Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Rupiah Tak Terjun Bebas

Kenaikan suku bunga SBI belum berhasil menguatkan otot rupiah. Akan lebih ampuh jika devisa hasil ekspor tidak diparkir di luar negeri. Caranya?

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan Bank Indonesia (BI), tapi kejatuhan nilai rupiah seperti tak tertahankan. Selain memperketat pengawasan terhadap bank-bank yang bertransaksi dolar, BI juga terus melakukan sterilisasi dengan intervensi pasar. Jumlah dolar yang dibenamkan BI untuk memborong rupiah jangan ditanya lagi. Tentang ini Gubernur BI Syahril Sabirin menutup mulut rapat-rapat, tapi diperkirakan cadangan devisa yang dilepas sudah ratusan juta dolar.

BI juga lagi-lagi terpaksa menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 15,58 persen per bulan, padahal dalam APBN diasumsikan 11,5 persen. Taktik untuk mengurangi jumlah uang beredar ini diharapkan bisa memperkuat otot rupiah. Hasilnya? Selama Maret 2001, rupiah yang bisa dikandangkan mencapai Rp 59,55 triliun. Tapi hal itu belum memadai, karena rupiah tetap saja rentan. Sepanjang Maret 2001, SBI bahkan dinaikkan empat kali, tapi otot rupiah bukannya menguat, sebaliknya melemah dari Rp 9.939 menjadi Rp 10.502 per dolar.

Sedemikian rapuh mata uang RI itu, sehingga kalau bisa ditopang pada Rp 10.400 per dolar saja, orang sudah senang. Padahal, ongkos kenaikan suku bunga SBI cukup besar dan bisa memukul ekonomi secara keseluruhan. Tengok saja, setiap 1 persen kenaikan SBI membuat kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi rekap bertambah Rp 3 triliun. Jika sampai akhir tahun ini tingkat SBI bertahan di 14,5 persen saja, pengeluaran pemerintah membengkak sebanyak Rp 9 triliun.

Buat bank-bank tentu, lebih menguntungkan bila mereka membeli SBI yang bunganya tinggi, ketimbang mengucurkan kredit. Sedangkan untuk menutup kenaikan biaya deposito, mereka menaikkan suku bunga kredit. Akibatnya, suku bunga kredit melonjak ke 18 persen, sementara suku bunga pinjaman antarbank merangkak ke 13 persen.

Yang paling terpukul adalah para pengusaha dan debitor KPR. Adapun sektor riil yang sudah pingsan bisa dipastikan tak akan segera siuman. Namun, Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom menyatakan, langkah BI sesuai dengan wewenangnya untuk menstabilkan nilai tukar. "Langkah itu juga merupakan antisipasi terhadap kenaikan ekspektasi inflasi," katanya seraya menunjuk angka inflasi bulan Maret yang menurut hitungan year on year akan mencapai 10 persen.

Miranda juga menyangkal tingginya suku bunga SBI membuat bank enggan mengucurkan kredit. Akibatnya, sektor riil tak juga bangkit. Ia malah menunjuk macetnya restrukturisasi utang yang lebih punya andil dan sampai mengakibatkan kredit ke sektor riil tak kunjung mengalir. Buktinya, sewaktu suku bunga SBI masih 11 persen, "bank juga lebih suka menaruh uangnya di SBI," katanya sambil tertawa.

Namun, tindakan BI itu merupakan langkah yang keliru. Ini menurut penilaian seorang ekonom di sebuah sekuritas asing. "Instrumen SBI hanya bisa berfungsi bila sistem perdagangan pasar uang berlangsung sempurna," ujarnya. Di sini masalahnya, peraturan perdagangan uang masih jauh dari sempurna. Sistem pengawasan, misalnya, kendati sudah ada, toh belum berjalan baik. Ia mengambil contoh sikap BI yang ragu-ragu menjatuhkan sanksi terhadap Standard Chartered Bank, yang "tertangkap basah" melanggar peraturan.

Demi stabilitas nilai rupiah, ketimbang menaikkan suku bunga SBI, ekonom yang tak mau disebut namanya itu menyarankan agar BI memperbaiki tata niaga pasar uang. Ke dalamnya termasuk menerapkan hukuman secara tegas atas setiap pelanggaran. Selain itu, kondisi ketidakpastian, yang membuat rupiah dijual dengan harga diskon, mesti segera diakhiri. Sebab, "Ketidakpastian itulah yang membuat rupiah selalu di-short," katanya menggambarkan perilaku para pialang valuta asing yang selalu memegang rupiah untuk jangka pendek, sebaliknya menggenggam dolar untuk jangka panjang.

Akan lebih jitu jika devisa hasil ekspor tak boleh lagi diparkir di luar negeri. Untuk itu pemerintah dan BI, sebagai penentu kebijakan fiskal dan moneter, mesti bekerja sama. Bank sentral, misalnya, mewajibkan eksportir membawa pulang dolar hasil ekspornya. Pemerintah juga mendukung dengan menurunkan pajak hasil ekspor. Dengan demikian, para eksportir tak perlu berbuat curang dengan mencatatkan nilai ekspor lebih rendah dari sebenarnya (under invoice).

Sejauh ini, kerja sama antara BI dan pemerintah memang lebih berupa basa-basi. Jangankan bahu-membahu menjaga nilai tukar, bertemu muka pun mereka enggan. Bahkan, untuk menemui pejabat Dana Moneter Internasional (IMF), sumber TEMPO menuturkan bahwa para penentu kebijakan fiskal dan moneter itu jalan sendiri-sendiri. Maka, jangan heran kalau hasilnya tidak maksimal.

Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani

Bunga SBI dibandingkan kurs rupiah terhadap US$ selama Maret 2001

Tanggal

SBI (%)

Kurs Rp terhadap US$ (Jual) *

Kurs Rp terhadap US$ (Beli) *

7/3/01

14,83

9.939

9.841

14/3/01

14,97

10.048

9.948

21/3/01

15,24

10.482

10.378

28/3/01

15,58

10.502

10.398

Sumber: Bank Indonesia, Maret 2001.

* dalam Rupiah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum