SEANDAINYA lima pembajak pesawat Garuda, Woyla, tertangkap
hidup-hidup? "Mereka bisa dihukum penjara seumur hidup," kata
Direktur Angkutan Udara (Ditjen Perhubungan Udara Risakotta,
sambil menunjuk undang-undang kejahatan di udara.
Undang-undang yang dimaksudkan, UU No. 4/1976, lahir lima tahun
yang lalu. Sebagai perubahan dan penambahan pasal-pasal KUHP
yang sebelumnya tidak mencakup pembajakan udara dan
kejahatan-kejahatan di udara lainnya. Kekosongan undang-undang
itu sempat mengkhawarirkan ahli-ahli hukum Indonesia beberapa
tahun yang lalu (TEMPO 15 April dan 6 Mei 1972). Sebab, bukankah
pembajakan udara yang menjadi mode teror internasional saat itu
bisa terjadi pula di Indonesia?
Untung saja pembajak pesawat pertama di Indonesia, Hermawan,
tertembak mati oleh pilot di Yogya, April 1972, setelah membajak
MNA. Kalau udak, berhubung undang-undangnya belum tersedia,
Hermawan tidak bisa diadili sebagai pembajak pesawat.
Dalam ketentuan umum KUHP, semula hanya ada ketentuan pidana
bagi pelaku kejahatan di luar Indonesia, di atas kapal atau
perahu. Barulah pada 1976 itu ditambah kalimat "atau pesawat
udara Indonesia", sesuai dengan usul Dosen Hukum Angkasa FH
Univ. Padjadjaran, Prijatna Abdurrasyid.
Juga ditambah dengan pasal-pasal baru tentang kejahatan di
pesawat udara -- khususnya pembajakan. Setiap orang yang
melakukan pembajakan (menurut pasal 479 J) diancam hukuman
penjara 15 tahun. Ancaman itu bisa meningkat menjadi penjara
seumur hidup. Yaitu bila salah satu unsur ini dipenuhi tersangka
pelakunya lebih dari satu, pembajakan dilakukan sebagai
kelanjutan permufakatan jahat, pembajakan itu menyebabkan
terlukanya orang, kerusakan pesawat atau untuk merampas
kemerdekaan seseorang. Selanjutnya, pembajak bisa dihukum mati,
bila pembajakan itu menyebabkan orang lain mati atau hancurnya
pcsawat yang dibajak.
Menjadi persoalan, kalau yang mati itu bukan sandera, seperti
yang terjadi di Bangkok dengan gugurnya anggota pasukan komando,
Lettu. A. Kirang. Sementara undang-undang tidak menyebutkan
siapa "orang lain" itu: apakah hanya sandera atau juga
penyelamat? Tetapi bagaimanapun juga untuk sementara
undang-undang yang ada, "untuk sementara sudah mencukupi," ujar
Prof. Dr. Prijatna yang juga menjabat Kepala Pusat Penelitian
Angkasa.
Kecukupan undang-undang tersebut depat teruji, kalau saja di
antara pembajak ada yang tertangkap hidup-hidup. Paling sedikit
mereka bisa diancam hukuman penjara seumur hidup. Karena
pembajakan yang dilakukan lima orang itu menyebabkan orang lain
luka dan pesawat rusak. Tapi hukuman mati masih pula terbuka.
Jaksa toh dapat menuduh mereka berdasarkan undang-undang
antisubversi. Alasan untuk itu cukup pembajakan tersebut sempat
meresahkan masyarakat luas dan mempunyai latar belakang politik.
Menyeret mereka ke pengadilan tentu tidak sulit. "Selama terjadi
di sesama negara ASEAN semuanya bisa diatur," ujar Risakotta
lagi. Apalagi, seperti juga Indonesia, Muangthai pernah
menandatangani konvensi-konvensi internasional tentang
pembajakan. Seperti Konvensi Tokyo (1963), The Hague (1970) dan
Montreal (1971). Konvensi itu merupakan kesepakatan
negara-negara di dunia untuk bekerjasama melawan kejahatan
pembajakan. Termasuk penyerahan penjahatnya atau ekstradisi.
Persoalan baru akan timbul jika anura Muangthai dan Indonesia
terjadi perbedaan pandangan mengenai pembajak. Seperti yang
diperdebatkan di Konperensi Hukum Dunia di Madrid, September
1979, teroris bagi suatu negara mungkin saja dianggap pahlawan
oleh negara lain. Begitu juga pasukan komando yang datang,
seperti pasukan komando Israel di Entebbe, boleh merupakan
pahlawan bagi Israel tapi tidak bagi Uganda.
Memang, seperti kata Risakotta, "pelaku pembajakan itu bisa
penjahat biasa sampai penguasa suatu negara. " Bisa juga oleh
kelompok politik dan orang sinting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini