Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gerilya Memangkas Pajak

Kalangan pengusaha meminta pajak penjualan barang mewah segera dihapus. Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan tak satu suara.

30 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN Rachmat Gobel akhi-rakhir ini bertambah. Komisaris Utama PT Panasonic Gobel Indonesia itu repot ”sowan” kesanakemari menghampiri sejumlah pejabat negara. Pekan lalu, misalnya, ia menyambangi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Agenda berikut yang sudah dijadwalkannya adalah bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Segala kerepotan itu tentu saja bukan tanpa maksud. Ketua Gabungan Perusahaan Elektronik Indonesia ini memang sedang punya ”gawe” terus menyuarakan perlunya pemerintah segera mencabut ketentuan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), termasuk barang elektronik. Dengan kata lain, pajak barang mewah yang kini masih dipatok 1020 persen diturunkan hingga nol persen.

Terhadap tuntutan ini, suara pemerintah masih terbelah. Menteri Perindustrian Fahmi Idris, di satu sisi, terangterangan mendukung suara para pengusaha. Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati cenderung menolak. ”Ribut sedikit..., ada perbedaanperbedaan,” kata Fahmi mengaku kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Yang dimaksud politisi Partai Golkar ini menyangkut perbedaan sudut pandang. Departemen Perindustrian lebih berpikir bagaimana meningkatkan daya saing industri dan produk dalam negeri. Sedangkan kubu Lapangan Banteng—tempat Departemen Keuangan bermarkas—punya kepentingan menggenjot penerimaan negara. Apalagi, jika dikalkulasi, potensi penerimaan negara yang bakal hilang akibat penghapusan PPnBM tidak kecil: kirakira Rp 200 miliar setahun.

Penghapusan pajak barang mewah sejatinya bukan hal baru. Pada awal 2003 pemerintah pernah memberlakukannya untuk produk elektronik. Sekitar 16 jenis produk dibebaskan dari pajak, dan tujuh jenis diturunkan tarifnya. Ketentuan ini diberlakukan tak lama setelah pemerintah Megawati Soekarnoputri menaikkan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik.

Belakangan, pada Desember 2004, keputusan itu direvisi. Pajak barang mewah kembali diberlakukan. Akibatnya, harga barang luks itu kembali melangit. Nilai penjualannya pun langsung tersungkur, tak mampu bersaing di pasar domestik sekalipun.

Menurut Rachmat, pukulan paling telak datang dari maraknya penyelundupan. Barang sejenis yang diselundupkan dari luar negeri membanjir masuk dan merajai pasaran dengan harga penawaran ”supermurah”. Tempat jualan barang haram itu kemudian dikenal dengan istilah pasar gelap.

Berdasarkan prosedur impor resmi, setiap barang seharusnya dikenai berbagai pungutan pajak dan bea masuk. Tapi, dengan diselundupkan, bermacam barang impor itu tak terkena bandrol pajak. Akibatnya, perbedaan harga jual produk legal dan nonlegal pun cukup mencolok, bisa mencapai 4550 persen.

Inilah yang membuat industri elektronik lokal kelimpungan, karena harga produknya menjadi sangat tidak kompetitif. Maka, para pengusaha getol mengusulkan pencabutan PPnBM.

Ekonom Faisal Basri sepakat PPnBM untuk jenis barang tertentu perlu dihapus. Namun pelaksanaannya harus dilakukan secara selektif. Barang yang tidak diproduksi di dalam negeri, atau produk impor yang sebenarnya sudah ada di pasar lokal, harus dipungut pajak barang mewah. ”Jangan semua dihapus,” kata Faisal. ”Seperti TV plasma, masak tidak dikenai PPnBM?”

Pengenaan pajak dengan pola seperti ini, Faisal menambahkan, biasa diterapkan di negara miskin untuk mengerem laju konsumsi. Selain Indonesia, Thailand juga menerapkannya. Namun Malaysia dan Singapura tidak lagi memungut pajak barang mewah, ”Karena level income mereka sudah tinggi,” ujarnya.

Soal kekhawatiran negara bakal kehilangan pendapatan, menurut Faisal, pemerintah tak perlu terlalu risau. Sebab, berdasarkan pengalaman 20032004, penghapusan pajak barang mewah justru mempertebal kantong pemerintah. Penerimaan PPnBM memang turun, tetapi dari sisi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) justru meningkat. Investasi juga tumbuh subur. Karena itu, ia yakin, ”Ekonomi nasional tidak akan negatif. Paling tidak, untuk jangka menengah.”

Pandangan Faisal sejalan dengan hasil simulasi Departemen Perindustrian. Hasil simulasi menyebutkan penerimaan negara untuk tahun 2007 dari pajak barang mewah memang akan menurun akibat penghapusan PPnBM, yaitu dari perkiraan semula Rp 219 miliar menjadi Rp 26 miliar saja. Tapi, perlu dicatat, penerimaan dari pajak pertambahan nilai akan naik dari Rp 1,026 triliun menjadi Rp 1,100 triliun. Pajak penghasilan (PPh) badan juga akan terdongkrak dari Rp 115 miliar menjadi Rp 220 miliar.

Jika dilihat dari total penerimaan pajak, nilainya memang menurun setelah diberlakukan penghapusan PPnBM. Namun, nilai produksi manufaktur dan komponen, tingkat investasi tambahan, serta penciptaan lapangan kerja meningkat (lihat tabel).

Faisal juga menampik kekhawatiran bahwa pengusaha akan menjadi manja bila terlalu banyak insentif. Menurut dia, di negara mana pun pemberian insentif melalui instrumen fiskal lazim dilakukan.

Segudang alasan boleh diungkap. Tapi lampu hijau tampaknya belum juga menyala dari markas tim Lapangan Banteng. Ketua tim harmonisasi tarif, Anggito Abimanyu, ketika ditanyakan soal ini pun mengaku belum menerima usul tentang penghapusan PPnBM dan membahasnya. ”Saya belum menerima suratnya,” kata Anggito, yang juga menjabat Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional Departemen Keuangan. ”Jadi, belum ada pembahasan apa pun.”

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Djoko Slamet, setali tiga uang. ”Saya belum melihat usulannya,” ujarnya. Padahal, menurut Direktur Industri Elektronika Departemen Perindustrian, Abdul Wahid, pembahasan telah dilakukan beberapa pejabat eselon II di kedua departemen. Pertemuan terakhir dilakukan pada pertengahan Maret lalu.

Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus