Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI para manajer investasi, April lalu benar-benar mimpi buruk. Investor rame-rame menarik dana investasinya. Mandiri Manajemen Investasi paling merasakan rush itu. Duit yang mereka kelola, sekitar Rp 24 triliun dalam reksadana pendapatan tetap, nyaris amblas dalam sebulan.
Ratusan investornya panik dan menarik duit dari lembaga investasi milik Bank Mandiri itu. Investor hanya menyisakan sekitar Rp 2 triliun di kas perusahaan. Reksadana pendapatan tetap berinvestasi pada obligasi pemerintah. Hampir 80 persen dana yang dikelola manajer investasi ditanamkan di surat berharga ini. Sisanya di saham.
Ketika suku bunga naik, pasar obligasi turun, nilai investasi reksadana melorot. Bersamaan dengan itu, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meminta manajer investasi menilai aktivanya berdasarkan harga pasar—alias marked to market. Penerapan peraturan itu, pada saat pasar obligasi sedang turun, membuat nilai aktiva bersih turun.
Investor panik dan rame-rame menarik duitnya. Dana di reksadana, yang tadinya mencapai Rp 110 triliun, amblas sekitar Rp 30 triliun. Mandiri Manajemen Investasi menyumbang lebih dari setengahnya.
Dua bulan berlalu, pasar reksadana belum juga menggeliat. Monitoring Bapepam menunjukkan selisih pemasukan dan penarikan dana Rp 1,47 triliun sampai pertengahan Juli. Suku bunga tinggi dan likuiditas perbankan yang masih ketat membuat pasar ini sulit bangkit.
Banyak investor berpaling ke deposito. Sebagian mencoba nasib dengan memindahkan dananya ke reksadana campuran, yang investasinya dominan ke saham. Yudhistia Susanto, Asisten Wakil Direktur Investasi di Mandiri Manajemen Investasi, mengatakan bahwa inflasi yang tinggi membuat pasar reksadana masih akan lesu sampai setahun ke depan.
Direktur Trimegah Sekuritas, Abiprayadi Riyanto, mengatakan bahwa selain ekonomi makro yang tak mendukung, mereka juga tersandung kompetisi tak sehat. Belum semua manajer investasi menerapkan kebijakan satu harga itu. ”Semua orang bilang sudah marked to market, tapi harga yang mana?” katanya
Tak seperti saham, yang penentuan harganya sudah sangat transparan, sampai sekarang belum ada harga seragam untuk obligasi. Bapepam akhirnya mengeluarkan kebijakan baru. Manajer investasi bisa menetapkan harga 2,5 persen di atas dan di bawah harga sebenarnya. Menurut Abiprayadi, kebijakan itu tak menyelesaikan masalah. Pasar membutuhkan satu harga pasti, tidak semu, yang membuat kompetisi sama untuk setiap manajer.
Data Bloomberg pada Januari-Agustus 2005 menunjukkan ”anomali” itu. Ketika mayoritas nilai reksadana pendapatan turun, dan pasar obligasi juga sedang jatuh, beberapa reksadana anteng di level atas (Grafik 1). Pasar obligasi pemerintah juga sedang turun (Grafik 2).
Satu dari dua produk reksadana yang naik adalah Trimegah Dana Tetap, yang dikeluarkan Trimegah Sekuritas. Dalam enam bulan terakhir ini mereka bisa memberikan hasil 7,2 persen. Yang lainnya, seperti Mandiri Dana Pendapatan Tetap, Fortis Lestari Dua, dan Schroder Dana Mantap, harus puas di level negatif.
Trimegah dan beberapa reksadana lainnya lalu dituding banyak pelaku pasar tak mengikuti harga pasar dalam menghitung nilai aktiva bersihnya. Bagaimana mungkin nilai investasi naik ketika pasar obligasi, tempat mereka melakukan investasi, juga sedang turun?
Direktur Trimegah Sekuritas, Yulian Kusuma, membantah melanggar peraturan Bapepam. ”Kami tidak ingin menjadi manajer investasi yang nakal,” katanya. Bapepam juga belum mempublikasikan ada pengelola yang melanggar. Adapun nilai aktiva bersih mereka yang terus naik ketika lainnya turun hanyalah soal komposisi portofolio.
Menurut dia, obligasi pemerintah saat ini sangat rentan. Karena itu Trimegah, yang saat ini memegang duit Rp 12,4 triliun, tak menanam seluruhnya di surat utang negara. Porsinya berimbang dengan obligasi milik swasta. ”Ini soal jam terbang saja,” katanya. Obligasi pemerintah yang mereka pegang berjangka pendek sekali, sehingga suku bunga yang naik tidak terlalu berpengaruh.
Bapepam juga membolehkan harga atas bawah yang membuat tak hanya ada satu harga di pasar. Artinya, kalau pasar turun, nilai aktiva bersih belum tentu ikut melorot. Yulian mengatakan, sejak Februari sudah memprediksi penarikan besar-besaran pada April itu.
Waktu itu, katanya, duit deras masuk ke Mandiri Manajemen Investasi. Kas berlebih membuat mereka gencar berbelanja barang di pasar, yang membuat harga obligasi naik. Pasar menjadi tak sehat karena yield, atau penerimaan dari obligasi, turun.
Dampaknya, nilai investasi menjadi minus. Investor kaget dan menarik duitnya. Nasabah mereka sempat bertanya juga. ”Kami bilang punya duit kontan Rp 1,7 triliun dan ada Rp 2,4 triliun obligasi yang akan jatuh tempo. Mereka akhirnya tenang,” katanya.
Dia mengakui, peraturan Bapepam agar manajer investasi mengikuti harga pasar menjadi salah satu faktor turunnya nilai investasi. Tapi kondisi pasar yang tak sehat juga ikut mempengaruhi. ”Tanya Bapepam, apa kami pernah melanggar,” katanya.
Yulian mengakui ketika itu banyak investor yang masuk ke tempatnya. Nilainya mencapai Rp 500 miliar. Menurut dia, angka itu tidak ada apa-apanya dibanding derasnya duit keluar. Pada umumnya investor, katanya, kembali mendepositokan uangnya di bank. Sebagian duit itu terbang ke luar negeri.
Kepala Biro Pengelolaan Investasi dan Riset Bapepam, Freddy Saragih, mengatakan bahwa masih ada manajer investasi yang melanggar. Lembaga pengawasan pasar modal itu sudah memberikan peringatan berkali-kali. ”Tapi tak betul kalau masih ada yang belum menerapkan aturan marked to market,” katanya.
Sesekali dia memang melihat ada manajer investasi mematok harga di luar batas atas dan bawah. Freddy memberikan peringatan. Jika tak mempan, mereka akan dikenai sanksi. Catatan para manajer investasi bandel, katanya, sudah di tangannya. Mereka biasanya memakai taktik kucing-kucingan menyiasati Bapepam.
Ada lima manajer investasi dalam pengawasan. Dia tak bersedia menyebut nama karena sedang dibina. Pelanggaran mereka tak berat, yaitu soal penetapan harga referensi di atas batas yang ditetapkan.
Soal deviasi harga yang menjadi ganjalan, Freddy mengatakan terpaksa menerapkan itu karena industri reksadana masih dalam tahap konsolidasi. Setiap orang yang terlibat sedang belajar. Industri reksadana, yang mulai diperkenalkan pada 1997 dan berkembang pada 2001, memang belum berjalan sempurna.
Banyak barang yang diperdagangkan seperti obligasi, baik milik pemerintah maupun perusahaan swasta, tidak likuid. Informasi pasar juga belum merata. Karena itu Bapepam belum menetapkan kebijakan satu harga. Lahan investasi anyar ini masih harus dituntun dan diarahkan. Secara berkala, kata Freddy, peraturan deviasi itu akan dievaluasi. Yulian menjamin semua manajer investasi sudah berpatokan pada harga pasar. Itu karena sanksi bagi pelanggarnya cukup berat. Bapepam akan menghentikan pemasukan uang ke reksadana yang terbukti melenceng. “Kalau duit sudah tidak bisa masuk lagi, itu bunuh diri pelan-pelan,” katanya.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo