUD-lah
pangkal mulanya. Importir yang curang biasanya lebih suka
memilih EMKL yang sudah jadi langganan. EMKL itu sebenarnya
tidak sah, dan lebih dikenal sebagai EMKL "bawah pohon" atau
"unit." Tapi A.M. Ashaf, ketua umum GAVEKSI (Gabungan Veem dan
Ekspedisi Indonesia) lebih suka menyebutnya sebagai "kelompok."
Apapun namanya EMKL gadungan itu menurut Dirjen Tahir sulit,
untuk diberantas. Kenapa? "Soalnya para importir banyak yang
suka memilih mereka daripada EMKL yang resmi," katanya. Adapun
EMKL yang resmi di Tanjung Priok kini ada 90 yang masih aktif.
Tadinya berjumlah di atas 200-an. Menurut Ashaf, ke-90 EMKL itu
memang memenuhi syarat. Tapi kabarnya umumnya terdiri dari
pribumi - hingga hubungan agak kurang sreg dengan para importir
yang umumnya "non-pri."
Melihat sikap importir itu, tak sedikit di antara EMKL resmi itu
akhirnya menempuh jalan 'damai'. Seperti kata seorang pqabat
Departemen Perdagangan yang berurusan dengan Tanjung Priok,
banyak di antara mereka yang menjelma sebagai 'penjual cap'
saja. "EMKL yang tak resmi itulah yang mengurus pengeluaran
PPUD," katanya. "Mereka biasanya sudah menjalin hubungan baik
dengan bea cukai."
Mereka tentu tak bertepuk sebelah tangan. Seorang bekas kepala
EMKL, menceritakan pengalamannya bila menghadapi order yang
tidak beres. "Pertama saya tanya pada importir apakah barang
yang dibawa itu sesuai dengan invoice. Kalau jawaban importir
itu adalah 'tidak' atau 'atur saja,' saya akan menghubungi dulu
pejabat dan petugas bea cukai," katanya. "Kalau mereka OK, baru
saya tentukan tarif jasa EMKL yang biasanya dengan sistim
borongan."
Maka mulailah berlangsung apa yang dikenal sebagai terowongan
setan. Berapa yang dikenakan untuk sebuah PPUD setelah hilir
mudik melewati 10 loket? (lihat diagram). "Itu tergantung
barangnya, dong," kata bekas orang EMKL itu. "Bisa puluhan, tapi
juga bisa ratusan ribu".
Orang ini tentu bicara tentang dokumen yang tak beres. Tapi
untuk sebuah dokumen yang bersih sekalipun (clean document),
menurut Ashaf besarnya uang siluman itu berkisar rata-rata
antara Rp 75 sampai Rp 100 ribu.
Seorang importir pribumi yang merasa sering menjadi
bulan-bulanan sempat juga membuat perincian uang siluman untuk
satu PPUD, sebagai berikut: Untuk loket pendek/bendaharawan
(dalam rupiah) 20.000. Bagian distribusi 10. 000. Seksi larif
5.000. Pemeriksa juga 5.000. Para pembantu 3.000. Balai harga
10.000. Pemenksa 5.000. Para pembantu lagi 15.000. Untuk
"wilayah" 20.000. Dan "wilayah" sampai gudang 20.000. Untuk P2,
10.000. Lain-lain biaya di luar bea cukai 10.000. Tentu saja
jumlah yang Rp 123.000 itu tak seluruhnya masuk kantong bea
cukai dan Badan Pelaksana Pelabuhan (BPP). Menurut yang empunya
cerita, sekitar 20 sampai 30% dari jumlah itu biasanya masuk ke
kantong petugas EMKL jua.
Berapa banyak arus dokumen PPUD yang masuk dalam sehari? Tahun
lalu menurut fihak GINSI tak kurang dari 300 sampai 350 PPUD
sehari. Tapi kini, sebelum munculnya sempritan Opstib, antara
250 sampai 300-an. Kalau angka 250 boleh diambil sebagai
patokan, maka seharinya uang tak resmi yang keluyuran di Tanjung
Priok setidaknya mencapai Rp 25 juta. Itu baru di seputar bea
cukai.
Dari Tanjungpinang koresponden TEMPO Rida K. Liamsi melaporkan
suasana yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di Jakarta.
Sekalipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Dari 400 kapal yang
rata-rata masuk keluar dalam sebulan, dengan impor yang 2.000
ton dan ekspor 1.250 ton sebulan, penghasilan resmi pelabuhan
Tanjungpinang mellcapai Rp 4 juta dalam sebulan di luar bea
masuk yang dipungut pihak bea cukai. Tapi sebanyak itu pula
kabarnya jumlah uang siluman atau "pungli" yang timbul dalam
waktu yang sama.
Pelabuhan kedua di kepulauan Riau itu memang belum secara
langsung masuk jaring Opstib. Mungkin itu sebabnya para pejabat
dan pengusaha yang dihubungi TEMPO masih merasa skeptis "pungli"
bisa dibendung di Tanjung Pinang.
Tapi di Tanjung Priok suasana terasa agak lengang sejak
keluarnya pernyataan Kas Kopkamtih. Warung nasi yang berjejer di
Jl. Bandar, tak jauh dari kantor Bea Cukai Tanjung Priok tampak
sepi pekan lalu, sekalipun masih jam tiga siang. "Sekarang untuk
mengeluarkan barang dari gudang jadi lebih lama dari dulu," kata
seorang petugas EMKL. Menurut dia, sebelum adanya peluit anti
"pungli," petugas bea cukai sudah ada di gudang antara jam 8-9
pagi. Sekarang mereka baru datang sekitar jam 9.30. "Dan pulang
lebih sore," katanya. Seorang petugas patroli KPLP membenarkan.
"Biasanya kalau malam banyak yang mau lembur. Tapi sekarang
buruhburuh itu sudah pulang jam 6 sore," tambahnya.
Suasana serupa juga terjadi tahun lalu ketika Jaksa Agung Ali
Said mulai melakukan operasi '902-nya' untuk menindak kaum
penyelundup. Tapi sekarang yang juga merasa repot adalah itu
perusahaan angkutan truk. Di pelabuhan II, dekat gudang Djakarta
Lloyd banyak kelihatan truk ukuran besar yang parkir. Sebuah
truk Ford besar tanpa tutup milik perusahaan angkutan CV Maju
ketika itu sudah siap berangkat. Tapi barang yang dibawanya
hanya 3 koli pelat besi @ 1.527 kg. Dengan begitu barang yang
diangkutnya hanya sekitar 4,5 ton. Ini kurang lebih sama dengan
daya angkut 4,25 ton yang diizinkan.
"Biasanya kami bawa dua sampai tiga kali lebih banyak," kata
supir CV Maju itu. Seorang pegawai CV itu yang datang dengan
kendaraan jeep, mengakui perusahaannya kini lagi susah. Sebab
biasanya untuk mengangkut barang sebanyak 200 ton sehari cukup
dengan 10 truk. "Sekarang harus pakai 50 truk," katanya.
Gambaran seperti itu kurang lebih dialami berbagai perusahaan
angkutan. Baik yang di pelabuhan maupun yang antar kota.
Seorang pejabat yang dekat dengan Opstib -- dan masih menaruh
harapan akan adanya perbaikan - berpendapat "tim Opstib perlu
membuat definisi yang jelas apa sebenarnya yang masuk kategori
pungli itu." Dengan nada sedikit kesal, ia menyambung: "Apakah
pungutan-pungutan yang oleh perusahaan dianggap sebagai persen,
dan sudah dimasukkan sebagai pos biaya ekstra itu, juga dianggap
sebagai pungli?" Seorang anak buah Slamet Danusudirdjo
beranggapan, pemerintah seyogianya tidak main pukul rata.
"Perlu juga dibedakan pungli yang untuk menutupi kebutuhan hidup
dengan yang bermaksud memupuk kekayaan," katanya. Tapi bagaimana
membedakannya, kalau penyelidikan atas kekayaan pejabat tak
pernah dilakukan meskipun kekayaan itu sangat menyolok?
Apalagi daftar "pungutan" bisa diperpanjang: ada "pungutan" di
pelayanan imigrasi, "potongan" di departemen dan badan
perencanaan untuk biaya riset yang dikerjakan lembaga penelitian
uang sogok di lembaga peradilan, uang amplop (dan pemerasan) di
kalangan wartawan -- dan . . .
Anda bingung? Apa boleh buat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini