Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN hati-hati, wanita berjilbab itu memegang erat benda lonjong yang dihiasi rangkaian gambar. Setelah lama mengamati, dia meletakkannya perlahan. ”Bagus ya, tapi kayaknya gampang pecah,” kata pengunjung pameran Inacraft di Jakarta Convention Center itu, Sabtu dua pekan lalu. ”Ini kan telur.”
Memang, benda ”antik” itu telur be-laka. Bedanya dengan telur biasa, ya itu tadi: penuh hiasan. Ada aneka motif, mulai dari sekadar garis-garis sederhana sampai corak yang rumit-njelimet. Juga, gambar binatang atau tetumbuhan. Warnanya lebih dominan terang. Enteng di tangan karena isinya sudah dikuras.
Apakah memang gampang pecah? Lita Jonathans, pemilik barang kera-jinan itu, memantul-mantulkan sebutir telur layaknya bola bekel. Tak ada yang terjadi. ”Cangkang telur tidak serapuh yang kita duga,” kata Lita, 47 tahun.
Ibu dua anak ini mulai mengenal seni menghias telur sejak 14 tahun lalu. Waktu itu Nyonya Smith, koleganya dari Amerika, memamerkan kerajinan asal Ukraina. Sebagai seorang Nasrani, sebetulnya ia sudah akrab dengan telur paskah. Namun, untuk kali ini, ia menangkap aura seni pada telur yang sudah ”didandani” itu. Mulailah ia mempelajarinya.
Kebetulan, rumahnya di Deltasari, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, kerap dijadikan tempat kumpul ladies club-nya, kumpulan wanita karier dari sebuah perusahaan penerbangan dan perbankan ketika Lita masih bekerja di sana. Telur-telur yang dipajang di ruang tamu ternyata memikat hati teman-temannya. Satu-dua orang mulai memesan.
Banyaknya permintaan membangkitkan semangat Lita untuk terus berkreasi. Pada 1995, ia mulai memproduksi untuk dikomersialkan. Dari bazar-bazar kecil, ia ”merayap” ke pameran-pameran tingkat nasional. Bahkan pada 1999, melalui bendera La Lita Handicraft, ia terbang ke Italia untuk sebuah misi dagang dan pameran yang disponsori pemerintah.
Sukses awal itu membuat Lita setahun sekali melawat ke Eropa untuk tujuan yang sama. Pengembangan pasarnya meliputi Belanda, Prancis, dan Spanyol. Usaha yang dimulai dari hobi itu pun semakin bersinar. Dibantu enam desainer dan 20 pekerja, setiap bulan ia mampu memproduksi seribu telur hias ukuran standar.
Jika ada pesanan khusus, misalnya desain yang rumit dan banyak warnanya, volume produksinya memang menurun. Harga satu telur bervariasi, mulai dari Rp 45 ribu sampai ratusan ribu. Tapi ada juga yang mencapai Rp 5 juta. ”Kalau yang itu pesanan,” kata Lita. ”Biasanya karena lapisan yang digunakan bukan cat, melainkan perak atau emas.”
Membanjirnya permintaan bukannya tanpa masalah. Ia kekurangan sumber daya manusia. Tak jarang Lita menolak order yang terlalu besar. Bagi wanita kelahiran Jakarta ini, kualitas produk menjadi masalah utama. Walau kadang terpaksa menolak rezeki, keuntungan sebulan bisa mencapai Rp 100 juta.
Sejak empat tahun lalu Lita memboyong pusat industri kerajinan ini ke Kampung Kebon Kopi, Gunung Buder, Pamijahan, Bogor. Selain telur hias, La Lita kini memproduksi juga glass paint. Media yang digunakan adalah botol bekas atau gelas. ”Namun, fokus saya tetap telur,” katanya.
Perajin telur seperti Lita sebetulnya tidak sendirian. Kita lihat, misalnya, di Kampung Ubud dan di kawasan Jalan Bypass, Ngurah Rai, Kuta, Bali. Menurut Lita, yang membedakan produknya dengan keluaran Bali adalah teknik pembuatan dan corak. Di Bali, telur lebih banyak dilukis dengan cat air atau akrilik dan coraknya diwarnai budaya setempat. Sedangkan produk Lita menggunakan teknik dan corak batik dengan mengambil simbol-simbol etnis.
Telur yang digunakan bisa telur ayam, telur angsa, telur bebek, bahkan telur burung puyuh, emu, dan burung onta. Mula-mula telur dibersihkan dan dikosongkan dengan membuat lubang kecil. Setelah dicuci dengan air cuka, cangkang didiamkan selama tiga hari sampai bau anyirnya hilang. Selanjutnya dibuat sketsa. Gaya lukis biasanya menggunakan cara ba-tik, lukis, dan celup dengan tingkat kesulitan tersendiri.
Untuk mengembangkan kerajinan ini, Lita membuka kursus. Bagi pemula, cukup latihan selama dua jam dengan biaya Rp 175 ribu, dan Rp 70 ribu untuk tingkat lanjutan. Pada akhir tahun lalu dia juga membuat buku panduan dengan judul Menghias dan Merangkai Telur.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo