Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor Jeffrey D. Sachs seperti magnet yang menarik harapan ratusan juta kaum miskin di dunia. Di pundak penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dalam proyek Millennium Development Goals (MDGs) itu—tujuan pembangunan milenium untuk menurunkan kemiskinan ekstrem, penyakit, dan kelaparan sebelum tahun 2015—harapan tersebut diletakkan.
Dalam urusan kemiskinan, Sachs memang bukan orang sembarangan. Selama lebih dari 25 tahun, profesor kebijakan kesehatan dan manajemen di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, ini telah menggeluti isu tersebut. Sachs juga kerap diminta menjadi penasihat pemerintah di berbagai negara. Ia terlibat langsung dalam proses reformasi ekonomi di sejumlah negara Amerika Latin, Eropa Timur, bekas Uni Soviet, Asia, dan Afrika.
Tak mengherankan jika majalah Time tahun lalu menobatkan Sachs sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di muka bumi ini. The New York Times Magazine menyebutnya sebagai ekonom terpenting di dunia saat ini. Sedangkan majalah Prancis Le Nouvel Observateur menobatkannya sebagai salah satu dari 50 pemimpin paling penting dalam globalisasi.
Kehadiran ekonom yang dikenal kritis terhadap berbagai kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) itu ke Indonesia bertepatan dengan digelarnya konferensi tingkat menteri negara-negara Asia Pasifik tentang MDGs, di Jakarta, 3-5 Agustus 2005.
Kamis pekan lalu, Sachs menyihir sekitar seribu undangan yang menghadiri acara The 2005 Panglaykim Memorial Lecture di gedung Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Sebagian di antaranya bahkan harus rela duduk di luar ruang dan hanya bisa menyimak jalannya diskusi lewat sebuah layar monitor. Selama dua jam, Sachs mengupas buku terbarunya: The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time.
Di sela-sela jadwalnya yang sangat padat, Jumat pagi pekan lalu, pria ramah kelahiran 50 tahun silam ini menerima wartawan Tempo Metta Dharmasaputra, Sutarto, Heri Susanto, Padjar Iswara, dan fotografer Ramdani di Lagoon Tower Hotel Hilton, Jakarta, untuk sebuah wawancara khusus. Perbincangan berlangsung singkat, hanya sekitar 40 menit, setelah sebelumnya Direktur The Earth Institute, Columbia University, ini bertemu dengan menteri dari Myanmar.
Bagaimana Anda melihat perekonomian Indonesia dalam lima tahun terakhir?
Indonesia masih berjuang mengatasi krisis ekonomi. Negeri ini juga tengah berjuang menegakkan sistem politik yang efektif dan efisien dengan menegakkan demokrasi, setelah bertahun-tahun di bawah penguasaan tiran. Tentu bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk menghadapi dua krisis sekaligus. Saya melihat mulai ada kemajuan berarti, meskipun banyak orang merasa penanganannya lambat.
Jadi, Indonesia sudah berjalan di jalur yang benar?
Secara umum ya, dengan segala tantangannya. Tantangan bidang politik adalah bagaimana demokrasi yang masih seumur jagung berjalan efektif. Sedangkan di bidang ekonomi, tantangannya adalah bagaimana Indonesia mampu bersaing dalam perekonomian global, terutama di bidang-bidang baru, seperti jasa perdagangan internasional, teknologi komunikasi, dan industri berbasis sains. Masalah lainnya, bagaimana Indonesia dapat secepatnya menemukan sumber energi baru. Kenyataan yang sangat mengejutkan, Indonesia yang tadinya pengekspor minyak mentah kini jadi pengimpor minyak.
Di luar itu, apa persoalan penting lain?
Banyak hal yang belum tersentuh dalam pekerjaan besar ini. Misalnya, jumlah investasi asing yang masuk belum seperti yang diharapkan. Institusi politik yang diharapkan menjadi penyokong perekonomian juga belum efektif. Contoh paling nyata adalah soal desentralisasi. Pemerintahan daerah masih tertatih-tatih. Banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia, sementara dunia bergerak sangat cepat.
Sejumlah kajian menyalahkan IMF dalam mengatasi krisis Indonesia. Pendapat Anda?
Saya yang pertama kali menulis soal ini di New York Times, awal November 1997. Banyak argumen yang saya ajukan bahwa IMF memberikan kebijakan yang salah dan hal ini terbukti kemudian. Kebijakan mereka menutup beberapa bank saat itu akan menimbulkan kepanikan di masyarakat, dan hal itu terjadi. Saya pikir saat itu mereka (IMF) tidak terlalu membantu Indonesia.
Indonesia menghadapi persoalan utang yang sangat besar. Mungkinkah mendapat pengampunan utang?
Memang ada kesepakatan internasional bahwa bila sebuah negara miskin menghadapi beban utang yang sangat besar sehingga sulit mengimplementasikan MDGs, negara itu punya kesempatan meminta pengurangan beban utang. Saya belum mempelajari utang luar negeri Indonesia secara seksama. Tapi, setahu saya, tingkat hidup masyarakat Indonesia tidak serendah negara-negara miskin.
Beban subsidi yang ditanggung negara juga sangat besar. Bagaimana seharusnya?
Menetapkan harga sebuah produk publik, seperti bahan bakar minyak (BBM), di bawah harga pasar, tentu sangat mahal bagi perekonomian negara dan menimbulkan distorsi. Bagi saya, menetapkan pagu harga BBM bukan kebijakan yang benar. Seharusnya subsidi diberikan kepada kelompok target secara selektif. Fokusnya pada kelompok miskin. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat menghemat banyak dana sehingga bisa dialihkan untuk membangun jalan dan pelabuhan atau menciptakan lapangan kerja.
Bagaimana problem kemiskinan di Indonesia?
Di Indonesia terdapat beberapa penduduk yang sangat miskin, tapi sebagian besar masuk kategori miskin. (Berbeda dengan) negara-negara di Afrika, di mana sebagian besar penduduknya masuk kategori kemiskinan ekstrem (berpendapatan kurang dari US$ 1 per hari). Mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa dimakan pada hari itu, tidak punya akses terhadap sumber air minum bersih, kesehatan, dan penerangan.
Dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, bagaimana peringkat Indonesia?
Yang terpenting bukan soal peringkat, tapi ada upaya yang kuat untuk mengurangi kemiskinan, mengatasi urbanisasi, dan menumbuhkan industri baru yang kompetitif. Yang juga penting, ada pertumbuhan ekonomi. Dan Indonesia telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi sejak empat tahun lalu, setelah krisis besar terjadi tahun 1997.
Anda yakin Indonesia dapat mencapai tujuan pembangunan milenium (MDGs) pada tahun 2015?
Saya tidak yakin, tapi saya akan berdiskusi dengan pemerintah hari ini (Jumat pekan laluRed.). Pertemuan itu akan membicarakan target dan tantangan khusus untuk mencapainya. Saya yakin, MDGs akan tercapai di sini jika diatur dengan baik.
Semua orang kini melirik keajaiban ekonomi Cina dan India. Penilaian Anda?
Pertumbuhan ekonomi India dan Cina yang luar biasa memberikan perubahan berarti bagi seluruh kawasan Asia, baik di selatan maupun tenggara. Saya rasa ini memberikan banyak kesempatan bagi Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia. Semakin kaya kedua negara itu, Indonesia punya banyak kesempatan untuk menjual produknya di sana. Abad ke-21 merupakan abad perekonomian Asia.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Harus ada ketersediaan tenaga kerja terdidik, memiliki kompetensi dalam sains dan teknologi, mempunyai jaringan ekonomi yang tangguh bersama negara lain, sistem ekonomi yang terbuka, dan kebijakan pemerintah yang dapat diandalkan untuk menghadapi perubahan. Selain itu, Indonesia memerlukan infrastruktur dasar yang baik, misalnya infrastruktur teknologi dan komunikasi. Pengembangan teknologi di bidang agrikultura dan bioteknologi pun sangat penting. Saya ingin Indonesia ke depan menguasai kemampuan sains dan teknologi agar mampu bersaing dalam perekonomian dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo