Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMPUN besar itu dimulai dari sebuah nama, Achmad Bakrie. Seorang bocah tujuh tahun, anak petani kecil yang setiap hari berkeliling Kalianda, Lampung Selatan, menjajakan roti yang disunggi dengan tampah di atas kepala. Tahunnya 1923.
Dari berjualan roti itu—dengan sistem bagi hasil—Bakrie memberanikan diri menjadi agen sayur-mayur. Subuh buta ia sudah menunggu para petani yang hendak menjual hasil panennya. Pekerjaan ini dilakoninya ketika mulai masuk Holandsch Inlandsche School (HIS, setingkat SD) di Menggala.
Tamat dari HIS, Bakrie ingin sepenuhnya berdagang. Tapi, apa daya, modal tak cukup. Ia pun menjalani berbagai pekerjaan, di antaranya menjadi komisioner (pedagang perantara) kopi dan lada di Molekse Handel Maatschappij, perusahaan Belanda di Telukbetung.
Dari menabung gaji, Bakrie menyeberang ke Jakarta. Dia belajar akuntansi dan bahasa Inggris di Handelsinstituut Schoevers, pada 1938-1940. Tapi, masa liburan tetap dimanfaatkannya pulang ke Lampung dan bekerja di NV Van Gorkom. Di perusahaan ini ia menjadi training salesman. Areanya meliputi Lampung, Bengkulu, Palembang, dan Jambi.
Setelah itu Bakrie bekerja di Zuid Sumatera Apothek, Telukbetung, sebagai salesman. Gajinya 37,5 gulden per bulan—jumlah yang besar untuk masa itu. Tapi, Jepang keburu datang ke Indonesia.
Melihat gelagat tak baik, Bakrie memborong obat dari toko tempat ia bekerja. Perhitungannya jitu. Belakangan, Jepang melarang obat buatan Eropa masuk ke Indonesia. Akibatnya, harga obat melambung. Mudah ditebak: kantong Bakrie mulai tebal.
Merasa cukup modal, Bakrie bersama Abuyamin, abangnya, mendirikan CV Bakrie & Brothers General Merchant and Commission Agent, di Telukbetung, pada 1942. Perusahaan ini menjual kopi, lada, cengkeh, daun sirih, pepaya, dan tapioka. Hasil bumi itu dikirim ke Palembang dengan kereta api. Meski kereta berangkat pukul 03.00, Bakrie sudah tiba stasiun dua jam sebelumnya.
Tidaklah aneh jika kemudian, pada 1952, Bakrie melejit jadi pedagang ekspor-impor. Bisnisnya kian luas setelah membeli pabrik kawat (1957) dan perkebunan karet Uniroyal di Kisaran, Sumatera Utara (1986). Ia juga mendirikan pabrik pipa baja dan cor logam.
Padahal, dalam buku otobiografinya (Achmad Bakrie, Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan), angan-angan Bakrie ketika datang ke Jakarta sederhana saja. ”Punya kantor sendiri,” ujarnya. ”Lalu ada telepon berdering di sana-sini seperti di film Amerika.” Mimpi itu terwujud dengan berdirinya Wisma Bakrie di kawasan Kuningan, Jakarta, pada 1984.
Perjalanan suksesnya membuat banyak orang kagum. Almarhum Alamsyah Ratuperwiranegara, bekas Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di era Soeharto, misalnya, tahu persis apa yang dilakoni Bakrie remaja. ”Saya melihatnya berseliweran di emperan toko di Tanjungkarang,” tulis Alamsyah dalam buku biografi Bakrie. ”Ia menjajakan potlot Parker.”
Ketekunan Bakrie sebagai pengusaha juga dikisahkan almarhum Hasjim Ning. ”Kalau tidak ada yang membersihkan kopi atau cengkeh, dia sendiri yang melakukannya,” tulis Hasjim.
Biduk perusahaan yang dirintis Achmad Bakrie itu kemudian berlanjut di tangan ketiga putranya. Aburizal Bakrie, putra sulung yang akrab disapa Ical, menjadi Presiden Direktur Bakrie & Brothers. Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie menjadi wakil presiden direktur.
Tongkat estafet itu diberikan pada 1 Januari 1988, satu setengah bulan sebelum Bakrie senior wafat. Adapun Roosmania Kusmuljono, putri semata wayang, tak banyak terjun di dunia bisnis.
Tapi, sebelum itu, ketiga putra Bakrie itu cukup lama bergelut dalam bisnis. Ical, contohnya, dari 1972 sudah menjadi Asisten Dewan Direksi Bakrie & Brothers. Dua tahun kemudian ia menempati posisi direktur. Baru pada 1982, alumni Teknik Elektro ITB itu menjadi wakil presiden direktur.
Di tangan mereka, bisnis Grup Bakrie merambah ke telekomunikasi, infrastruktur, energi dan pertambangan, perbankan, jasa keuangan, hingga media. Tapi, otak bisnis Grup Bakrie bukan Ical, melainkan Nirwan dan Indra. ”Nirwan memegang strategi perdagangan, Indra yang melaksanakannya,” tutur Ical.
Sedangkan Ical menjadi juru bicara, sekaligus mengembangkan organisasi perusahaan. ”Ical pula yang melakukan lobi-lobi,” sumber Tempo berbisik. Peran ini pas buatnya, karena ia banyak terlibat di berbagai organisasi, misalnya Kadin, HIPMI, Persatuan Insinyur Indonesia, dan masuk Golongan Karya sejak 1984.
Tak mengherankan bila nama Ical lebih dikenal ketimbang adik-adiknya. ”Karena bumi hanya punya satu matahari,” Ical memberi analogi. Falsafah itu yang ditanam oleh Achmad Bakrie pada keluarga. Kedua adiknya, kata Ical, merelakan ia menjadi ”matahari”.
Belakangan, berbeda dengan ayahnya yang enggan bersinggungan dengan politik, Ical ikut konvensi Golkar 2004. Meski gagal, ia berhasil masuk kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Menjabat Menteri Perekonomian satu tahun, Ical kini Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Sejak itulah tanggung jawab Indra, terutama Nirwan, dalam menjalankan perusahaan kian besar. ”Karena mereka yang paling senior,” kata Anindya N. Bakrie, putra sulung Ical. Anin—sapaan akrab Anindya—sejak 2002 menjadi Presiden Direktur ANTV dan PT Bakrie Telecom.
Pria 32 tahun itu sejak kecil sudah tertarik pada bisnis. Tapi, dalam perjalanannya, karier Anin tak mulus-mulus amat. Delapan tahun lalu, peraih gelar MBA dari Universitas Stanford, Amerika, itu oleh Securities and Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal Amerika Serikat, dilaporkan ke Pengadilan Distrik Selatan, New York. Ia didakwa melakukan praktek curang yang melibatkan orang dalam (insider trading).
Ceritanya, pada 5 September 1997, Anin meminta temannya, Roy Handojo, membeli saham Washington Gas Light Company untuk dirinya. Dari pembelian 25 ribu lembar saham senilai US$ 650 ribu (Rp 5,8 miliar) itu, Anin menjanjikan keuntungan buat Roy. Soalnya, Washington Gas lagi bernegosiasi dengan Consolidated Natural Gas Company untuk merger.
Anin paham rencana merger itu karena ia bekerja sebagai analis finansial yunior di Global Power Group, unit Salomon Smith Barney Inc., New York. Kebetulan perusahaan tempat Anin bekerja penasihat merger.
Belakangan Anin berubah pikiran dan batal membeli saham tersebut. Roy akhirnya melepas seluruh saham tadi, dan menderita rugi US$ 13,8 ribu.
Aksi menggoreng saham ini terendus SEC. Roy ditangkap. Tapi Anin pulang ke Indonesia dan buru-buru berhenti dari Salomon. Meski begitu, Pengadilan Distrik Selatan, New York, memerintahkan Anin membayar denda US$ 40 ribu.
Selain Anin, generasi ketiga Bakrie yang sudah menggeluti bisnis adalah Syailendra Surmansyah Bakrie, 26 tahun. Putra tertua Indra Bakrie ini tertarik pada bisnis sejak usia 12 tahun. ”Ingin menjadi businessman seperti Pa-pa dan Atuk (kakek),” ujarnya saat itu.
Kini Syailendra memiliki saham 12,29 persen di Federal International (2000) Ltd. Perusahaan ini memiliki kaitan dengan Medici Citra Nusa, kontraktor pengeboran Lapindo Brantas. Adapun Anindhita Anestya Bakrie, 29 tahun, adik Anin, menjadi Deputi Direktur Program dan Produksi ANTV. Sedangkan Andika Nuraga, putra tertua Nirwan, bekerja di Mitsubishi dan berniat meneruskan studi. Sisanya? ”Masih sekolah dan bekerja di luar negeri,” kata Anin.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo