Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BI juga lagi-lagi terpaksa menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 15,58 persen per bulan, padahal dalam APBN diasumsikan 11,5 persen. Taktik untuk mengurangi jumlah uang beredar ini diharapkan bisa memperkuat otot rupiah. Hasilnya? Selama Maret 2001, rupiah yang bisa dikandangkan mencapai Rp 59,55 triliun. Tapi hal itu belum memadai, karena rupiah tetap saja rentan. Sepanjang Maret 2001, SBI bahkan dinaikkan empat kali, tapi otot rupiah bukannya menguat, sebaliknya melemah dari Rp 9.939 menjadi Rp 10.502 per dolar.
Sedemikian rapuh mata uang RI itu, sehingga kalau bisa ditopang pada Rp 10.400 per dolar saja, orang sudah senang. Padahal, ongkos kenaikan suku bunga SBI cukup besar dan bisa memukul ekonomi secara keseluruhan. Tengok saja, setiap 1 persen kenaikan SBI membuat kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi rekap bertambah Rp 3 triliun. Jika sampai akhir tahun ini tingkat SBI bertahan di 14,5 persen saja, pengeluaran pemerintah membengkak sebanyak Rp 9 triliun.
Buat bank-bank tentu, lebih menguntungkan bila mereka membeli SBI yang bunganya tinggi, ketimbang mengucurkan kredit. Sedangkan untuk menutup kenaikan biaya deposito, mereka menaikkan suku bunga kredit. Akibatnya, suku bunga kredit melonjak ke 18 persen, sementara suku bunga pinjaman antarbank merangkak ke 13 persen.
Yang paling terpukul adalah para pengusaha dan debitor KPR. Adapun sektor riil yang sudah pingsan bisa dipastikan tak akan segera siuman. Namun, Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom menyatakan, langkah BI sesuai dengan wewenangnya untuk menstabilkan nilai tukar. "Langkah itu juga merupakan antisipasi terhadap kenaikan ekspektasi inflasi," katanya seraya menunjuk angka inflasi bulan Maret yang menurut hitungan year on year akan mencapai 10 persen.
Miranda juga menyangkal tingginya suku bunga SBI membuat bank enggan mengucurkan kredit. Akibatnya, sektor riil tak juga bangkit. Ia malah menunjuk macetnya restrukturisasi utang yang lebih punya andil dan sampai mengakibatkan kredit ke sektor riil tak kunjung mengalir. Buktinya, sewaktu suku bunga SBI masih 11 persen, "bank juga lebih suka menaruh uangnya di SBI," katanya sambil tertawa.
Namun, tindakan BI itu merupakan langkah yang keliru. Ini menurut penilaian seorang ekonom di sebuah sekuritas asing. "Instrumen SBI hanya bisa berfungsi bila sistem perdagangan pasar uang berlangsung sempurna," ujarnya. Di sini masalahnya, peraturan perdagangan uang masih jauh dari sempurna. Sistem pengawasan, misalnya, kendati sudah ada, toh belum berjalan baik. Ia mengambil contoh sikap BI yang ragu-ragu menjatuhkan sanksi terhadap Standard Chartered Bank, yang "tertangkap basah" melanggar peraturan.
Demi stabilitas nilai rupiah, ketimbang menaikkan suku bunga SBI, ekonom yang tak mau disebut namanya itu menyarankan agar BI memperbaiki tata niaga pasar uang. Ke dalamnya termasuk menerapkan hukuman secara tegas atas setiap pelanggaran. Selain itu, kondisi ketidakpastian, yang membuat rupiah dijual dengan harga diskon, mesti segera diakhiri. Sebab, "Ketidakpastian itulah yang membuat rupiah selalu di-short," katanya menggambarkan perilaku para pialang valuta asing yang selalu memegang rupiah untuk jangka pendek, sebaliknya menggenggam dolar untuk jangka panjang.
Akan lebih jitu jika devisa hasil ekspor tak boleh lagi diparkir di luar negeri. Untuk itu pemerintah dan BI, sebagai penentu kebijakan fiskal dan moneter, mesti bekerja sama. Bank sentral, misalnya, mewajibkan eksportir membawa pulang dolar hasil ekspornya. Pemerintah juga mendukung dengan menurunkan pajak hasil ekspor. Dengan demikian, para eksportir tak perlu berbuat curang dengan mencatatkan nilai ekspor lebih rendah dari sebenarnya (under invoice).
Sejauh ini, kerja sama antara BI dan pemerintah memang lebih berupa basa-basi. Jangankan bahu-membahu menjaga nilai tukar, bertemu muka pun mereka enggan. Bahkan, untuk menemui pejabat Dana Moneter Internasional (IMF), sumber TEMPO menuturkan bahwa para penentu kebijakan fiskal dan moneter itu jalan sendiri-sendiri. Maka, jangan heran kalau hasilnya tidak maksimal.
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani
Bunga SBI dibandingkan kurs rupiah terhadap US$ selama Maret 2001 | |||
Tanggal | SBI (%) | Kurs Rp terhadap US$ (Jual) * | Kurs Rp terhadap US$ (Beli) * |
7/3/01 | 14,83 | 9.939 | 9.841 |
14/3/01 | 14,97 | 10.048 | 9.948 |
21/3/01 | 15,24 | 10.482 | 10.378 |
28/3/01 | 15,58 | 10.502 | 10.398 |
Sumber: Bank Indonesia, Maret 2001. | |||
* dalam Rupiah Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO ekonomi sinyal-pasar bisnis Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |