Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pungutan Liar Jangan Lupa Si Kakap Dimana

Operasi tertib bersama Tim Walisongo memberantas pungutan liar dimulai dari Tanjung Priok dan Belawan. Sejak tahun 1967 telah dilakukan 9 kali tindakan pemerintah membasmi korupsi.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Semuanya akan ditindak. Semuanya adalah tindakan yang amoral dan a-nasional. Aparat pemerintah yang mempersulit pun akan ditertibkan." SUARA keras itu keluar dari Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo, sehari setelah berlangsungnya rapat Operasi Tertib (Opstib) ke II Kamis malam pekan lalu. Sudomo yang ditunjuk oleh Presiden untuk memimpin oerasi besar itu, rupanya merasa jengkel mendengar info masih adanya para pengemudi truk, kolt di Bandung dan para petugas yang seakan tak mengindahkan langkah penertiban terhadap pungutan liar. "Semuanya itu saya anggap sabotase." katanya. Keluar dari mulut seorang Laksaunana yang dikenal tak pernah emosionil, ucapan itu agaknya tak main-main. Selain mengancam mereka yang menerima pungutan liar ("pungli"), dia juga memberi peringatan keras ke alamat pemberi. Pelanggaran "pungli", menurut Sudomo, bisa dikenakan UU no. 3 tahun 1971 tentang Korupsi. Ancaman hukumnya adalah pidana, berupa hukuman seumur hidup atau minimal 20 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Dibekali 'sapu baru' Opstib, Sudomo juga memerintankan agar segala yang kotor-kotor di pelabuhan disapu lebih bersih lagi. Tak semua pelabuhan di Indonesia sekaligus dibidiknya. Tapi dengan tepat dia mengarahkan teropongnya ke dua pelabuhan yang paling ramai: Tanjmg Priok dan Belawan di Medan. Tim Walisongo, yang kini diintegrasikan ke dalam Opstib, diberinya tugas yang sungguh muskil: Agar dalam waktu liga bulan menghapus bersih segala macam pungutan liar yan ada. Mewakil sekitar 60% dari seluruh arus barang yang masuk di Indonesia? Tanjung Priok rupanya tetap dianggap sebagai sarang 'kakap'. Seperti kata seorang pengusaha asing, "pelabuhan Tanjung Priok merupakan pintu pertama timbulnya korupsi di Jakarta." Dalam nada yang lebih dingin, Menteri Perhubungan Emil Salim tak mengelak tudingan begitu. Beberapa hari setelah keluarnya instruksi Presiden agar membasmi itu "pungli", ini kabarnya ada menitip pesan khusus kepada ketua tim Walisongo Mayjen Slamet Danusudirdjo: agar Tanjung Priok dijadikan "Show case" pembersihan oleh tim Walisongo dalam suratnya itu Menteri Perhubungan antara lain mensinyalir makin meningkatnya pungutan liar di Priok, yang dilakukan baik oleh orang sipil manapun militer. Tapi mungkinkah Priok dan Belawan menjadi bersih dalam 90 hari? Seorang anggota tim Walisongo garuk-garuk kepala ketika ditanya soal itu. Malah dia balik bertanya: "Sudah berapa kali sih peraturan anti penyelewengan itu dikeluarkan pemerintah?" (lihat box). Dia lalu menunjuk pada lahirnya 'Walisongo' 6 tahun silam yang punya pentung SK Presiden. Tim yang oleh Presiden ditugaskan untuk menertibkan pelabuhan Tanjung Priok itu -- dan kemudian diperluas ruang geraknya untuk beberapa pelabuhn lain - nyaris tak kedengaran lagl. Dan orang baru kembali teringat ketika sang ketua Walisongo, Mayjen Slamet Danusudirdjo tiba-tiba mengangkat pena menulis balada ke alamat "setan-setan siluman" (TEMPO 2 Juli). Tapi siapa sebenarnya yang dimaksudkan ketua tim Walisongo dengan setan-setan siluman? Bagi Slamet yang tak begitu suka main tunjuk hidung. semua yang memberi peluang itulah termasuk siluman. "Baik itu yang namanya Hansip maupun Bea Cukai," katanya. Tapi dari omong-omong dengan kuli Priok seperti Suhanda, 21 tahun, mungkin orang bisa menarik kesimpulan siapa yang sebenarnya patut disebut setan siluman. Bekerja di Tanjung Priok selama empat tahun, pemuda asal Pandeglang itu merasa kaumnya yang senantiasa paling terkena setiap kali timbul gerakan anti penyelewengan. Tak terkecuali yang sekarang. Dulu, begitu cerita Suhanda, untuk menyelesaikan pengangkutan barang dari gudang ke truk, mereka masih punya hak tawar-menawar. Dia mengaku perbuatan itu memang terlarang. Dia juga tak mengelak setiap hari dapat makan dua kali, dapat satu stel pakaian kerja plus hadiah Lebaran dari Adpel. "Tapi memangnya orang bisa hidup dengan gaji Rp 292 sehari?" tanyanya. Suhanda yang sudah beristeri, tapi merasa untung belum punya anak itu, biasanya bisa membawa pulang uang hasil "pungli" antara Rp 1000 sampai 1.500 sehari. Suhanda agaknya belum juga mau mengerti mcngapa larangan untuk menerima uang tambahan itu harus menimpa kaumnya. "Kan pantas kalau EMKL memberi uang setelah kita bekerja baik," katanya. Sekalipun begitu, menurut seorang petugas EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), sebelum timbulnya larangan itu para buruh harian itu sering juga menentukan tarif seenaknya. "Tapi dibanding dengan yang diminta Bea Cukai uang yang dipungut buruh-buruh harian itu tak ada artinya," katanya. "Mereka dengan sedikit corat coret saja sudah mendapat ribuan." "Iya, betul," sela Totok (bukan namanya yang sebenarnya) petugas EMKL juga. Selama dua tahun mengurusi pengeluaran barang dari gudang si Totok ini rupanya sakit hati. Setiap akan berangkat kerja, oleh kantornya dia dititipi uang sekitar Rp 25.000 untuk pelicin keluarnya barang. Tapi di sini juga timbul tawar-menawar petugas EMKL dengan duane. "Kalau sampai habis, apalagi bagian saya ini," tuturnya. Nah. ini adalah bagian lain dari kehidupan di pelabuhan Tanjung Priok. Tak sedikit pula di antara petugas EMKL yang ikut memanfaatkan permainan siluman dan "pungli". Orang seperti Totok itu biasanya diserahi tugas untuk membereskan urusan "pungli" yang biasanya tergolong kelas teri. Tapi dari ceritanya kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO, bisa diperoleh gambaran betapa panjangnya rantai "pungli" itu. Tentu saja sebelum timbulnya Opstib. Begitu masuk pintu pelabuhan, -- inilah kisahnya - biasanya sudah ada yang minta duit, terutama kepada orang EMKL. Kemudian, untuk mengeluarkan barang, harus bagi-bagi reeki lagi: mulai dari para petugas keamanan gudang, bea cukai, mandor yang mengepalai gudang dan KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) harus diberi. Masih ada yang lain. Kalau kebetulan lewat patroli KP3 (Komando Pelaksana Pengamanan Pelabuhan), di saat barang baru mau keluar, maka Totok pun mengerti itu berarti dua sampai tiga lembar ribuan. Lalu, terakhir adalah yang biasa disebut "congti". Mereka itu memang bukan petugas, tapi bisa membuat repot urusan jika dilewati. "Pernah kejadian congti itu tak diberi bagian. Dekat Ancol truk yang mengangkut barang itu tiba-tiba distop oleh seorang yang mengaku intel," kata Totok. Tentu saja pengemudi truk tak bisa menyelesaikan perkara itu. Terpaksa petugas EMKL dicari dulu. Dan barang jadi tertahan di tengah jalan. Masih ada tarnbahan. Bila truk melewati pos pelabuhan, perlu juga mengeluarkan uang. Kalau tidak maka barang yang sudah tersusun rapi itu bisa diminta untuk diturunkan dengan alasan perlu diperiksa lagi. Hal yang serupa juga terjadi ketika kapal mau masuk. Kekurangan fasilitas pemanduan kapal di Tanjung Priok dengan sendirinya membuka peluang bagi uang pelicin, atau katakanlah "pungli." Kapal tunda yang ditubuhkan untuk melayani sekitar 30 kapal yang masuk saban hari diperkirakan 10 buah. Tapi yang kini tersedia baru separohnya. Itupun hanya 4 yang efektif. "Saya menyokong peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Tapi kekurangan fasilitas kadangkadang memaksa para petugas untuk sedikit membuat kelonggaran," kata Marinus, 45 tahun, yang bertugas sebagai pandu di sana sejak tahun 1966. Persen yang diperoleh, menurut pandu asal Timor itu, berkisar antara Rp 2.500 sampai Rp 10 ribu. Tentu saja nakhoda kapal asing jadi senang, karena dengan begitu dia bisa masuk lebih cepat dan menghemat biaya. Sebab kalau toh ingin menggunakan kapal tunda dengan tarif resmi, dia harus keluar $ 100 atau lebih kurang Rp 40.000. Seorang pegawai dari Djakarta Lloyd menyebutkan Rp 400.000 yang biasanya dikeluarkan sebagai biaya tak resmi untuk setiap kapal samudera. Jumlah uang sebanyak itu tak semua masuk ke kantong para petugas yang harus memberi pelayanan di bidang pelayaran, seperti biaya pandu, kapal-kapal moring (kapal kecil yang menambatkan tali kapal) dan sebagainya. Mereka itu biasanya mendapat persen antara Rp 20. 000 sampai Rp 50.000. "Selebihnya masuk pabean untuk mengurus 6 dokumen," kata pegawai pelayaran samudera itu. Tanjung Priok, seperti kata Suhanda, "memang sumber uang." Dari yang kecil seperti "pungli" itu sampai yang besar. Dan yang besar itu masih saja berputar pada apa yang dikenal sebagai penyelundupan administratif. Dalam sebuah laporannya, wakil ketua I GINZI B. Haznam beranggapan penyelundupan jenis ini "tak saja menyangkut atau melibatkan satu instansi, tapi beberapa instansi." Tak salah kalau Dirjen Bea Cukai Mayjen Tahir pernah berkata, "penyelundupan hanya bisa terjadi jika ada kerjasama antara penyelundup dengan pejabat dan petugas bea cukai." Bagaimana sampai semua itu bisa terjadi, panjang juga kisahnya. Pada mulanya adalah kapal yang memasuki pelabuhan. Mualim menyerahkan manifes berisi daftar barang yang diangkut ke agen pelayaran, yang pada gilirannya membuat pengantar umum (PU), memuat nama importir, jenis barang yang dibawanya dan jumlahnya. Lalu berkas itu diserahkan ke Kantor Wilayah IV Bea Cukai Tanjung Priok. Sementara itu importir juga sudah menerima invice dari pengirim di pelabuhan awal. Katakanlah dari Hongkong. Melalui bank importir lalu membuat Keterangan Pemasukan Pabean (KPP). Di sini pajak MPO diselesaikan lebih dulu. Lalu KPP itu diserahkan pada EMKL untuk dibuatkan Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD). Kadang pembuatan PUD itu bisa juga dilakukan oleh importir. Nah, kalau memang ada perrnainan di Bea Cukai, pada PPUD-lah pangkal mulanya. Importir yang curang biasanya lebih suka memilih EMKL yang sudah jadi langganan. EMKL itu sebenarnya tidak sah, dan lebih dikenal sebagai EMKL "bawah pohon" atau "unit." Tapi A.M. Ashaf, ketua umum GAVEKSI (Gabungan Veem dan Ekspedisi Indonesia) lebih suka menyebutnya sebagai "kelompok." Apapun namanya EMKL gadungan itu menurut Dirjen Tahir sulit, untuk diberantas. Kenapa? "Soalnya para importir banyak yang suka memilih mereka daripada EMKL yang resmi," katanya. Adapun EMKL yang resmi di Tanjung Priok kini ada 90 yang masih aktif. Tadinya berjumlah di atas 200-an. Menurut Ashaf, ke-90 EMKL itu memang memenuhi syarat. Tapi kabarnya umumnya terdiri dari pribumi - hingga hubungan agak kurang sreg dengan para importir yang umumnya "non-pri." Melihat sikap importir itu, tak sedikit di antara EMKL resmi itu akhirnya menempuh jalan 'damai'. Seperti kata seorang pqabat Departemen Perdagangan yang berurusan dengan Tanjung Priok, banyak di antara mereka yang menjelma sebagai 'penjual cap' saja. "EMKL yang tak resmi itulah yang mengurus pengeluaran PPUD," katanya. "Mereka biasanya sudah menjalin hubungan baik dengan bea cukai." Mereka tentu tak bertepuk sebelah tangan. Seorang bekas kepala EMKL, menceritakan pengalamannya bila menghadapi order yang tidak beres. "Pertama saya tanya pada importir apakah barang yang dibawa itu sesuai dengan invoice. Kalau jawaban importir itu adalah 'tidak' atau 'atur saja,' saya akan menghubungi dulu pejabat dan petugas bea cukai," katanya. "Kalau mereka OK, baru saya tentukan tarif jasa EMKL yang biasanya dengan sistim borongan." Maka mulailah berlangsung apa yang dikenal sebagai terowongan setan. Berapa yang dikenakan untuk sebuah PPUD setelah hilir mudik melewati 10 loket? (lihat diagram). "Itu tergantung barangnya, dong," kata bekas orang EMKL itu. "Bisa puluhan, tapi juga bisa ratusan ribu". Orang ini tentu bicara tentang dokumen yang tak beres. Tapi untuk sebuah dokumen yang bersih sekalipun (clean document), menurut Ashaf besarnya uang siluman itu berkisar rata-rata antara Rp 75 sampai Rp 100 ribu. Seorang importir pribumi yang merasa sering menjadi bulan-bulanan sempat juga membuat perincian uang siluman untuk satu PPUD, sebagai berikut: Untuk loket pendek/bendaharawan (dalam rupiah) 20.000. Bagian distribusi 10. 000. Seksi larif 5.000. Pemeriksa juga 5.000. Para pembantu 3.000. Balai harga 10.000. Pemenksa 5.000. Para pembantu lagi 15.000. Untuk "wilayah" 20.000. Dan "wilayah" sampai gudang 20.000. Untuk P2, 10.000. Lain-lain biaya di luar bea cukai 10.000. Tentu saja jumlah yang Rp 123.000 itu tak seluruhnya masuk kantong bea cukai dan Badan Pelaksana Pelabuhan (BPP). Menurut yang empunya cerita, sekitar 20 sampai 30% dari jumlah itu biasanya masuk ke kantong petugas EMKL jua. Berapa banyak arus dokumen PPUD yang masuk dalam sehari? Tahun lalu menurut fihak GINSI tak kurang dari 300 sampai 350 PPUD sehari. Tapi kini, sebelum munculnya sempritan Opstib, antara 250 sampai 300-an. Kalau angka 250 boleh diambil sebagai patokan, maka seharinya uang tak resmi yang keluyuran di Tanjung Priok setidaknya mencapai Rp 25 juta. Itu baru di seputar bea cukai. Dari Tanjungpinang koresponden TEMPO Rida K. Liamsi melaporkan suasana yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di Jakarta. Sekalipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Dari 400 kapal yang rata-rata masuk keluar dalam sebulan, dengan impor yang 2.000 ton dan ekspor 1.250 ton sebulan, penghasilan resmi pelabuhan Tanjungpinang mellcapai Rp 4 juta dalam sebulan di luar bea masuk yang dipungut pihak bea cukai. Tapi sebanyak itu pula kabarnya jumlah uang siluman atau "pungli" yang timbul dalam waktu yang sama. Pelabuhan kedua di kepulauan Riau itu memang belum secara langsung masuk jaring Opstib. Mungkin itu sebabnya para pejabat dan pengusaha yang dihubungi TEMPO masih merasa skeptis "pungli" bisa dibendung di Tanjung Pinang. Tapi di Tanjung Priok suasana terasa agak lengang sejak keluarnya pernyataan Kas Kopkamtih. Warung nasi yang berjejer di Jl. Bandar, tak jauh dari kantor Bea Cukai Tanjung Priok tampak sepi pekan lalu, sekalipun masih jam tiga siang. "Sekarang untuk mengeluarkan barang dari gudang jadi lebih lama dari dulu," kata seorang petugas EMKL. Menurut dia, sebelum adanya peluit anti "pungli," petugas bea cukai sudah ada di gudang antara jam 8-9 pagi. Sekarang mereka baru datang sekitar jam 9.30. "Dan pulang lebih sore," katanya. Seorang petugas patroli KPLP membenarkan. "Biasanya kalau malam banyak yang mau lembur. Tapi sekarang buruhburuh itu sudah pulang jam 6 sore," tambahnya. Suasana serupa juga terjadi tahun lalu ketika Jaksa Agung Ali Said mulai melakukan operasi '902-nya' untuk menindak kaum penyelundup. Tapi sekarang yang juga merasa repot adalah itu perusahaan angkutan truk. Di pelabuhan II, dekat gudang Djakarta Lloyd banyak kelihatan truk ukuran besar yang parkir. Sebuah truk Ford besar tanpa tutup milik perusahaan angkutan CV Maju ketika itu sudah siap berangkat. Tapi barang yang dibawanya hanya 3 koli pelat besi @ 1.527 kg. Dengan begitu barang yang diangkutnya hanya sekitar 4,5 ton. Ini kurang lebih sama dengan daya angkut 4,25 ton yang diizinkan. "Biasanya kami bawa dua sampai tiga kali lebih banyak," kata supir CV Maju itu. Seorang pegawai CV itu yang datang dengan kendaraan jeep, mengakui perusahaannya kini lagi susah. Sebab biasanya untuk mengangkut barang sebanyak 200 ton sehari cukup dengan 10 truk. "Sekarang harus pakai 50 truk," katanya. Gambaran seperti itu kurang lebih dialami berbagai perusahaan angkutan. Baik yang di pelabuhan maupun yang antar kota. Seorang pejabat yang dekat dengan Opstib -- dan masih menaruh harapan akan adanya perbaikan - berpendapat "tim Opstib perlu membuat definisi yang jelas apa sebenarnya yang masuk kategori pungli itu." Dengan nada sedikit kesal, ia menyambung: "Apakah pungutan-pungutan yang oleh perusahaan dianggap sebagai persen, dan sudah dimasukkan sebagai pos biaya ekstra itu, juga dianggap sebagai pungli?" Seorang anak buah Slamet Danusudirdjo beranggapan, pemerintah seyogianya tidak main pukul rata. "Perlu juga dibedakan pungli yang untuk menutupi kebutuhan hidup dengan yang bermaksud memupuk kekayaan," katanya. Tapi bagaimana membedakannya, kalau penyelidikan atas kekayaan pejabat tak pernah dilakukan meskipun kekayaan itu sangat menyolok? Apalagi daftar "pungutan" bisa diperpanjang: ada "pungutan" di pelayanan imigrasi, "potongan" di departemen dan badan perencanaan untuk biaya riset yang dikerjakan lembaga penelitian uang sogok di lembaga peradilan, uang amplop (dan pemerasan) di kalangan wartawan -- dan . . . Anda bingung? Apa boleh buat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus