Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiga jam Mustafa Abubakar berkutat di Ruby Room, Sofitel Hotel, Ho Chi Minh City. Di bekas ibu kota Vietnam Selatan ini, tiga pekan lalu, Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog itu bersilat lidah dengan para petinggi Vietnam Southern Food Corporation, membahas revisi kontrak impor beras di antara kedua negara.
Meski belum sebulan ditunjuk mengepalai Bulog, bekas pelaksana tugas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam itu cukup piawai bernegosiasi. Di akhir perundingan, perusahaan pelat merah Vietnam itu setuju memangkas harga jual beras yang telah disepakati sebelumnya. Tak cukup besar, memang, hanya US$ 1,5 atau sekitar Rp 13.500 per metrik ton. ”Diskon itu untuk semua beras yang belum dikapalkan ke Indonesia,” kata Mustafa pekan lalu.
Pemerintah tahun ini berencana mengimpor beras dari sejumlah negara sebanyak 1,5 juta metrik ton dalam tiga tahap. Vietnam, berdasarkan kesepakatan antarpemerintah, kebagian memasok beras tahap pertama dan tahap ketiga masing-masing 250 ribu ton. Dalam kesepakatan sebelumnya, untuk tahap pertama Vietnam mematok harga US$ 308 per metrik ton, sedangkan untuk tahap ketiga US$ 299,5 per metrik ton.
Selain soal harga, menurut sumber Tempo di pemerintahan, sesungguhnya ada agenda penting lain yang dibawa Mustafa ke forum itu. Ia meminta Vietnam Food tidak lagi memberikan komi-si kepada perorangan dalam pengadaan beras, seperti pada kasus Widjanarko Puspoyo, bekas Direktur Utama Bulog.
Sayang, untuk soal yang satu ini, permintaan Mustafa membentur tembok. Alih-alih mengakui, ”Perusahaan itu malah berani membuat garansi tertulis bahwa mereka tidak pernah memberi hadiah seperti itu,” kata pejabat pemerintah itu.
Pengakuan Vietnam Food jelas berbeda dengan hasil telaah lima penyidik Kejaksaan Agung yang bertolak ke Vietnam sepekan setelah kunjungan Mustafa. Menurut Hendarman Supandji, pelaksana tugas Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan berhasil menemukan bukti-bukti baru. ”Bukti-bukti itu sangat menguatkan adanya fee,” katanya tanpa memerinci lebih jauh.
Nama Vietnam Southern Food Corporation jadi pergunjingan setelah Widjanarko ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor beras periode 2001–2002. Lewat jalur berliku, Widjanarko dan keluarganya diduga menerima uang dari Vietnam Food sebesar US$ 1,2 juta (sekitar Rp 11 miliar). Gara-gara kasus ini, Widjanarko terpental dari kursi panas Bulog dan digantikan oleh Mustafa.
Lawatan Mustafa ke Vietnam hanya dua hari setelah Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Perdagangan Vietnam Truong Dinh Tuyen memperbarui nota kesepahaman impor be-ras yang berakhir tahun ini pada 5 April lalu. Kedua pejabat negara itu sepakat memperpanjang nota kesepahaman im-por beras hingga 2009.
Kesepakatan lain yang dicapai pada pertemuan tertutup di kamar 264, Hotel Four Seasons, Jakarta, itu ialah Vietnam setuju meningkatkan kuota ekspornya lewat kontrak antarpemerintah hingga satu juta ton per tahun dari sebelumnya 500 ribu ton.
Penandatanganan itu memicu protes dari Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI). ”Ini ibarat petir menyambar di siang bolong,” kata Riyono, Ketua PPNSI Jawa Tengah. Menurut dia, penandatanganan itu bertentangan dengan program revitalisasi pertanian untuk meningkatkan produksi beras nasional hingga 2 juta ton per tahun. Dugaan itu ditepis oleh Murino Mudjono, Kepala Divisi Pengadaan Bulog. ”Nota kesepahaman itu bukan kontrak mengikat,” ujarnya. ”Hanya untuk berjaga-jaga bila sewaktu-waktu Indonesia membutuhkan.” Artinya, tidak mengimpor dari Vietnam juga tidak apa-apa.
Perlu-tidaknya impor baru akan diatur seraya menunggu hasil panen raya pada April dan Mei ini. ”Pada Juni dan Juli akan tampak pasokan dari dalam negeri,” ujar Mustafa. Agar tidak me-lulu bergantung dari Vietnam, Bulog juga menjajaki nota kesepahaman dengan China, India, dan Pakistan.
Selama ini, Vietnam dengan rata-rata pertumbuhan produksi beras 5 persen per tahun sejak 1989—jauh lebih tinggi dibanding Thailand—menjadi salah sa-tu pilihan yang kerap dilirik Indonesia. Dengan produksi berlimpah, negara ini sanggup menyediakan beras lebih cepat ketimbang negara lain.
Yandhrie Arvian, Retno Sulistiyowati, Rofiuddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo