Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dono (bukan nama sebenarnya) mengeluhkan lesunya bisnis udang akhir-akhir ini. Untuk bertahan, sejak tahun ini perusahaannya beralih menjual produk perikanan lain, bahkan mengekspor paha katak.
Penyebabnya, jumlah petambak udang kian berkurang karena bangkrut gara-gara udangnya tercemar penyakit, sedangkan pabrik pengolahannya terlalu banyak. Situasi ini kian diperparah sejak Departemen Perdagangan melarang impor udang sepanjang tahun ini.
”Dulu masih bisa impor sebagian dari negara-negara yang jual murah,” kata staf bagian pembelian bahan baku sebuah perusahaan eksportir di Jawa Tengah (yang enggan disebut namanya) ini kepada Tempo. ”Sekarang tidak bisa lagi.”
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia, Johannes Kitono, pelarangan impor udang cukup ampuh mengontrol penyalahgunaan surat keterangan asal (SKA). Soalnya, reputasi udang Indonesia di kancah perdagangan internasional sedang dipertaruhkan.
Makhluk bungkuk ini dicurigai tiba di Amerika Serikat dan Eropa dengan cara ”bengkok”: udang lokal dicampur dengan udang impor, tapi dinyatakan berasal dari Indonesia dalam SKA—seperti yang dilakukan perusahaan tempat Dono bekerja itu.
Empat perusahaan pengekspor udang langsung mengakuinya ketika diperiksa tim penyidik Bea dan Cukai Amerika Serikat, dua pekan lalu. Pemeriksaan itu juga dihadiri Departemen Perdagangan serta Departemen Kelautan dan Perikanan. ”Sebagian diimpor dari Cina, Vietnam, dan Thailand,” kata Direktur Fasilitasi Ekspor Departemen Perdagangan, Harmen Sembiring.
Temuan serupa lebih dulu dibuktikan tim investigasi Uni Eropa melalui pemeriksaan tujuh eksportir, yang dilaporkan bersama Departemen Perdagangan, pertengahan bulan lalu. Tindakan itu berlangsung selama 2003 hingga 2004, dan umumnya dilakukan perusahaan berbasis di Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Sumatera Utara.
Menurut Johannes, modus semacam itu sudah menjadi rahasia umum. Para pengusaha merasa tak bersalah karena waktu itu belum berlaku larangan impor udang di Indonesia. Tapi, dia tetap tak sependapat dengan sikap para pengusaha itu. ”Dari segi etika, tindakan itu tidak fair.”
Masalahnya, Indonesia memperoleh keistimewaan dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Cina dan Thailand. Untuk ekspor ke Eropa, misalnya, berlaku tarif bea masuk berdasarkan preferensi (GSP). Udang Indonesia memperoleh keringanan: pengurangan bea masuk sekitar 3,5 persen, dengan jumlah ekspor tak melebihi 15 persen pangsa pasar.
Nah, Cina dan Thailand tak memperoleh keringanan itu sehingga tarifnya lebih tinggi. Bahkan di Amerika Serikat, udang dari kedua negara itu dikenai bea masuk antidumping. Cina dikenai tarif 64 persen, sedangkan Indonesia hanya 12 persen.
Johannes menjelaskan, Eropa dan Amerika sengaja membatasi impor udang dari negara-negara tertentu seperti Cina dan Thailand. ”Para pengusaha dan petambak udang di sana mengeluh tak mampu menyaingi harganya yang sangat murah.” Karenanya, importir didorong membeli dari negara lain, seperti Indonesia.
Dia khawatir, mendomplengnya udang asal negara-negara itu ke udang Indonesia akan memupus kepercayaan, memancing kemarahan, dan menghambat ekspor udang secara keseluruhan. ”Eropa bisa saja meninjau kembali keringanan bea masuk, dan Amerika mungkin membalas dengan hambatan perdagangan baru,” katanya.
Padahal udang adalah primadona ekspor perikanan Indonesia. Pendapatan dari ekspor komoditas ini meliputi 60 persen dari total nilai ekspor perikanan sekitar US$ 2 miliar per tahun. Negara konsumen terbesar adalah Jepang (50 persen), Amerika (30 persen), dan Eropa (20 persen). Udang jenis vannamie asal Indonesia bahkan termasuk favorit pasar dewasa ini.
Kekhawatiran itu bukannya tak disadari pemerintah. Meski belum ada keputusan apa pun, Direktur Fasilitasi Ekspor Harmen Sembiring mengatakan pihaknya terus melobi Eropa dan Amerika. Artinya, Indonesia mengakui adanya kesalahan beberapa pengusaha, tapi meminta agar hal itu ”jangan sampai merusak susu sebelanga”.
Hingga sekarang, investigasi pihak Amerika masih terus berjalan, meski lebih difokuskan pada para importir di negara itu. ”Mereka menduga, importir bersekongkol dengan pengusaha dari negara yang dikenai antidumping dan memanfaatkan Indonesia sebagai tempat transit.” Sanksi bisa saja dikenakan pada pengusaha Indonesia jika terbukti terlibat dan memperoleh komisi.
Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo