Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM hal usia, Lyte Limited terbilang belia. Baru berdiri sembilan bulan lalu di Kepulauan Jersey, Inggris, perusahaan itu sudah harus memikul beban luar biasa. Di pundak perusahaan yang bermodal hanya 10 ribu pound sterling atau sekitar Rp 175 juta itulah kini tanggungan kerugian akibat bencana lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, digantungkan.
Ini terjadi lantaran Lyte, dua pekan lalu, membeli dua anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk., yakni PT Kalila Energi Ltd. dan PT Pan Asia Energi Ltd. Kedua perusahaan itulah pemilik Lapindo Brantas Inc., operator pengeboran migas di lahan bencana. Kalila menguasai 84,2 persen saham Lapindo, 15,8 persen sisanya punya Pan Asia.
Harga pembeliannya pun supermurah: hanya US$ 2 (Rp 18 ribu), atau seharga dua bungkus rokok. Soalnya, sejak bencana lumpur meledak pada akhir Mei lalu, boleh dibilang perusahaan ini langsung bangkrut. Modalnya tergerus oleh kewajibannya menanggung semua kerugian akibat bencana. Per Juni 2006, modal Kalila bahkan sudah minus US$ 22,8 juta. Pan Asia minus US$ 208 ribu.
Meski berkedudukan di Eropa Barat, Lyte bukanlah perusahaan milik asing. Seperti halnya Energi Mega, Lyte tak lain merupakan bagian dari kerajaan bisnis Grup Bakrie. Bedanya, Lyte sepenuhnya dikendalikan Grup Bakrie, sedangkan Energi Mega tidak penuh dikuasai kelompok usaha ini. Grup Bakrie hanya punya 60 persen saham, sedangkan 40 persen sisanya milik publik.
Setelah proses transaksi rampung, ”Lyte nantinya akan berubah nama menjadi Bakrie Oil and Gas,” kata Herwin Hidayat, Sekretaris Perusahaan Energi Mega, kepada Tempo pekan lalu. Penggantian nama itu tampaknya sengaja ditempuh agar orang tak lagi ragu terhadap ”komitmen” Grup Bakrie menanggung beban bencana. ”Yang penting, nantinya jangan sampai perusahaan itu dibangkrutkan,” ujar salah seorang pengusaha tambang. Sebab, jika itu dilakukan, kewajiban Bakrie otomatis pupus.
Buat Grup Bakrie, pemisahan Lapindo dari Energi Mega menjadi bagian penting dari upayanya merajut kembali ambisinya membangun perusahaan raksasa energi, yang sempat koyak setelah diterjang bencana Sidoarjo. Sudah sejak tahun lalu Energi Mega memang disiapkan untuk segera disandingkan dengan PT Bumi Resources, salah satu induk perusahaan Grup Bakrie lainnya di bidang pertambangan.
Namun, rencana besar Grup Bakrie itu dihadang bencana Sidoarjo. Sebagai induk Lapindo, saham Energi Mega di lantai bursa ikut remuk. Harganya yang semula berkisar Rp 900 per saham kini tinggal Rp 500-an. Celakanya, sebagai perusahaan publik, bukan hanya Bakrie yang rugi. Para pemegang saham publik pun ikut ketiban sial.
Itu sebabnya kepercayaan investor terhadap saham-saham Grup Bakrie lainnya sempat ikut ambrol. Untuk menyelamatkan situasi itulah, tak ada pilihan lain: Lapindo harus dipisahkan dari Energi Mega. Hanya dengan begitu eksistensi Energi Mega bisa dipertahankan, agar tak ikut karam bersama Lapindo.
Selain persoalan Lapindo, pada Agustus lalu Bakrie juga dihadapkan pada kenyataan tak sedap. Rencana penjualan dua perusahaan tambang batu bara miliknya, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, ke konsorsium Borneo Lumbung Energi (Renaissance Capital) batal dilaksanakan. Dengan kegagalan ini, secara otomatis Bakrie tak bisa segera mendapatkan dana Rp 29 triliun dari hasil penjualan itu.
Padahal, setidaknya Bakrie perlu merogoh kocek Rp 1,5 triliun untuk mengatasi bencana lumpur Sidoarjo, yang telah membuat 10 ribu orang harus diungsikan dan 400 hektare lahan plus rumah, pabrik, dan sekolah tenggelam. Apalagi, Grup Bakrie sudah menggelar sederet rencana untuk mewujudkan mimpi-mimpi besarnya.
Selain berambisi menjadi salah satu raksasa energi di Asia-Pasifik, Bakrie juga bercita-cita segera mewujudkan proyek pembangunan Rasuna Epicentrum di atas lahan seluas 44,7 hektare di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Di sinilah nantinya imperium bisnis Bakrie dipusatkan.
Bahkan menurut Anindya Bakrie, putra sulung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, semua lini usaha Grup Bakrie bakal diarahkan untuk bersaing dengan perusahaan kelas dunia. Beberapa di antaranya, tersebutlah PT Bakrie Brothers di sektor infrastruktur, PT Bakrie Telecom di telekomunikasi, PT Bakrie Sumatra Plantation di perkebunan, dan PT Bakrie Swasakti Utama di properti. ”Ke depan, kami ingin Bakrie bukan dikenal sebagai bisnis keluarga, tetapi perusahaan kelas dunia, seperti Toyota atau Mitsubishi di Jepang,” kata Anindya.
Pertanyaannya, mungkinkah kini mimpi indah itu bisa dicapai? Atau, malah kerajaan bisnis Bakrie kembali oleng, seperti ketika diterjang krisis ekonomi pada 1997, yang membelitnya dengan utang raksasa US$ 1,1 miliar? Untuk pertanyaan kedua, seorang pengusaha papan atas menyangsikannya. Alasannya, pundi-pundi kekayaan Bakrie kini sudah kian gemuk.
Lihat saja taksiran majalah Forbes Asia edisi 18 September lalu. Di situ disebutkan, keluarga Bakrie menempati urutan orang terkaya keenam di Indonesia dengan jumlah kekayaan US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 10,8 triliun. Padahal, dua tahun lalu, kekayaannya baru sekitar US$ 735 juta. Anindya pun mengaku nilai kapitalisasi pasar saham Grup Bakrie sudah melonjak dua kali lipat dibandingkan sebelum krisis 1997, dari hanya US$ 1,5 miliar menjadi sekitar US$ 3 miliar.
Meski begitu, tak berarti semua mimpi besar Grup Bakrie kini bisa langsung diwujudkan. Sebab, seperti dituturkan Ketua Pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo, Basuki Hadimuljono, diperlukan dana sedikitnya Rp 1,5 triliun untuk merelokasi penduduk dan membangun infrastruktur penanganan bencana lumpur.
Biaya ini otomatis akan menggerogoti pundi-pundi Grup Bakrie, sebab Lapindo sudah pasti tak akan kuat menanggungnya. ”Lapindo sudah bangkrut,” ujar sumber Tempo. Kemampuan perusahaan ini hanya sekitar Rp 200 miliar. Lebih dari jumlah itu, Keluarga Bakrie sebagai pemilik mayoritas Lapindo yang harus menanggung bebannya lewat Lyte Limited.
Terhadap berbagai persoalan ini, Aburizal Bakrie enggan berkomentar. Alasannya, sejak ia menjabat sebagai menteri, semua urusan perusahaan telah dilepasnya. ”Tanya manajemen Grup Bakrie saja,” ujarnya kepada Tempo di Istana Negara pekan lalu.
Jawaban lebih gamblang disampaikan Anindya. Salah satu ahli waris takhta imperium bisnis Bakrie ini mengakui kasus lumpur Lapindo merupakan cobaan berat bagi Keluarga Bakrie. Meski begitu, ia optimistis dampak finansialnya masih bisa diatasi. Kendati menyedot dana besar, beban itu tak akan menyeret karam unit bisnis Bakrie lainnya. ”Perusahaan lainnya tak bisa dimintai tanggung jawab atas Lapindo,” kata Presiden Direktur Bakrie Telecom itu.
Jika begitu, bisa jadi kapal bisnis Grup Bakrie masih akan berlayar jauh. Hanya saja, perlu juga diingat bahwa kepercayaan investor yang sempat hilang tak akan mudah kembali seperti membalik telapak tangan. Padahal, tanpa itu, tak kan mudah pula buat Grup Bakrie untuk bisa menjaring dana pinjaman seperti dulu, yang tentu amat dibutuhkan untuk mewujudkan semua mimpinya.
Heri Susanto, Bagja Hidayat
Jatuh-Bangun Usaha Bakrie
1942 CV Bakrie & Brothers General Merchant and Commission Agent berdiri di Telukbetung, Lampung.
1943 Merambah ke Jakarta, ganti nama jadi Jasumi Shokai.
1957 Membeli CV Kawat.
1959 Bakrie & Brothers memelopori pembuatan pipa baja di Indonesia.
1971 Bakrie & Brothers menjadi perseroan terbatas.
1986 Mengakuisisi Uniroyal Sumatera Plantation. Berubah menjadi Bakrie Sumatera Plantation, dan masuk bursa 1990.
1989 Merambah sektor telekomunikasi.
1993 ANTV ditayangkan.
1998 Utang Bakrie & Brothers melar jadi US$ 1,08 miliar (Rp 9,7 triliun).
2001
Oktober Bumi Recourses mengakuisisi Arutmin US$ 185 juta dari BPH Hilton.
November Kesepakatan restrukturisasi utang diteken. Saham keluarga Bakrie tinggal 2,92 persen.
2003 Bumi Resources Membeli Kaltim Prima Coal (KPC) US$ 500 juta dari Rio Tinto dan Beyond Petroleum Plc.
2005 ANTV bekerja sama dengan STAR TV.
2006
Maret Bumi melepas Arutmin dan KPC ke Renaissance Capital lewat PT Borneo Lumbung Energi, US$ 3,2 miliar (Rp 29 triliun).
Mei Lumpur di Blok Brantas menyembur.
Juni Energi Mega Persada dan Bumi Resources berencana merger.
Agustus Jual-beli Arutmin dan KPC ke Renaissance Capital berantakan.
September Energi Mega Persada melepas Kalila Energy Ltd. dan Pan Asia Enterprise Ltd. ke Lyte.
Kembali Diterjang Badai
BADAI krisis ekonomi, sekitar delapan tahun silam, sempat merontokkan sendi-sendi bisnis keluarga Bakrie. Tapi, siapa sangka, usaha yang dirintis Achmad Bakrie sejak 1942 itu berhasil bangkit. Sederet mimpi kembali dibentangkan. Namun, belum lagi mimpi terwujud, aral menghadang: mulai dari banjir lumpur Lapindo, gagalnya penjualan Kaltim Prima Coal dan Arutmin oleh PT Bumi Resources, hingga molornya merger Bumi dan PT Energi Mega Persada. Pohon bisnis yang tengah mekar itu kembali diterjang badai.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo