Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Proposal Kampus Kuning

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengajukan proposal penelitian bernilai miliaran rupiah ke BPPN. Untuk apa?

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMPA lokal seakan mengguncang Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) pekan lalu. Getarannya lumayan keras, cukup membuat jantung para petinggi FEUI berdebar-debar. Pemicunya: tersiar kabar kampus kuning menawarkan proyek penelitian untuk BPPN dengan nilai nauzubillah, Rp 9,6 miliar. Sejak berita itu merebak, telepon kantor ataupun pesawat seluler pribadi para pimpinan FEUI tak berhenti berdering. Peneleponnya berasal dari kalangan mahasiswa, kolega, ataupun alumni. "Semua menanyakan perkara penelitian itu," ujar Direktur Magister Manajemen UI, Rhenald Kasali. Hujan pertanyaan itu merupakan hal yang wajar. Di mata masyarakat, BPPN merupakan lembaga yang kerap dililit kontroversi, baik dalam menangani restrukturisasi utang konglomerat maupun ketika menjual aset. Di lain pihak, para ekonom dari FEUI seperti Faisal Basri, Moh. Ikhsan, dan Chatib Basri selama ini dikenal sebagai pengkritik BPPN yang cukup keras. Juga dipertanyakan kemaslahatan dari penelitian ini, karena toh BPPN sendiri sebentar lagi akan ditutup. Tak aneh lalu tebersit kecurigaan: jangan-jangan ada udang di balik rencana penelitian mahal itu. Terlebih lagi, proyek itu juga disebut-sebut dilakukan tak melalui prosedur tender seperti galibnya. "Jangan-jangan itu merupakan upaya halus merangkul atau memanfaatkan ekonom dan pengamat yang kritis terhadap BPPN," begitu umumnya pendapat yang berkembang di masyarakat. Dan kecurigaan itu seperti menemukan landasannya karena Dekan FEUI sekarang, Aditiawan Chandra, telah didudukkan BPPN di kursi Komisaris Utama Bank Permata dan bertindak sebagai mak comblang untuk mendekatkan para ekonom dari Kampus Kuning dengan BPPN. Nada minor seperti itu tentu tak mengenakkan hati para petinggi FEUI. Karena itu, Jumat pekan lalu mereka menggelar konferensi pers dadakan. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk menjernihkan persoalan. Dalam acara yang diadakan di gedung Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) itu hadir antara lain Aditiawan Chandra, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan Rhenald Kasali. Pada kesempatan itu Aditiawan buka kartu. Ia mengaku dirinyalah yang pertama kali menawarkan kepada Ketua BPPN Syafruddin Temenggung untuk membuat kerja sama penelitian. "Penelitian itu penting untuk dijadikan pelajaran agar kita tak mengulang kesalahan yang menyebabkan terjadinya krisis," ujar Aditiawan. Jadi, menurut dia, penelitian ini murni untuk kepentingan akademis. "Tak ada hubungannya dengan posisi saya di Bank Permata." Dalam pelaksanaannya, penelitian itu rencananya akan dikerjakan oleh para peneliti di lembaga-lembaga otonom dalam lingkungan FEUI seperti LPEM, Lembaga Demografi, dan Lembaga Manajemen, sesuai dengan keahlian masing-masing. Hasilnya akan diumumkan terbuka dan bisa digunakan oleh seluruh masyarakat. Gayung yang diasongkan Aditiawan bersambut. Bahkan rencana berkembang. Dari semula hanya empat penelitian, seperti pertama kali diusulkan, menjadi 10 item lantaran adanya permintaan tambahan dari kalangan dalam BPPN. Itu pun setelah beberapa usulan dari BPPN terpaksa ditolak. Misalnya tentang otoritas jasa keuangan. "Soalnya, kami tak memiliki orang yang ahli masalah itu," ujar Moh. Ikhsan. Berdasar pembicaraan tersebut, pada 2 Oktober 2002 dibuatlah nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Syafruddin Temenggung dari BPPN dan Aditiawan Chandra dari FEUI. Ikut pula mengetahui Rektor UI, yang diwakili oleh Wakil Rektor IV Kusmardiono. Setelah itu, para peneliti dari FEUI mengajukan proposal berisi kerangka penelitian, lengkap disertai nama tim peneliti dan anggaran. Menurut kesepakatan, semua penelitian akan mulai dikerjakan pada akhir Januari atau paling lambat awal Februari lalu. Dengan perkiraan tiap penelitian rata-rata memakan waktu lima bulan, diharapkan laporan hasil penelitian bisa diserahkan sebelum BPPN ditutup. Namun, hingga memasuki pekan kedua bulan Maret ini, BPPN ternyata belum menyetujui proposal yang diajukan tim FEUI. "Kami masih mempelajari proposal mereka," ujar Wakil Ketua BPPN Sumantri Slamet. Dalam situasi yang menggantung begitu, Aditiawan menyatakan menyerahkan kepada BPPN untuk memutuskan jadi-tidaknya penelitian tersebut. "Kami sendiri tak akan menarik proposal penelitian itu," ujarnya. Bila penelitian itu akhirnya batal, sebetulnya FEUI beruntung karena segala silang-sengkarut dengan sendirinya akan sirna. Sebaliknya, bila berlanjut, ada beberapa hal yang harus mereka jelaskan kepada masyarakat. Untuk soal anggaran, FEUI memang masih gampang berkilah. Sesuai dengan peraturan, proyek di bawah Rp 50 miliar di instansi pemerintah tak memerlukan tender alias bisa dilakukan penunjukan. Tapi ada perkara lain yang lebih gawat. Contohnya soal Pasal 1 butir 1.b dalam nota kesepahaman. Di sana tertera bahwa kerja sama penelitian itu bertujuan: "Memberikan saran kebijakan dan rekomendasi strategis (strategic advisory) untuk kegiatan-kegiatan BPPN selanjutnya, khususnya dalam rangka berakhirnya masa tugas BPPN." Tujuan itu jelas terlalu luas dan berat untuk penelitian-penelitian yang terbatas dan cuma memakan waktu lima bulan. Bila tak waspada, FEUI salah-salah akan tergelincir menjadi stempel karet untuk mengabsahkan semua tindakan BPPN. Secara terbuka, Aditiawan sudah menjelaskan bahwa pencantuman butir itu merupakan kesalahan dan pihaknya telah meminta agar dianulir. Anehnya, dalam penjelasannya, Sumantri Slamet menerangkan tujuan penelitian tetap seperti tertera dalam nota kesepahaman. Kekhawatiran bahwa FEUI cuma akan dimanfaatkan kian menggumpal karena salah satu obyek penelitian adalah mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sudah menjadi rahasia umum, saat ini ada sekelompok karyawan BPPN yang berambisi mendirikan LPS untuk menangani pekerjaan yang belum tuntas bila kelak BPPN "tutup warung". Pertanyaan lain yang lebih penting adalah menyangkut independensi. Mampukah FEUI menolak bila ada pesan sponsor yang ingin masuk dalam hasil penelitian? Lebih jauh lagi, beranikah FEUI mengumumkan bila hasil penelitiannya bertentangan dengan keinginan BPPN? Secara tegas Ikhsan menjamin, tak ada pihak luar yang bisa memesan hasil penelitian LPEM. "Tak ada satu baris pun hasil penelitian kami boleh diubah, kendati oleh pemberi dana sekalipun," ujarnya. Sebagai bukti, Wakil Dekan FEUI Bidang Akademik, Raksakamahi, menunjuk contoh ketika LPEM mendapat proyek penelitian dari Indofood. "Kendati menerima duit dari Indofood, hasil penelitian kami tetap mengkritik Indofood," ujarnya. Komitmen serupa disampaikan Chatib Basri. Kerja sama penelitian itu, menurut dia, tak akan menumpulkan sikap kritisnya terhadap BPPN. "Menteri Dorodjatun Kuntjoro-Jakti saja tetap kami kritik, padahal dia dulu pernah menjadi Kepala LPEM," ujar ekonom muda itu. Untuk menunjukkan independensinya, tanpa menunggu persetujuan BPPN, LPEM menyatakan kini telah mulai menggarap penelitian soal sustainabilitas fiskal. Proses rapat dan mengumpulkan data sudah dijalankan. "Saya sudah satu bulan dibayar oleh LPEM untuk mengerjakan penelitian itu," ujar Ikhsan, yang baru saja menolak tawaran menjadi komisaris independen di Bank Niaga. Bagaimana bila BPPN akhirnya tak setuju? "Sudah risiko, LPEM akan menutup biaya dari kantong sendiri," ujarnya. Nugroho Dewanto, Eduardus Karel Dewanto, Setri Yasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus