Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETENGAH jam lepas tengah malam, sebuah sepeda motor dipacu di depan Markas Brigade Mobil, Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, di kawasan Jeulingke, Banda Aceh. Sambil menggeber gas, Selasa pekan lalu, si penunggang motor melemparkan sebutir granat tangan. Empat jam sebelumnya, granat juga meledak di depan rumah dinas Wakil Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya.
Dua insiden tanpa korban jiwa itu merupakan peristiwa terbaru dari serangkaian tindak kekerasan yang belakangan makin sering terjadi di Aceh. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh mencatat sedikitnya lima aksi teror dan kekerasan yang pelakunya tak jelas sejak Desember 2006. Sejak awal tahun ini, angka kriminalitas dengan senjata api juga melesat tinggi di Tanah Rencong.
Banyak yang khawatir ”kerikil-kerikil tajam” ini bisa menyeret Aceh kembali ke tubir konflik. ”Pelakunya jelas orang yang tidak suka Aceh damai,” kata Usman Hasan, mantan Ketua Badan Reintegrasi Aceh, akhir pekan lalu. Ia khawatir pihakpihak yang sebelumnya berperang akan terpancing jika gangguangangguan kekerasan ini tidak segera diselesaikan.
Satu dari sejumlah insiden yang banyak disorot adalah pemukulan empat prajurit TNI di Kampung Alue Dua, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, pada 21 Maret lalu. Ketika itu, sejumlah warga kampung yang curiga melihat empat pemuda menenteng senjata spontan mengeroyok mereka. Belakangan ketahuan, empat ”pemuda” itu adalah anggota Batalion Infanteri 113 Jaya Sakti, Komando Daerah Militer Iskandar Muda, yang mengawal pembangunan gedung sekolah dasar bantuan yayasan internasional Save The Children.
Tiga hari setelah insiden itu, beberapa prajurit kawan korban melakukan aksi pembalasan dengan memukuli sedikitnya 18 warga Kampung Alue Dua. Polisi bergerak cepat. Sepuluh tersangka pemukulan terhadap prajurit TNI itu diburu dan masuk daftar pencarian orang. Dua hari setelah aksi ”pembalasan” anak buahnya, Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Supiadin A.S., datang ke Alue Dua untuk meminta maaf dan menyerahkan kompensasi. Para prajurit yang memukuli warga kini ditahan dan komandan kompinya dinonaktifkan.
Korban kekerasan bukan hanya aparat keamanan. Kantor Komite Peralihan Aceh (KPA) di Bener Meriah, Aceh Tengah, pertengahan April lalu, nyaris dibakar orang tak dikenal. Komite ini dibentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menampung bekas anggota Tentara Nanggroe Aceh. Sebelumnya, pada awal April, Wali Kota Lhokseumawe, Munir Usman, dan Bupati Aceh Utara, Ilyas Hamid, menerima kardus berisi granat aktif, empat peluru AK, setengah meter kain kafan, tikar, batu bata, serta surat ancaman. Munir dan Ilyas tadinya anggota GAM.
Memang, berbeda dengan masamasa sebelum perdamaian, pola, pelaku, dan motif kekerasan di Aceh kini sudah bergeser. Meski ada satudua kasus yang dipicu dendam lama tentara Indonesia dan pendukung GAM, pada kasuskasus lain perseteruan itu tak tampak. Justru motif perebutan sumber daya ekonomi yang lebih kentara. ”Pelakunya adalah orangorang yang tidak diuntungkan dengan usainya konflik,” kata Kusuma Adinugroho, staf senior United Nations Development Programme, yang banyak menangani program reintegrasi Aceh pascakonflik.
Mereka yang disebut Kusuma adalah pihakpihak yang selama perang Aceh meraup laba dari praktek pemerasan dana proyek, jasa pengawalan, jasa keamanan, dan semacamnya. Kelompok seperti ini tak mengenal ideologi. Karena itu, ”Seharusnya polisi yang menyelesaikan,” kata Kusuma pekan lalu.
Senada dengan itu, pada 17 April lalu, juru bicara KPA/GAM, Sofyan Dawood, merilis pernyataan keras, ”Jika ada oknum yang mengaku anggota KPA atau GAM dan melakukan ancaman, harap laporkan kepada KPA dan polisi.” Dia juga menegaskan, KPA/GAM sudah tidak lagi menarik pajak nanggroe. Semasa konflik, pajak itu merupakan pungutan yang wajib disetorkan pelaksana proyek pembangunan kepada GAM.
Juru bicara Polda Aceh, Komisaris Besar Jodi Heriadi, mengakui polisi belum menemukan titik terang untuk mengungkap pelaku aksi teror belakangan ini. Soal angka kekerasan bersenjata yang meningkat, dia menunjuk masih banyaknya senjata ilegal yang beredar di Aceh. Hingga akhir April saja, polisi sudah menyita 46 senjata api ilegal, lebih dari seribu butir peluru, lima magasin AK56, tujuh magasin M16, 11 butir granat, tujuh butir peluru GLM, dan 38 bom rakitan. ”Banyak senjata yang dulu disimpan, sekarang ditemukan dan digunakan orangorang tak bertanggung jawab,” kata Jodi.
Di tingkat pusat, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dua pekan lalu membentuk Forum Komunikasi dan Koordinasi Aceh. Diketuai Brigadir Jenderal (TNI) Amiruddin Usman, seorang perwira kelahiran Aceh Singkil, forum ini menghimpun wakil dari KPA/GAM dan pemerintah pusat. Tujuan utama pembentukan forum ini adalah memfasilitasi penyelesaian semua butir kesepakatan perjanjian Helsinki, termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. ”Juga, menyelesaikan perselisihan antara TNI dan KPA/GAM di lapangan,” kata Amiruddin.
Salah satu tokoh KPA/GAM yang menjadi anggota Forum, Muksalmina, menegaskan bahwa komitmen kelompoknya menjaga perdamaian. ”Kasihan rakyat Aceh,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo