Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

5%, 5%, 5% ...

Menteri minyak dari Arab Saudi, Sheikh Zaki Yamani, dalam kunjungannya ke Kanada menegaskan kembali adanya kemungkinan kenaikan harga minyak sekitar 5% awal tahun depan. (eb)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA Sheikh Zaki Yamani memang amat berpengaruh di antara para rekannya. Dalam sidang OPEC di Jenewa (17-19 Juni) adalah Menteri Minyak dari Arab Saudi itu yang berkeras mendesak agar harga patokan $12,70 per barrel dipertahankan minimum sampai 6 bulan lagi. Dan sidang tiga hari yang berlangsung di hotel mewah Intercontinental di Jenewa itu pun keluar dengan suara bulat: membekukan harga minyak. Tapi selesai sidang, Menteri Yamani sempat juga menghibur hati para anggota. Kepada pers yang mengerumuninya dia menyatakan harga mungkin akan naik awal tahun depan, sekalipun cuma sedikit (TEMPO, 1 Juli). Bagaikan gayung bersambut, para utusan pun mendukung harapan yang dilontarkan Yamani. Mohamad Yeganeh, wakil dari Iran yang tergolong kelompok 'moderat' beranggapan harga memang perlu naik di akhir tahun ini. Kalau Iran, raksasa minyak di samping Arab Saudi, sudah berkata begitu, peluang untuk menaikkan harga minyak makin terbuka. Dan peluang itupun lebih ditegaskan lagi oleh Sheikh Yamani pekan lalu. Berada di Kanada, Yamani agaknya merasa perlu melontarkan sesuatu mendahului para rekannya. Kepada pers di Ottawa dia berkata: "Harga diperkirakan akan naik sekitar 5%." Bagaikan suatu kur, para anggota lainnya cepat menyambut sinyalemen Yamani, yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang paling getol mempertahankan harga minyak. Dari Indonesia, Menteri Pertambangan dan Enerji Subroto, mulanya berpendapat dipertahankannya harga itu adalah demi kebaikan OPEC, akibat "penawaran yang masih lebih besar dari permintaan." Tapi pekan lalu ia menyatakan rencana kenaikan yang 5% sebagai "cukup beralasan." Sebelum bertolak ke Kinshasha, ibukota Zaire, untuk mengikuti sidang Cipec, organisasi negara produsen tembaga, Menteri Subroto malah sudah mulai menghitung-hitung apa artinya kenaikan yang 5% itu bagi anggaran belanja. Indonesia, kata Subroto, akan mendapat tambahan pendapatan sekitar $365 juta. Berbeda dengan beberapa negara OPEC lain, ekspor minyak mentah dari Indonesia boleh dibilang tak terpengaruh oleh adanya glut alias persediaan minyak yang berlebih di negara-negara industri. Catatan dari Departemen Pertambangan menunjukkan bahwa sampai bulan lalu produksi minyak Indonesia yang sekitar 1,68 juta barrel sehari masih bertahan. Bagi Indonesia rencana kenaikan yang sekecil 5% punya arti lain. Kekhawatiran bahwa bertahannya harga minyak itu suatu waktu akan memaksa Indonesia untuk menaikkan harga minyak dalam negeri, dengan demikian tak usah terjadi. Selain tidak populer, menaikkan harga minyak dalam negcri bisa saja menyulut tingkat inflasi. Tak Sebaik Indonesia Bagi negara seperti Kuwait, Aljaair, Libia, Veneuela dan Nigeria, keadaan mereka memang tak sebaik Indonesia. Tadinya rata-rata menghasilkan 2,2 juta barrel sehari, kelima negara pengekspor minyak itu terpaksa menekan produksi hingga rata-rata sekitar 1,7 juta barrel saja sebagai akibat glut itu. Beberapa produsen seperti Kuwait dan Nigeria mencoba memberi potongan harga 0,5%, tapi ternyata tak menjamin pulihnya produksi. Tak heran kalau Menteri Minyak Nigeria Kol. Mohamad Buchari menyatakan harga minyak paling sedikit harus naik dengan 5%. Dalam suatu jamuan makan siang di New York pekan lalu, Menteri Buchari menyatakan OPEC sudah banyak mengongkosi inflasi dunia dan nilai mata-uang dollar yang melemah. Seperti diakui sendiri oleh Menteri Yamani, makin melemahnya nilai dollar telah memukul banyak negara OPEC. Sekretariat OPEC, yang bermarkas besar di Wina, memperkirakan bahwa nilai riil per barrel yang diperoleh anggota sejak bekunya harga minyak pada pertengahan 1977 telah menciut hingga $7, sama dengan harga yang diterima OPEC di awal tahun 1974. Dengan begitu, rencana kenaikan yang 5% itu jauh daripada mengimbangi kemerosotan dollar. Tapi isyarat Menteri Yamani setidaknya ingin menunjukkan bahwa Arab Saudi masih ingin dipandang sebagai pemimpin OPEC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus