SUARA Sheikh Zaki Yamani memang amat berpengaruh di antara para
rekannya. Dalam sidang OPEC di Jenewa (17-19 Juni) adalah
Menteri Minyak dari Arab Saudi itu yang berkeras mendesak agar
harga patokan $12,70 per barrel dipertahankan minimum sampai 6
bulan lagi. Dan sidang tiga hari yang berlangsung di hotel mewah
Intercontinental di Jenewa itu pun keluar dengan suara bulat:
membekukan harga minyak.
Tapi selesai sidang, Menteri Yamani sempat juga menghibur hati
para anggota. Kepada pers yang mengerumuninya dia menyatakan
harga mungkin akan naik awal tahun depan, sekalipun cuma sedikit
(TEMPO, 1 Juli).
Bagaikan gayung bersambut, para utusan pun mendukung harapan
yang dilontarkan Yamani. Mohamad Yeganeh, wakil dari Iran yang
tergolong kelompok 'moderat' beranggapan harga memang perlu naik
di akhir tahun ini. Kalau Iran, raksasa minyak di samping Arab
Saudi, sudah berkata begitu, peluang untuk menaikkan harga
minyak makin terbuka.
Dan peluang itupun lebih ditegaskan lagi oleh Sheikh Yamani
pekan lalu. Berada di Kanada, Yamani agaknya merasa perlu
melontarkan sesuatu mendahului para rekannya. Kepada pers di
Ottawa dia berkata: "Harga diperkirakan akan naik sekitar 5%."
Bagaikan suatu kur, para anggota lainnya cepat menyambut
sinyalemen Yamani, yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang
paling getol mempertahankan harga minyak. Dari Indonesia,
Menteri Pertambangan dan Enerji Subroto, mulanya berpendapat
dipertahankannya harga itu adalah demi kebaikan OPEC, akibat
"penawaran yang masih lebih besar dari permintaan." Tapi pekan
lalu ia menyatakan rencana kenaikan yang 5% sebagai "cukup
beralasan."
Sebelum bertolak ke Kinshasha, ibukota Zaire, untuk mengikuti
sidang Cipec, organisasi negara produsen tembaga, Menteri
Subroto malah sudah mulai menghitung-hitung apa artinya kenaikan
yang 5% itu bagi anggaran belanja. Indonesia, kata Subroto, akan
mendapat tambahan pendapatan sekitar $365 juta.
Berbeda dengan beberapa negara OPEC lain, ekspor minyak mentah
dari Indonesia boleh dibilang tak terpengaruh oleh adanya glut
alias persediaan minyak yang berlebih di negara-negara industri.
Catatan dari Departemen Pertambangan menunjukkan bahwa sampai
bulan lalu produksi minyak Indonesia yang sekitar 1,68 juta
barrel sehari masih bertahan.
Bagi Indonesia rencana kenaikan yang sekecil 5% punya arti lain.
Kekhawatiran bahwa bertahannya harga minyak itu suatu waktu akan
memaksa Indonesia untuk menaikkan harga minyak dalam negeri,
dengan demikian tak usah terjadi. Selain tidak populer,
menaikkan harga minyak dalam negcri bisa saja menyulut tingkat
inflasi.
Tak Sebaik Indonesia
Bagi negara seperti Kuwait, Aljaair, Libia, Veneuela dan
Nigeria, keadaan mereka memang tak sebaik Indonesia. Tadinya
rata-rata menghasilkan 2,2 juta barrel sehari, kelima negara
pengekspor minyak itu terpaksa menekan produksi hingga rata-rata
sekitar 1,7 juta barrel saja sebagai akibat glut itu. Beberapa
produsen seperti Kuwait dan Nigeria mencoba memberi potongan
harga 0,5%, tapi ternyata tak menjamin pulihnya produksi.
Tak heran kalau Menteri Minyak Nigeria Kol. Mohamad Buchari
menyatakan harga minyak paling sedikit harus naik dengan 5%.
Dalam suatu jamuan makan siang di New York pekan lalu, Menteri
Buchari menyatakan OPEC sudah banyak mengongkosi inflasi dunia
dan nilai mata-uang dollar yang melemah. Seperti diakui sendiri
oleh Menteri Yamani, makin melemahnya nilai dollar telah memukul
banyak negara OPEC. Sekretariat OPEC, yang bermarkas besar di
Wina, memperkirakan bahwa nilai riil per barrel yang diperoleh
anggota sejak bekunya harga minyak pada pertengahan 1977 telah
menciut hingga $7, sama dengan harga yang diterima OPEC di awal
tahun 1974.
Dengan begitu, rencana kenaikan yang 5% itu jauh daripada
mengimbangi kemerosotan dollar. Tapi isyarat Menteri Yamani
setidaknya ingin menunjukkan bahwa Arab Saudi masih ingin
dipandang sebagai pemimpin OPEC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini