Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) telah membagi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) kepada 87 pelaku usaha pada Selasa, 25 Januari 2025 lalu. Para penerima rekomendasi impor itu diduga merupakan perusahaan-perusahaan baru yang mendapatkan privilese.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulaiman, bukan nama sebenarnya, mengatakan tahun ini tak memperoleh RIPH. Importir yang telah bertahun-tahun menggeluti bisnis bawang putih ini mengajukan permohonan RIPH pada 8 Januari 2025. Tapi kini, permohonan itu telah ditolak. “Kementerian Pertanian sudah memblokir kami sejak proses pengajuan RIPH. Mereka kondisikan dari pintu pertama,” ujar Sulaiman kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh Kementan, Sulaiman bercerita, ia dan para importir lain sempat diundang dalam sebuah pertemuan daring tentang sosialisasi RIPH. Tapi setelah itu, kementerian ini justru membagi habis RIPH sebanyak 550 ribu ton kepada 87 pelaku usaha baru. Padahal biasanya, ujar dia, RIPH keluar bertahap dalam satu tahun.
Kepada para pelaku usaha lama, Kementan beralasan pembagian RIPH secara gelondongan telah sesuai dengan rapat koordinasi terbatas. Karena kuota telah mencapai kuorum, para importir di luar 87 pelaku usaha ini tak mendapatkan RIPH. Mereka tak memiliki pilihan selain membeli dari perusahaan-perusahaan baru ini untuk tetap mendapatkan barang.
Sulaiman tak sendiri. Ia mengungkap, rata-rata koleganya yang tergabung dalam Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia juga tak mendapatkan RIPH. Padahal, mereka yang justru pemain utama dalam importasi bawang putih. “Pemain vital di industri distribusi bawang ini hampir semua tidak mendapatkan alokasi,” ujarnya.
Ihwal perusahaan-perusahaan seumur jagung yang menerima rekomendasi impor, anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, ada dugaan mereka memiliki privilese. Ia mempertanyakan alasan pemerintah memberikan privilese itu kepada para pelaku usaha baru ini. “Itu pertanyaan yang dugaan maladministrasinya kental banget,” ujar Yeka kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Tempo telah berupaya meminta konfirmasi Plt Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Muhammad Taufiq Ratule melalui aplikasi perpesanan dan surat permohonan wawancara. Tapi hingga berita ini ditulis, ia belum merespons.
Alif Al Syahban, Humas Direktorat Jenderal Hortikultura, mengatakan rata-rata pimpinannya sedang bertugas sebagai penanggung jawab swasembada pangan di setiap provinsi. "Mohon maaf belum ada tanggapan," ujarnya, Selasa, 4 Maret 2025.
Dari RIPH yang telah dikeluarkan Kementan, sebagian di antaranya telah memperoleh persetujuan impor (PI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Kementerian Dalam Negeri, Senin, 24 Februari 2025 lalu, Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Pengamanan Pasar Kemendag Tommy Andana melapor telah menerbitkan PI bawang putih sebanyak 226.101 ton. Tapi dari izin impor itu, baru 21 ribu ton di antaranya yang akan terealisasi bulan Maret. Dari informasi yang didapatkan Tempo, total ada 26 dari 87 pelaku usaha yang telah memperoleh PI.
Ketika dikonfirmasi ihwal dugaan perusahaan-perusahaan baru yang menerima PI, Menteri Perdagangan Budi Santoso mengklaim tak hafal kepada siapa saja PI itu diterbitkan. “Saya enggak hafal, tapi, tapi PI sudah dikeluarkan,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 26 Februari 2025.
Keterlambatan realisasi impor bawang putih disinyalir mengakibatkan harga produk hortikultura itu naik. Di Jakarta, berdasarkan data Info Pangan Jakarta, produk hortikultura itu kini telah tembus Rp 48.200 per kilogram, meninggalkan harga eceran tertinggi Rp 38.000 per kilogram.