Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Undang-undang itu belum "dipakai"

Uu no.4/1976 lahir sebagai perubahan & penambahan pasal-pasal kuhap yang sebelumnya tidak mencakup kejahatan di udara & pembajakan udara. (hk)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA lima pembajak pesawat Garuda, Woyla, tertangkap hidup-hidup? "Mereka bisa dihukum penjara seumur hidup," kata Direktur Angkutan Udara (Ditjen Perhubungan Udara Risakotta, sambil menunjuk undang-undang kejahatan di udara. Undang-undang yang dimaksudkan, UU No. 4/1976, lahir lima tahun yang lalu. Sebagai perubahan dan penambahan pasal-pasal KUHP yang sebelumnya tidak mencakup pembajakan udara dan kejahatan-kejahatan di udara lainnya. Kekosongan undang-undang itu sempat mengkhawarirkan ahli-ahli hukum Indonesia beberapa tahun yang lalu (TEMPO 15 April dan 6 Mei 1972). Sebab, bukankah pembajakan udara yang menjadi mode teror internasional saat itu bisa terjadi pula di Indonesia? Untung saja pembajak pesawat pertama di Indonesia, Hermawan, tertembak mati oleh pilot di Yogya, April 1972, setelah membajak MNA. Kalau udak, berhubung undang-undangnya belum tersedia, Hermawan tidak bisa diadili sebagai pembajak pesawat. Dalam ketentuan umum KUHP, semula hanya ada ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan di luar Indonesia, di atas kapal atau perahu. Barulah pada 1976 itu ditambah kalimat "atau pesawat udara Indonesia", sesuai dengan usul Dosen Hukum Angkasa FH Univ. Padjadjaran, Prijatna Abdurrasyid. Juga ditambah dengan pasal-pasal baru tentang kejahatan di pesawat udara -- khususnya pembajakan. Setiap orang yang melakukan pembajakan (menurut pasal 479 J) diancam hukuman penjara 15 tahun. Ancaman itu bisa meningkat menjadi penjara seumur hidup. Yaitu bila salah satu unsur ini dipenuhi tersangka pelakunya lebih dari satu, pembajakan dilakukan sebagai kelanjutan permufakatan jahat, pembajakan itu menyebabkan terlukanya orang, kerusakan pesawat atau untuk merampas kemerdekaan seseorang. Selanjutnya, pembajak bisa dihukum mati, bila pembajakan itu menyebabkan orang lain mati atau hancurnya pcsawat yang dibajak. Menjadi persoalan, kalau yang mati itu bukan sandera, seperti yang terjadi di Bangkok dengan gugurnya anggota pasukan komando, Lettu. A. Kirang. Sementara undang-undang tidak menyebutkan siapa "orang lain" itu: apakah hanya sandera atau juga penyelamat? Tetapi bagaimanapun juga untuk sementara undang-undang yang ada, "untuk sementara sudah mencukupi," ujar Prof. Dr. Prijatna yang juga menjabat Kepala Pusat Penelitian Angkasa. Kecukupan undang-undang tersebut depat teruji, kalau saja di antara pembajak ada yang tertangkap hidup-hidup. Paling sedikit mereka bisa diancam hukuman penjara seumur hidup. Karena pembajakan yang dilakukan lima orang itu menyebabkan orang lain luka dan pesawat rusak. Tapi hukuman mati masih pula terbuka. Jaksa toh dapat menuduh mereka berdasarkan undang-undang antisubversi. Alasan untuk itu cukup pembajakan tersebut sempat meresahkan masyarakat luas dan mempunyai latar belakang politik. Menyeret mereka ke pengadilan tentu tidak sulit. "Selama terjadi di sesama negara ASEAN semuanya bisa diatur," ujar Risakotta lagi. Apalagi, seperti juga Indonesia, Muangthai pernah menandatangani konvensi-konvensi internasional tentang pembajakan. Seperti Konvensi Tokyo (1963), The Hague (1970) dan Montreal (1971). Konvensi itu merupakan kesepakatan negara-negara di dunia untuk bekerjasama melawan kejahatan pembajakan. Termasuk penyerahan penjahatnya atau ekstradisi. Persoalan baru akan timbul jika anura Muangthai dan Indonesia terjadi perbedaan pandangan mengenai pembajak. Seperti yang diperdebatkan di Konperensi Hukum Dunia di Madrid, September 1979, teroris bagi suatu negara mungkin saja dianggap pahlawan oleh negara lain. Begitu juga pasukan komando yang datang, seperti pasukan komando Israel di Entebbe, boleh merupakan pahlawan bagi Israel tapi tidak bagi Uganda. Memang, seperti kata Risakotta, "pelaku pembajakan itu bisa penjahat biasa sampai penguasa suatu negara. " Bisa juga oleh kelompok politik dan orang sinting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus