IA sehat dan bonafid. Di bawah pimpinan bekas Menteri Keuangan
Jusuf Wibisono, PT Bank Perdania, Jakarta, mampu memenuhi
persyaratan untuk menjadi bank devisa. Tapi sebagai bank swasta
nasional, ia tidak diperbolehkan untuk naik tingkat ketika itu.
Maka atas anjuran pemerintah, ia merobah status hukumnya menjadi
bank asing yang patungan dengan pihak Jepang (49%), yaitu Ishira
Sangyo Kaisha dan Daiwa Bank. Lantas ia lolos menjadi bank
devisa mulai April 1969.
Kini PT Bank Perdania merupakan satu-satunya bank patungan
nasional dan asing di Indonesia. Ada untung, ada pula rugi
baginya dengan status itu. Umpamanya ia diperlakukan sebagai
bank asing lainnya yang tidak dibolehkan membuka cabang di luar
Jakarta. Walaupun ada modal nasional (51%) dalam dirinya, ia
tidak pula diterima di lingkungan Perbanas.
Namun pada hari-hari terakhir ini status Bank Perdania menjadi
impian para bankir swasta nasional. Mereka bertanya-tanya
mengenai kemungkinan untuk memperluas bank patungan. Dengan
Jalan berpatungan, demikian mereka melihat, masa depan perbankan
nasional akan lebih baik, di segi tehnis maupun modal.
Kebetulan sekarang persyaratan Bank Indonesia dirasakan berat
bagi banyak bank swasta nasional untuk menjadi bank devisa. Dari
sisa 81 anggota Perbanas, cuma 9 yang sudah berstatus bank
devisa. Untuk itu BI antara lain mengharuskan hasil merger
sampai 6 kali, bertujuan penciutan jumlah dan kekayaan supaya
berkelompok, dan bersedia go public -- memasyarakatkan diri via
Pasar Modal.
Sesudah PT Bank Perdania, kesempatan berpatungan tidak diadakan
lagi oleh BI. Memang bukan tujuan BI pula untuk memperbanyak
bank asing yang kini berjumlah 11.
Sebaliknya kalangan Perbanas berpendapat supaya usaha patungan
justru bertujuan menciutkan jumlah bank asing. Mulai beroperasi
sejak 1968, bank-bank asing di Indonesia pada mulanya dianggap
sebagai pelengkap, tanpa batas waktu.
Usaha patungan untuk perbankan di Indonesia masih belum ada
peraturannya. Tapi jika mau, peraturan BI saja akan cukup untuk
itu. BI yang memperingati HUT ke-25 minggu lalu belum kelihatan
tertarik pada gagasan demikian.
Namun kebutuhan akan usaha patungan sudah sangat dirasakan pula
dengan adanya kerjasama perbankan di lingkungan Asean. Di antara
anggota Asean, cuma Muangthai yang mempunyai cabang bank di
Jakarta, yaitu dari Bankok Bank Limited. Perbankan Singapura,
Malaysia dan Pilipina masih belum, meskipun tetap berusaha
membuka cabang di Jakarta. Sebaliknya, ada bank swasta nasional
seperti PT Pan Indonesia (Panin) Bank Ltd. yang ingin membuka
cabang di Singapura. Semua itu terbentur.
Lagi pula dalam hal ini soal timbal-balik menjadi pertimbangan.
Yaitu Jakarta harus membuka pintu bagi cabang bank Singapura,
misalnya, bila Indonesia mau mendudukkan cabang banknya di sana.
Jika usaha patungan dibuka, besar kemungkinan soal timbal-balik
ini bisa diatasi.
Sekian pendapat golongan yang propatungan. Ada pula pendapat
yang mencurigai gagasan itu. Dengan usaha patungan, misalnya,
bank asing tentu akan mendapat kesempatan bergerak lebih luas
merajahi daerah di luar Jakarta. Ini tentu berarti pucuk
dicinta, ulam tiba bagi bank asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini